bc

RINDU (TAK) BERTUAN.

book_age16+
14
FOLLOW
1K
READ
revenge
possessive
contract marriage
gangster
drama
tragedy
bxg
city
secrets
villain
like
intro-logo
Blurb

Permainan yang Riens Mackenzie lakukan, membawa Liz pada kubangan masalah dalam ikatan pernikahan.

Namun, di banding bertahan dalam lingkaran setan bersama Morgan dan keluarganya, Liz memilih Riens. Riens menawarkan kebebasan dalam bentuk pernikahan.

Tanpa ada kontrak di atas kertas, tentulah menjadi tanya untuk Liz. Sampai Liz temukan alasan yang membuat hatinya bimbang.

Di kala pemilik hati Riens muncul, haruskah Liz memilih perpisahan?

“Sampai kapan?”

“Bertahanlah sampai setahun.”

“Setelah setahun berlalu, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan ... Aku akan melepasmu.”

chap-preview
Free preview
BAB 1 Dia yang Terluka.
“Sakit! Tolong berhenti!” Teriakan menyayat hati Liz, sama sekali tidak memudarkan kemurkaan Morgan. Lelaki itu terus mencengkeram batang leher Liz yang kini terkapar di lantai. “Ini sebabnya aku tidak pernah sudi untuk menyentuhmu! Tubuhmu penuh bekas luka, otakmu tidak waras! Satu-satunya yang kamu punya hanya wajahmu!” Liz menggeleng, masih berusaha melepas cengkeraman Morgan yang justru semakin menguat. Sesak, Liz hanya mampu meraup udara melalui mulutnya. “Ma—Maafkan aku,” ucapnya lirih. Morgan tersenyum sinis. “Kamu sudah membuatku malu. Hamil apanya? Aku bahkan tidak pernah menyentuhmu, sialan!” Mata Liz sudah berair, ia tidak lagi memberontak. Tangannya terkulai di samping tubuh, di saat mata mulai terpejam, ketukan di pintu bagai angin segar. Liz terbatuk-batuk, ia langsung terduduk dan sontak menjauh. Di saat Morgan berdiri, dan membuka pintu memberinya celah sedikit. “Apa?” “Ma—Maafkan saya, Tuan muda. Ada tamu yang sedang menunggu Anda di bawah.” Suara wanita yang merupakan kepala Maid, terdengar takut-takut. Morgan mengembuskan napas kasar, lalu menoleh ke belakang. “Tetap di kamarmu, jangan coba-coba keluar sebelum aku panggil.” Selepas itu, Morgan pergi sambil menutup kencang pintu. Meninggalkan Liz yang masih memandang pintu dengan tajam, tak ada lagi tangis meraung. Tersisa Liz dengan segala trauma yang diberikan lelaki itu. Tubuhnya masih gemetar ketika ia mencoba berdiri, Liz mendekat menuju meja rias. Memandang pantulan diri yang tampak menyedihkan. Morgan memang lelaki yang baik, tapi bukan sebagai suami. Andai Liz sadar sejak awal, ia memilih mencoreng nama di kartu keluarga, di banding harus menerima perjodohan bisnis itu. “Tak apa, ini tidak seberapa.” Alih-alih tenang, justru cengkeramannya pada kain celana semakin menguat. Berawal dari kenekatannya dengan menunjukkan hasil positif di alat tes kehamilan yang ditemukannya di saku jas kerja milik Morgan, niat ingin bertanya justru berakhir kesalahpahaman. Ketika ibu mertuanya mengira Liz hamil, Morgan jelas murka, sebab lelaki itu tak berharap benihnya berada di rahim Liz. Karena bagi semua orang, Liz hanya anak buangan yang tak pernah diharapkan. *** Liz menyusuri lorong rumah dengan hati-hati, membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi dan piring kecil berisi hidangan manis. Hingga sampai ia di depan sebuah pintu, tiga ketukan diberikan sebelum akhirnya masuk. “Aku membawa kopi,” ujarnya. Morgan memberi isyarat dengan gerakan tangan, Liz mendekat lalu membungkuk, meletakkan cangkir yang dibawa ke meja kaca. Pandangannya beralih sekilas, pada lelaki yang sedari tadi ia sadari terus menatap. Netra abunya tampak memesona, di balik raut wajah tanpa ekspresi, seakan menyimpan misteri. Namun, sebuah bekas luka melintang di mata kanannya. “Wajahnya memang cantik,” celetuk Morgan. Dia melanjutkan, “tapi percuma saja. Dia tidak berguna.” Ucapan lelaki itu menghantarkan keheningan yang panjang. “Tunggu apa lagi? Pergi.” Bergegas Liz pergi, tanpa menyadari tatapan lekat terarah padanya. Morgan berdeham, mengalihkan kembali perhatian pria di depannya. “Ambil saja jika mau, aku sudah lama membuangnya.” Pria itu menaikkan satu alis tebalnya. “Kenapa?” “Karena dia tidak berguna,” sahut Morgan ringan. Lalu tersenyum miring. “Bagaimana jika aku tukar dia dengan kontrak ini?” Riens menatap lama, lalu bersandar dan melipat kakinya dengan kedua tangan berada di masing-masing tangan sofa. Morgan Antonio, satu dari banyaknya manusia sampah di muka bumi. Untuk seorang dari keluarga Mackenzie, jelas Riens mengerti arti tatapan Morgan. Keputusasaan dan obsesi. Ketika seseorang putus asa, kebodohan pun akan dianggap benar. “Bisa pinjam toilet?” Tepat setelah itu, ponselnya berbunyi nyaring. Riens berdiri, lantas pergi dari sana. Melewati lorong yang menghubungkan