chapter 2

1105 Words
Lana yang menegur pun kembali bekerja di ruangan miliknya, tapi tidak dengan beberapa staff yang bergosip. Setelah Lana menegurnya beberapa diantaranya kembali ke meja kerja, namun beberapa ada yang masih bergosip. “Lana kenapa dia? Lagi cari perhatian sama pimpinan, tumben bijak. Palingan cari perhatiannya juga sebentar. Tahu sendiri jaman sekarang banyak karyawan yang cari muka sama pimpinan, apalagi baik di depan di belakang ngomongin juga,” sahut Amber dengan nada nyeleneh. “Enggak tahu, lagi sensitif kali. Isu perceraiannya bocor dari siapa? Kok tumbenan, pantas saja Pak Adyatama hari ini diam di kantor terus. Padahal setiap ada reuni kantor mereka selalu kompak. Sayang banget kalau harus berpisah,” ucap Amel dengan nada ketusnya. “Sudah dulu ya, nanti kita lanjutin lagi. Lana negur, takut di laporin ke pimpinan,” ucap Amber yang memanyunkan bibirnya sambil nyeleneh, dirinya beranjak bangun dari tempat duduknya bersama Amel dan kembali bekerja di ruangan kerja miliknya. Lana adalah sahabat Felisha yang bekerja di Alister Corporation, ia menegur beberapa staff kantor bukan hanya karena ia simpatik, tetapi juga empatik kepada kabar perceraian sahabatnya. Satu jam yang lalu dirinya menghubungi Felisha, sayangnya sahabatnya tidak menjawab panggilan sama sekali. “Sepertinya memang harus ke rumahnya biar tahu jelas. Lagipula sudah satu bulan tidak bertemu dengan Felisha,” ucap Lana dengan memegang bulpoin miliknya, menjentikkan bulpoin di atas kertas putih. Jam sudah menunjukkan waktu malam, sudah waktunya para staff pulang bekerja. Lana mengambil tas miliknya dan membereskan beberapa barang pribadinya termasuk ponsel. Setelah pulang bekerja Lana harus melihat keadaan Felisha, menanyakan tentangnya. “Aku tahu Felisha tidak mungkin berpisah dengan suaminya Adyatama, tidak mungkin jika Felisha berani melakukannya,” ucap Lana dengan tangan yang bergetar memegang ponsel. Memikirkan sahabatnya Felisha, bahkan tentang rumah tangganya yang di perbincangkan di kantor. Lana memesan jojek siang ini, karena rumah Lana agak jauh dari tempatnya bekerja. Sudah tidak ada waktu jika harus memesan tiket kereta menuju Tebet. Lagipula ia tahu bahwa Adyatama akan ada pertemuan meeting di Bandung. Langit Jakarta begitu teduh siang ini, mengikuti perasaan hati seseorang yang hatinya sedang terluka. Terlebih Lana mengetahui perbincangan teman-temannya di kantor siang tadi. Pikiran Lana hanya ingin cepat sampai menuju rumah Felisha. “Kamu tidak boleh bersedih Felisha, jangan pernah bersedih. Aku pikir kamu tidak akan berpisah, hingga isu beredar di kantor. Bagaimanapun Pak Adyatama adalah atasanku, pimpinanku.” Jojek yang mengantarkan Lana pun menuju Kawasan Tebet. Dimana Felisha bertempat tinggal. Lana yang memakai helm dan juga memegang ponsel pun turun dari motor, sudah tiba di rumah Felisha. Tok … Tok … Suara ketukan pintu terdengar. Hingga Lana menekan bel rumah karena Lana sangat khawatir dengan keadaan, dilihatnya Nayara keluar rumah, “Tante Lana, kenapa kamu kemari? Bukankah ini sudah malam, untung saja aku masih terbangun.” “Nayara sayang apakah ibumu ada? Karena ibumu susah di hubungi makanya Tante Lana datang ke rumah,” ucap Lana dengan bibir yang tersenyum. Dirinya menatap Nayara dengan memasuki rumah. “Tante Lana duduk saja dahulu, Nayara ambilkan minuman. Terlebih Nayara akan panggilkan ibu, kebetulan hari ini ibu pulang siang. Nayara pun bingung kenapa ibu dan ayah tidak pulang bersama, jelas-jelas mereka berbicara akan pergi bekerja dan kata ibu ia akan bekerja di dekatku mulai sekarang.” Lana yang mendengar ucapan Nayara hanya tersenyum simpul, melihat Nayara yang selalu berkata jujur. “Ibumu berbicara seperti itu? Tidak apa-apa biarkan Tante Lana