Janu, Andi dan Bi Nini sama-sama mencari keberadaan Zean yang pergi tanpa mengatakan pada siapapun, ketiganya tampak panik ketika tak menemukan Zean di beberapa tempat yang kemungkinan di datangi Zean, seperti taman rumah sakit atau sekitarnya.
Janu melewati koridor demi koridor lalu terpaksa membuka beberapa kamar yang ada disana, berharap dapat menemukan sang putra, tetapi sayang usahanya tak membuahkan hasil. Janu menjambak rambutnya, ia frustasi karena tak menemukan Zean di manapun.
"Nu, apa sudah ketemu?" tanya Andi mendekati Janu.
Janu menggeleng, ia menyugar rambutnya ke belakang lalu sedikit mencengkram nya untuk yang ke sekian kali.
"Apa Zean pulang, tidak biasanya Zean akan pergi tanpa bilang?" tanya Andi namun dibalas gelengan kecil oleh Janu.
"Ayo kita cari lagi, aku akan meminta Bi Nini mencarinya di rumah!" Ajak Janu segera pergi di susul oleh Andi.
Janu dan Andi kembali mencari Zean di sekitar rumah sakit, Janu juga telah meminta Bi Nini untuk mencari keberadaan putranya di rumah.
Baik Janu maupun Andi sama-sama bertanya pada dokter dan perawat disana, mereka juga tak mungkin memeriksa satu persatu kamar karena jumlahnya yang tidak sedikit.
"Nu, kita pergi ke pusat informasi!" ajak Andi setelah lama tak kunjung menemukan Zean..
Janu mengangguk setuju, ia ikut saja temannya itu membawanya pergi demi bisa menemukan sang anak.
"Kasihan sekali Zean, dia ingin merayakan ulang tahun mendiang ibunya, mungkin saat ini dia sedang mencari keberadaan Riana." Celetuk Andi tiba-tiba.
Janu menghentikan langkahnya, ia lalu menatap Andi dengan tatapan sulit diartikan. Andi yang menyangkal bahwa dirinya salah berucap lantas menutup mulutnya.
"Nu, aku tidak bermaksud. Aku hanya berpikir--" ucapan Andi terhenti karena Janu berlari meninggalkan nya.
"Janu!!!!" Panggil Andi tetapi tak disahuti oleh Janu.
Sementara Janu, ia berlari menuruni anak tangga melalui pintu darurat, sepertinya ia tahu dimana putranya dan semoga apa yang ada dipikirannya tidak terjadi pada Zean putranya.
Janu sampai di depan sebuah ruangan, ia segera membuka pintu dengan sedikit tergesa-gesa hingga si pemilik yang ada disana terkejut.
"Zean!!!" panggil Janu lantang.
"Papa, Papa disini?" tanya Zean yang saat ini duduk di bangsal bersama seorang gadis.
"Zean, Papa mencari kamu kemana-mana. Kenapa kamu tidak bilang?" tanya Janu lalu mendekati Zean dan memeluknya.
"Papa, aku bersama Mama." Jawab Zean pelan bahkan sangat pelan.
Jantung Janu mencelos begitu saja mendengar penuturan sang anak yang singkat tetapi sungguh menusuk ulu hati, ia melepas pelukan nya lalu menangkup wajah tampan Zean.
"Zean, ayo kita pergi, kita harus potong kue kan, om Andi telah memberikannya!" Ajak Janu tanpa berniat membalas ucapan Zean sebelumnya.
"Tidak, Papa aku mau disini bersama Mama!" tolak Zean lalu menunjuk ke arah Erika.
Erika yang sejak tadi menjadi penonton lantas terkejut, ia hanya bisa tersenyum canggung ketika Janu menatapnya singkat.
"Dia Mama…" ucap Zean dengan senyuman sangat lebar.
Senyum Erika perlahan luntur, sejak Zean datang padanya tadi, bocah itu tak henti menyebut dirinya dengan sebutan 'mama' bahkan ketika ditanya Zean hanya tersenyum menanggapinya.
"Maaf kan putra saya Nona Erika." Ucap Janu datar lalu menggendong Zean.
"Papa tidak!!! Aku mau disini bersama Mama!!! Lepaskan!!!" pinta Zean memberontak dalam gendongan sang Papa.
Erika yang melihat itu lantas turun dari bangsal, ia mendekati Janu dan juga Zean yang tampak masih merengek.