rumah mewah itu, dan berhenti tepat di sebuah balkon yang berada sejajar dengan tangga. Seseorang berada di sana, berdiri memunggungi dan tak menyadari kehadirannya. Wajah itu pucat terlukiskan semburat merah dan keunguan di netra yang tampak hanya kekosongan. “Kamu bertahan lebih lama dari perkiraanku.” Suara berat pria menyentak kesadaran Liz, pria itu berdiri di sampingnya. Menatap datar dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. “Maaf?” Sebagai tamu dari Morgan, jelas menjadi alasan Liz menahan kekesalannya kini. “Saya tahu kalian sudah dalam proses perceraian,” papar lelaki itu. “Dua minggu? Atau tiga minggu lalu?” Liz mengernyit. “Apa maumu?” Perceraiannya dengan Morgan, bukan tanpa alasan dirahasiakan. Selain karena pernikahan mereka yang baru seumur jagung, harga diri yang dijunjung tinggi oleh kedua keluarga menjadi satu alasan kuat mereka masih tinggal dalam satu rumah. “Saya bisa memberimu kebebasan,” katanya. Liz tertawa hampa. “Ternyata Anda hanya bicara omong kosong.” Lantas ia berbalik dan hendak pergi. Namun, lelaki itu berdiri menghalangi. Tubuhnya tinggi mungkin sekitar 180 cm, sampai membuat Liz harus mendongak. “Apa kamu tidak iri dengan burung-burung itu?” Burung bergerombol melintasi langit sore hari itu. Sayapnya membentang meliuk-liuk di luasnya langit. Liz terdiam, lalu menatap sengit lelaki di depannya. “Tidak. Meski bebas, para pemburu masih bisa memburu mereka. Itu lebih menyedihkan, bila terus hidup dalam ketakutan." Tak ada perubahan ekspresi di sana, tapi Liz merasa terintimidasi. Pria itu meraih tangannya, kemudian meletakkan sebuah ponsel lama di sana. “Semua yang ingin kamu tahu, ada di dalam sana.” Liz melirik heran, sebelum melempar ponsel tersebut. Ia berbalik, dan kembali berjalan. “Kamu lebih takut dengannya ternyata, konyol sekali.” Pria itu kembali bersuara, kemudian mengambil ponsel yang dilempar Liz dan meletakkannya kembali ke tangan Liz. “Saya akan menjemputmu beberapa hari lagi,” katanya sebelum benar-benar pergi. *** Liz tersentak, kala mata mereka bertemu. Di bawah sana, tepat di halaman rumah mewah milik Morgan. Lelaki aneh itu melihat tepat ke arah kamarnya, tempat di mana Liz kini berdiri di depan jendela yang terbuka. Mesin mobil dinyalakan, mobil hitam yang membawa lelaki itu akhirnya meninggalkan area rumah. Namun, perkataannya masih terngiang-ngiang, membuat ia terus-terusan melirik ke arah ponsel lama yang lelaki tadi berikan. Ketukan di pintu mengejutkannya. “Buka saja!” “Nona, makan malam sudah siap.” Liz mengangguk menanggapi salah satu asisten rumah tangga, lalu bergegas menyembunyikan ponsel tersebut di dalam tumpukan pakaian di lemari. Lantas pergi menuju meja makan. Hidangan mewah tersaji di meja tersebut, terlalu banyak hanya untuk dirinya dan Morgan. Aroma menyengat yang keluar dari botol-botol anggur membuat Liz berhenti beberapa langkah dari meja. Morgan itu peminum berat, pemandangan di depannya bukan lagi hal aneh untuk Liz. Perlahan tanpa membuat suara, ia duduk agak jauh dari kursi tunggal yang diduduki Morgan. “Hanya karena nama keluarganya yang besar, dia juga ikut besar kepala. Sialan!” Morgan meneguk langsung dari botol, tatapannya sudah tak fokus menatap ke arah Liz. Keheningan ini justru membuat Liz cemas, sampai senyum aneh di wajah Morgan membuatnya melihat mimpi buruk lain. “Hei, gunakan wajahmu itu! Dia pria normal, tidak mungkin menyia-nyiakan wajah sepertimu!” Liz mengernyit, menyadari jika Morgan telah hilang akal. Lelaki itu berdiri, lalu mendekat dan mengapit sisi wajahnya dengan jari memaksa Liz mendongak. Tawa Morgan meledak. “Ini dia! Aku yakin kali ini akan berhasil! Dengar, besok dandanlah yang cantik, dan pergilah ke rumahnya. Layani dia dengan baik, dan puaskan dia.” Liz melotot, ia menepis tangan Morgan lalu berdiri. Satu tamparan mendarat di rahang tegas itu. “Mulutmu memang sudah busuk, tapi tak kukira pikiranmu begitu dangkal. Pantas saja keluarga Antonio meragukanmu.” Masa bodoh dengan harga diri keluarga, harga dirinya sudah lebih dulu hancur. Malam ini, Liz akan membeberkan semua kelakuan b***t Morgan. Namun, belum sempat kakinya menjauh. Tarikan keras di rambut membuatnya terhuyung, sebelum jatuh ke lantai. “Berani sekali orang sepertimu menghinaku! Seharusnya kamu berterima kasih! Biar kuberi pelajaran! Biar kusadarkan otakmu yang tak waras ini!” Mata Liz membulat, dipenuhi teror akan emosi Morgan yang siap meledak. Malam itu kembali dilalui dengan penuh kesakitan, tak ada yang mampu bersuara. Semua menutup mata, dan memilih berpaling kala mata memandang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook