Bayangan Pertama di Mata Vale
Bath, musim semi tahun 1932.
Kota tua itu bernapas dalam kabut dan batu,dalam sunyi yang hanya sesekali dipecahkan oleh derap kuda atau bunyi roda kereta di jalan berbatu. Bau tanah basah dan bunga liar yang baru tumbuh terbawa angin dari bukit, bercampur dengan aroma lilin dan kain wol yang lembap. Di pinggirannya, di antara ladang yang baru menghijau, berdirilah pemakaman kecil milik keluarga Wycliffe. Sebuah nama lama yang dahulu disegani, kini hanya tersisa pada prasasti dan kenangan.
Hari itu, langit berwarna kelabu pekat, seolah ikut berduka atas kepergian Sir William Wycliffe, bangsawan terpelajar, mantan anggota parlemen yang dihormati karena kebaikan dan kecendekiaannya. Hujan rintik-rintik turun tanpa niat berhenti, membasahi barisan nisan marmer yang berjajar dalam kesunyian yang khidmat. Air hujan mengalir di antara pahatan huruf-huruf tua, seolah menyapu sisa-sisa sejarah yang pernah megah.
Di sisi liang kubur berdiri Julian Roderick Vale, saudagar kaya raya sekaligus sahabat lama mendiang William. Usianya baru menginjak 37 tahun, namun rambut cokelat gelapnya telah disapu sedikit abu di pelipis. Bukan karena usia, melainkan karena lelahnya dunia. Ia mengenakan mantel panjang wol hitam, rompi sutra kelabu, dan sarung tangan kulit. Uap napasnya keluar tipis di udara dingin, sementara sepatu botnya menginjak rumput becek yang menempel di tepinya seperti noda kecil. Tongkat hitam berujung perak ia genggam bukan karena lemah, tapi karena kebiasaan seorang pria yang terbiasa memegang kendali.
Julian Roderick Vale dikenal di seluruh Bath dan bahkan sampai London sebagai pemilik perusahaan pelayaran, pewaris tanah di Dover, dan bangsawan tanpa cela di mata masyarakat. Namun bagi mereka yang mengenalnya lebih dalam, ada sesuatu yang lebih sunyi di balik sikap tenangnya. Sejenis kehampaan yang tidak dapat diisi oleh emas ataupun gelar.
Hari itu, ia datang bukan sebagai saudagar, melainkan sebagai teman lama yang kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Ketika doa terakhir dibacakan, kabut dari bukit turun semakin tebal. Lonceng gereja berdentang pelan di kejauhan, suaranya pecah dan bergaung di antara pepohonan cemara yang berbaris mengelilingi pemakaman. Di antara deretan payung hitam dan jubah duka berdirilah Evelina Grace Wycliffe, putri tunggal mendiang William. Ia berusia 20 tahun, cukup muda untuk disebut gadis, namun cukup matang untuk memikul nama besar keluarganya seorang diri.
Gaun beludru hitam membalut tubuhnya dengan kesederhanaan yang berkelas. Kerah renda tinggi menutupi lehernya yang jenjang, sementara sarung tangan sutra di kedua tangannya tampak sedikit basah oleh hujan.
Butiran air menempel di ujung kerudungnya seperti mutiara kelam. Wajahnya teduh, pucat oleh udara dingin, dan sebagian tersembunyi di balik kain hitam tipis. Namun dari balik kain itu, matanya menatap dunia dengan keteguhan yang tenang, tatapan seseorang yang tahu betul bahwa hidup tak selalu menawarkan perlindungan.
Lord Vale memperhatikannya dari jauh dengan perasaan yang sulit dinamakan. Dalam benaknya masih tergambar bocah kecil berambut pirang yang dulu sering berlari di taman rumahnya, membawa bunga liar dan memanggilnya dengan nama yang tak lagi pantas disebut dengan mudah. "Daddy". Kini gadis kecil itu telah menjelma menjadi wanita muda dengan keanggunan yang lebih dingin daripada cuaca sore itu.