"Dokter Janu, biarkan saja Zean disini kasihan dia." Ucap Erika pelan.
Janu tak menjawab, ia malah fokus pada putranya yang semakin menjadi dalam gendongannya, bahkan sebelumnya Zean tak pernah bertingkah demikian.
"Papa aku mau bersama Mama!!!" teriak Zean dengan tangan dan kaki bergerak acak.
"Zean!!!!!" Bentak Janu seraya menurunkan Zean dari gendongan nya.
Zean yang dibentak oleh Janu langsung memeluk Erika hingga membuat gadis itu reflek mengusap kepala dan punggung Zean.
"Mama, Papa nakal." Ucap Zean lirih.
Erika menatap Zean dan Janu bergantian, ia masih mengusap lembut punggung anak itu.
"Zean, dengarkan Papa kamu ya," tutur Erika dengan lembut dan penuh pengertian.
"Tidak, aku ingin bersama Mama. Aku merindukan Mama," balas Zean menolak.
Janu mencengkram pergelangan tangan Zean dan hendak menariknya, tetapi perlakukan nya terhenti karena Andi datang dan menahannya begitu juga dengan Erika.
"Nu, tenangkan dirimu, biarkan Zean disini." Bisik Andi berusaha menahan temannya.
"Dokter Janu, anda tolong jangan kasar pada Zean, dia ketakutan." Ucap Erika ketika merasakan pelukan Zean mengerat.
Janu melepas tangan Andi dari bahu nya, ia mendekati Erika dengan tatapan tajam terarah padanya.
"Dia putra saya, saya tahu jelas apa yang harus dilakukan. Anda jangan ikut campur!" Tekan Janu lalu menarik paksa Zean dari pelukan Erika.
"Mama!!!!" Teriak Zean merengek tetapi Janu tatap membawanya dan Erika tak dapat menghentikan nya.
Erika menatap mata Zean yang penuh air mata dengan iba, ia masih belum tahu apa yang terjadi, bagaimana bisa Zean memanggilnya Mama sementara mereka baru saja bertemu, tetapi saat memeluk anak itu, ada perasaan tersendiri dirasakan olehnya.
"Nona Erika, maafkan dokter Janu. Anda istirahatlah," tutur Andi lalu segera keluar untuk menyusul Janu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Erika bertanya-tanya.
Sementara Janu membawa Zean ke ruangannya, ia mendudukkan Zean yang masih menangis di kursi kerjanya dan dirinya berlutut.
"Zean maafin Papa Nak." Ucap Janu mengusap kepala Zean.
"Hiks … Papa nakal, Papa tidak sayang aku lagi!" balas Zean tergugu.
"Tidak Nak, Papa sayang sama kamu, tapi wanita tadi bukanlah Mama." Jelas Janu penuh pengertian.
"Dia Mama!" timpal Zean.
"Tidak Zean, lupakan. Bahkan dia itu bukan Mama kamu." Tutur Janu berusaha membuat putranya mengerti.
"Papa biarkan aku bersama Mama, aku ingin potong kue dengan Mama." Rengek Zean menangis semakin kencang.
"Zean dengarkan Papa, dia bukan Mama kamu, Mama sudah tenang di sebelah Tuhan!" tegas Janu namun masih penuh kelembutan.
"Hiks … dia Mama, Pa." Lirih Zean menundukkan kepalanya.
Andi yang sejak tadi berdiri di ambang pintu lantas mendekati Zean, ia membawa kue yang dibelinya lalu memberikannya pada Zean.
"Zean, lihat lah Om sudah beli kuenya. Ayo kita potong!" ajak Andi berusaha menghibur.
"Tidak, aku mau Mama…" tolak Zean menggeleng pelan.
Janu hendak marah tetapi buru-buru dihentikan oleh Andi, ia tahu bahwa anak kecil seumur Zean harus mendapat kasih sayang dan perhatian, bukan bentakan yang akan mengganggu mental bocah itu.
"Zean, ayo kita potong atau nanti kue nya Om habiskan!" ajak Andi lagi masih berusaha.
"Mama…." Balas Zean pelan dan tak henti menyebut kata 'mama'
Janu memejamkan matanya rapat, setiap kali Zean menyebut kata itu maka ada perasaan sakit yang dirasakannya, Erika, gadis itu kini berpengaruh terhadap Zean karena kemiripan wajah nya dengan mendiang Riana.