1.dia,ATTA
Laurin menguap, menutupi mulutnya dengan tangan. Kemudian ia memutar malas kedua bola matanya, merasa jengah mendengar ocehan Vania dan Chika yang sedari tadi memuji ketampanan dan kecantikan siswa-siswi dari K-U1. Ia pun melihat malas ke arah sekelompok anak remaja yang kini sedang makan dengan gestur tubuh yang elegan. Mereka tampak tahu betul apa yang dinamakan table manner.
"Aduuuh mereka tuh ganteng parah. Apalagi si Rega tuh. Gue nggak nyangka banget bisa satu sekolah sama artis. Gila!" Chika masih antusias mengomentari wajah siswa-siswi K-U1 yang ia anggap seperti malaikat.
"Kalau gue sih suka sama Alan. Dia tuh kayak karakter g********l yang sering gue baca tau nggak?" timpal Vania tak kalah antusias. "Udah ganteng, cool, nggak banyak bacot, holang kaya pula! Paket lengkap deh."
"Ah enggak. Tetep aja menurut gue, Rega lebih ganteng dari Alan, Atta, Elvan, Vikram, Arsen, apalagi Shem."
"Ih cowok jutek gitu, ngapain diidolain sih? GP banget!"
"Apaan tuh GP?"
"GAK PENTING!" bentak Vania tepat di depan muka Chika.
"Iya sih. Gue akui kalau dia tuh jutek. Tapi seenggaknya dia bisa ngomong. Nggak kayak Alan."
"Kulkas maksud lo?"
"Iiiiih pokoknya Alan paling keren."
"Eh semua orang juga tahu kalau Rega yang paling keren. Nggak hanya di sekolah ini aja. Bahkan seluruh Indonesia udah sepakat kalau Rega itu ganteng."
"Alan."
"Rega."
"Alan."
"Rega."
Braaaaaaaaaak
Laurin menggebrak meja, membuat kedua sahabatnya mengerjap kaget. Tentu saja hal itu juga menyita perhatian semua siswa-siswi yang ada di kantin. Vania mengelus dadanya, mencoba menstabilkan irama jantungnya yang kini berdetak kencang. Sementara Chika cepat-cepat meraih segelas air putih dan meneguknya habis untuk menghilangkan kekagetan.
"Bisa nggak kalian berhenti bicarain mereka? Telinga gue bosen dengernya," keluh Laurin lantas menyantap sesendok nasi, sengaja membuat mulutnya penuh, malas menimpali jika kedua sahabatnya protes.
"Tapi-" Chika terhenti, mendadak diam dan menelan ludah saat Laurin melotot padanya.
"Udah yuk! Makan yuk!" Vania mengambil sendoknya lalu menyantap makanan yang telah ia pesan.
Diam-diam, Laurin melirik ke arah sekelompok siswa-siswi K-U1. Matanya menyorot seorang cowok berkulit putih bermata sipit. Namanya Attalanta Aderald, biasa dipanggil Atta. Laurin tersenyum tipis lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah semula, sebelum Vania dan Chika memergokinya menyukai salah satu siswa K-U1.
"Kenapa gue sekarang suka nyuri-nyuri pandang ke Atta ya?" batin Laurin heran.
Laurin kemudian berkelana dalam ingatannya pada hari Senin kemarin, saat ia kebingungan mencari buku PR yang hilang entah ke mana karena ia lupa tempat ia meletakkannya. Padahal ia yakin buku tersebut tertinggal di sport center Delton saat ia sedang nge-gym. Buku itu sangat penting karena buku itu harus segera dikumpulkan sebagai tugas remidi Ujian Tengah Semester. Di saat Laurin kelabakan mencari buku tersebut, sesosok cowok tampan menghampirinya.
"Kak Laurin ya?" sapa cowok itu. Dia Attalanta Aderald, salah satu siswa K-U yang terkenal memiliki otak jenius. Dia selalu menduduki peringkat ke-3 di FKDK dengan nilai rata-rata di atas 97.
Laurin menoleh dengan mata melebar, tak menyangka jika saat itu ia diajak berinteraksi oleh Atta, salah satu cowok hits seantero sekolah. Mendadak tenggorokan Laurin mengering, bingung harus menjawab apa.
"Kak Laurin kan ?" ucap Atta
Laurin mengangguk cepat tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Atta. Cowok itu benar-benar tampak jauh lebih tampan jika dilihat dari dekat. Rahangnya tirus, alisnya tak terlalu tebal, sedangkan hidungnya tak terlalu mancung. Sungguh, Atta sudah mewakili ketampanan cowok Asia di mata Laurin.
"Ini buku Kakak ya? Kayaknya buku ini ketinggalan di perpus deh." Atta menyodorkan sebuah buku tipis pada Laurin. Buku tersebut sangat tipis, mungkin tak sampai dua puluh lembar karena Laurin sering merobek bagian tengah untuk dijadikan pesawat kertas di kala bosan mendengarkan pelajaran.
Laurin mengangguk lantas menyambar buku tersebut. "Te ... terima ka ... sih," ucapnya gugup.
"Sama-sama, Kak. Kalau gitu, aku balik ke kelas dulu ya." Atta meminta pamit. Ada seulas senyum di wajah tampannya.
"I ... iya."
Atta pun berlalu pergi. Sementara Laurin masih tak percaya karena telah berinteraksi dengan salah satu cowok paling hits di sekolah. Kemudian ia menepuk pipinya, barang kali ia bermimpi. Sulit dipercaya bagi Laurin bahwa Atta tak terlihat jijik melihat mukanya yang dipenuhi puluhan jerawat. Bahkan kalau tak salah lihat, Laurin juga menemukan seulas senyum di wajah tampan Atta.
"Laurin?" Vania melambai-lambaikan tangannya, tepat di depan muka Laurin, memergoki tatapan mata Laurin yang kosong, sepertinya pikiran Laurin tengah melayang entah ke mana.
"Bushet nih anak. Lo ngelamun apaan sih, Rin?" tanya Chika penasaran.
"Ngelamun apa? Gue ... gue nggak ngelamun kok," timpal Laurin gugup, mencoba menutupi kenyataan bahwa dia mulai tertarik dengan salah satu siswa FKDk.
"Heeeeem gue tau! Pasti lo lagi kasmaran. Iya kan?" tebak Vania. "Hayooo ngaku!" Dia menunjuk-nunjuk muka Laurin, memaksa Laurin mengaku.
"Idiiih siapa yang kasmaran?" kilah Laurin. "Enggak kok. Gue nggak kasmaran."
"Benar kata orang. Tugas lidah adalah berbohong." Vania berdecak lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya memicing curiga menatap gelagat aneh Laurin yang tampak gugup dan terkesan tidak natural seperti biasanya.
"Ngapain lo lihatin gue kayak gitu?"
"Gue tau kalau lo jatuh cinta, Rin. Lo nggak bisa ngelak."
"Iya, Van. Lo bener." Chika mengangguk setuju. "Kayaknya Laurin jatuh cinta. Kita kayaknya harus menyelidiki siapa orang yang bisa taklukin hati si ratu batu kayak Laurin."
"Ratu batu? Enak aja ngatain gue ratu batu!" bentak Laurin marah.
"Lha emang muka lo banyak jerawat batunya. Weeek." Chika menjulurkan lidahnya lantas cepat-cepat berlari menghindari amukan Laurin yang mengejarnya.
Di tempat duduknya, Grace menaruh sendok dan garpunya. Napsu makannya tiba-tiba menghilang, terusik dengan kebisingan Laurin dan Chika yang asyik berlarian di dalam kantin. Ia tak menyangka sekolah elite seperti Delton bisa menerima murid-murid kampungan seperti Laurin, Chika, dan Vania.
Kenapa lo berhenti makan, Grace?" tanya Thirza.
"Entahlah." Grace mengedikkan bahu. "Gue ngerasa kalau kantin ini mendadak kampungan tak berkelas."
Thirza langsung tertuju pada dua kakak kelas yang asyik berlarian. Ia menghela napas geram, setuju dengan pendapat Grace. Kemudian ia ikut menyudahi makan siangnya, merasa terganggu dengan keberadaan siswa-siswi miskin yang bisa masuk ke Delton dari jalur beasiswa.