Ketika upacara selesai, suara doa pun lenyap bersama desir angin. Para pelayat mulai berpencar, membenarkan mantel mereka, beberapa masih berbincang lirih di bawah payung. Jejak langkah mereka meninggalkan cekungan kecil di tanah lembek. Seekor burung gagak terbang rendah melewati nisan, suaranya memecah kesunyian yang nyaris beku. Vale tetap diam di tempatnya hingga langkah ringan mendekat dari arah belakang.
Evelina berhenti di hadapannya. Kabut membuat jarak di antara mereka tampak lebih intim daripada sebenarnya. Embun menempel di bulu matanya, dan napasnya tampak tipis di udara dingin. Ia menunduk sedikit, lalu berbicara dengan suara yang hampir tenggelam di antara embusan angin.
"Terima kasih telah datang, Lord Vale," katanya pelan sebelum menambahkan, "Terima kasih... Daddy."
Suara itu membuatnya membeku sesaat. Kata sederhana, tapi bergema dengan nada yang berbeda. Bukan kepolosan anak kecil, melainkan kelembutan wanita yang telah mengenal kehilangan.
Vale menunduk hormat, menahan sesuatu di dadaanya yang tak semestinya muncul di hari berkabung. "Biarkan aku mengantarmu, Miss Wycliffe," katanya. "Jalan ini terlalu licin untuk dilalui sendiri."
Evelina menatapnya lama. Gerakan kecil pada dagunya menunjukkan bahwa ia mempertimbangkan tawaran itu, tapi kemudian ia menarik napas dan menggeleng perlahan.
"Terima kasih, Lord Vale," ujarnya tenang. "Namun aku mampu berjalan sendiri. Aku telah kehilangan ayahku, bukan kekuatanku."
Beberapa pelayat menoleh. Dua wanita tua berbisik di bawah payung besar mereka. Suara mereka seperti jarum halus menembus udara dingin.
"Putri Wycliffe menolak bantuan Lord Vale... sungguh tak tahu tempatnya," kata yang satu.
"Ah,mungkin darah Wycliffe memang tak pernah tahu cara tunduk," sahut yang lain dengan nada setengah kagum.
Vale mendengar gumaman itu, tapi matanya tak beranjak dari Evelina. Gadis itu berdiri tegak di hadapannya, begitu rapuh dalam rupa namun begitu berani dalam sikap. Angin menggoyangkan ujung gaunnya, menghempaskan sehelai rambut ke pipinya. Tanpa sadar, ia mengangkat tangannya untuk menyingkirkannya sendiri, lalu tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip perpisahan daripada rasa terima kasih.
"Bukan belas kasihan yang kuinginkan dari Anda, Tuan Vale," katanya lembut tapi tegas. "Hanya waktu... untuk belajar berdiri tanpa harus bersandar pada siapa pun, termasuk Anda."
Ia menunduk hormat, lalu melangkah pergi perlahan di antara kabut dan suara lonceng gereja yang masih bergema dari kejauhan. Sepatu botnya menimbulkan bunyi lembut di jalan berkerikil yang basah, dan bayangan hitamnya memudar di balik kabut yang semakin pekat. Lord Vale menatap punggungnya yang menjauh, dan untuk sesaat dunia seolah berhenti, antara kagum, marah, dan tak mampu melepaskan pandangan.
Langit makin muram dan kabut turun lebih tebal di antara pepohonan yang berdiri seperti bayangan tua, menyelimuti jalan berliku yang hanya sesekali tampak di antara dinding batu berlumut dan semak hawthorn yang baru bertunas. Sesekali angin lembah berhembus dingin, membawa aroma tanah basah dan sisa dupa dari pemakaman yang baru saja ditinggalkannya, seolah membisikkan kenangan lama ke telinganya.
Setiap langkah terasa berat bukan karena jarak, melainkan karena kesunyian yang mengiringi. Hanya suara sepatu botnya yang beradu pelan dengan bebatuan dan desir kain beludru hitam yang menempel di kakinya. Ia tak berpayung, hanya kerudung hitam menutupi kepalanya menampung tetes-tetes hujan yang jatuh dari dahan seperti mutiara yang remang.
Perbukitan itu memandangnya seperti saksi bisu, hijau dan lembap, menyimpan rahasia kecil dari hari-hari yang telah berlalu. Jalan itu dulunya sering ia lalui bersama ayahnya, kadang mereka berbicara tentang langit yang tak terbatas, tentang buku-buku tua yang penuh ilmu, atau tentang masa depan yang kini terasa seperti mimpi yang retak.
Ketika akhirnya rumah keluarga Wycliffe tampak di ujung jalan, hati Evelina seolah dicekik oleh rasa rindu yang tak tertahan. Bangunan batu abu-abu berdiri kokoh di atas tebing kecil, dengan atap miring yang ditutup sirap kayu gelap, dikelilingi taman liar yang dahulu tertata rapi. Jendela berbingkai kayu menampilkan kaca berlapis tipis, yang memantulkan kabut lembut lembah di depannya.
Rumah itu berdiri seolah menantikan kedatangan kembali penghuni yang hilang, dengan halaman depan di mana mawar yang dulu ditanam ayahnya telah layu, daunnya menempel basah di tanah, dan jalan setapak yang berbatu tampak berlumut di setiap lekuknya.
Ia membuka pintu yang berderit pelan, suara kayu tua yang menegaskan usia rumah itu. Bangunan itu dibangun oleh leluhur keluarga Wycliffe, dengan dinding tebal yang menyimpan sejarah puluhan tahun, dan perapian batu besar yang selalu menjadi pusat rumah, tempat kehangatan sekaligus cerita keluarga dibagikan.
Udara lembap bercampur dengan aroma lilin yang telah padam, dan sedikit bau kayu tua serta debu yang tak terhapus. Ruang tamu sederhana itu tampak seolah masih menunggu seseorang kembali, mantel ayahnya tergantung di dekat perapian, secangkir teh setengah habis di atas meja kecil, dan buku terbuka di kursi kayu, seakan menunggu tangan yang membaca kembali.
Evelina berdiri di ambang pintu menatap semuanya tanpa suara. Hanya butiran air hujan yang jatuh dari kerudungnya ke lantai kayu satu demi satu, hingga tubuhnya gemetar. Ia menutup pintu perlahan, bersandar di baliknya, tangannya menutupi wajah, dan suara tangisnya pecah, tercekik, getir, seolah seluruh duka yang ia tahan sejak pagi meledak sekaligus.
Ia jatuh berlutut di lantai, memeluk dirinya sendiri. Bahunya bergetar hebat, dan napasnya tersengal seperti seorang anak kecil yang memanggil nama ayahnya dalam mimpi buruk.
Ia menunduk dan berbisik pada dirinya sendiri, suaranya lirih namun tegas.
"Ayah... mengapa engkau meninggalkanku sendiri di dunia yang begitu dingin ini? Bagaimana aku harus melangkah tanpa petunjukmu, tanpa tanganmu menuntunku?"
Evelina menatap mantel ayahnya yang tergantung di dekat perapian dan berbisik lagi, kali ini sedikit lebih tegar.
"Jika aku harus berdiri sendiri, maka aku akan belajar. Aku tidak akan menyerah. Aku akan menjaga nama kita... seakan engkau masih di sini, membimbingku."
Tak ada yang menjawab. Hanya suara angin dan dinding batu yang membawa aroma laut jauh dari selatan, sementara kabut menelan luasnya lembah di sekeliling rumah. Lilin padam seluruhnya meninggalkan ruangan dalam remang dan bayangan kesendirian.