yang akan berbicara kepada ibu. Kau beristirahat saja karena ini sudah malam. Lagipula kamu akan wisuda dan juga akan masuk ke perkuliahan.” Nayara mengangguk dengan langkah kakinya menuju dapur, mengambilkan Lana secangkir teh manis dan juga kudapan kecil, “Tante Lana sudah lama tidak ke rumah, pasti Tante Lana sibuk sekarang.” Lana ingat bahwa Nayara tidak mengetahui aku sudah pindah pekerjaan di kantor yang sama dengan ayahnya. Lebih baik Nayara tidak perlu tahu, bagaimanapun biarkan Nayara fokus belajar dan juga menikmati kehidupan di usia masih dua puluh dua tahun dengan kuliahnya yang akan selesai dalam waktu dekat. “Loh, Lana? Sejak kapan kamu di rumahku? Aku mendengar bahwa Nayara sedang berbincang dengan seseorang, kupikir Nayara berbicara dengan siapa dan ternyata itu kamu,” Felisha berjalan dengan menyambut kedatangan Lana. Dirinya duduk di dekat Lana dengan mengajaknya mengobrol sedikit. Felisha memang tahu bahwa Lana menghubunginya tadi sore. Sayangnya panggilan itu tidak sempat di terima, Felisha terlalu memikirkan Adyatama. “Suamimu akan meeting ke Bandung besok bersama banyak perusahaan, kebetulan Pak Adyatama akan melakukan banyak sekali project di Bandung. Felisha, suamimu sangat mencintaimu. Kamu harus percaya bahwa suamimu sangat mencintaimu. Jadi kamu jangan khawatir lagi,” ucap Lana dengan suara pelan. Karena ia tahu bahwa Nayara masih sangat sensitif jika harus mendengar percakapan orang dewasa. “Sayang, Nayara jangan lupa membersihkan diri lalu istirahat. Ini sudah malam, lagipula ibu akan ada banyak sekali percakapan bersama Tante Lana, jadi ibu akan melihatmu setelah selesai berbicara dengan Tante Lana.” “Iya ibu, Tante Lana terimakasih sudah datang ke rumah. Naya istirahat karena besok banyak sekali kegiatan. Terlebih Naya akan belajar,” jawabnya dengan pelan. Dengan senyuman simpul Nayara bergegas ke dalam ruangan kamar dan beristirahat seperti apa yang di suruh Felisha. Lana masih melihat dari jauh Nayara hingga dirinya masuk ke dalam ruangan kamar. Setelah Lana melihat Naya masuk ke dalam ruangan, tatapan Lana beralih kepada Felisha. Terlihat kedua matanya menangis di hadapannya kini. “Ceritakan jangan kamu pendam. Aku mendengar kabar tidak enak di kantor, apakah itu benar.” “Kamu tahu kan semua usaha di jalani suamiku, lalu bagaimana nasibku dan Nayara jika aku bercerai. Aku memang sering bertengkar tapi aku tidak tahu akan seperti ini, Adyatama tidak mencintaiku. Lana, aku hanya takut jika suamiku itu marah lalu aku dan Nayara harus bagaimana. Aku bekerja di beda Departement, aku membutuhkan Adyatama. Tapi Adyatama memberikanku surat perpisahan, sedangkan aku membutuhkannya. Aku pun bingung jika suamiku marah lalu aku harus bagaimana? Jika aku berpisah, aku bekerja harus melamar lagi ke perusahaan lain. Kamu tahu kan aku sudah nyaman di perusahaan yang bekerja sama dengan Adyatama.” Helaan napas panjang Lana terdengar, “Sudahlah, jangan khawatir. Pak Adyatama sangat mencintaimu. Dia seorang Manager, dia bertanggung jawab mengurus segalanya. Aku mempercayai semua pimpinan di kantor. Kanu bekerja saja Felisha, seperti biasa. Mulai sekarang jika kamu memiliki masalah jangan seperti itu lagi, suamimu banyak sekali pekerjaannya. Jangan menambah beban pikiran suamimu. Aku sahabatmu Felisha, aku sekretaris di perusahaan. Sudahlah, anggap saja kalian tidak pernah berpisah.” “Tidak apa-apa aku hanya khawatir, aku membutuhkannya. Aku hanya takut Adyatama tidak memikirkan Nayara lagi,” lirihnya dengan suara menangis. Lana pun memeluk Felisha dengan lapang, “Anggap saja kalian tidak pernah berpisah, suamimu itu atasanku. Dia pimpinanku, aku yakin dia bertanggung jawab. Felisha jangan menangis lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD