Jejak di tengah malam

1852 Words
Dentuman keras mengguncang rumah tua keluarga Wycliffe. Pecahan kayu beterbangan ke lantai, dan lantai kayu tua bergetar di bawah langkah kaki ketiga pemuda itu, Cormac Thorne, tinggi dan kekar, Edric Mallory, ramping dan lincah dengan bekas luka panjang di pipi kanan, dan Gideon Brackett, berotot dengan wajah bulat dan tanda lahir di lehernya. "Ah, Lady… Kau tampak begitu menggoda dengan gaunmu yang lusuh, namun tatapan macam apa ini? Seperti ingin membunuh kami, Lady," ejek Edric, melangkah masuk, menginjak piring yang berserakan di lantai. Gideon tertawa pendek, matanya menyipit, menatap Evelina seakan menunggu kesempatan untuk menyerangnya. Evelina menunduk, menggenggam kerah gaun tidurnya yang tipis dan lusuh, panjangnya hanya sebatas pergelangan kaki. Kain kasar menempel di lengan dan pundaknya, basah oleh hujan yang merembes dari jendela yang bocor. Rambut pirang basah menempel di wajahnya, dan matanya yang biru menatap ketiga pria itu dengan keberanian yang menolak takut. "PERGILAH!" teriaknya, suaranya pecah namun tegas. "AKU ADALAH BANGSAWAN TERPANDANG DI DESA INI!!!" Mencoba berani. Cormac melangkah maju, mencoba meraih gaunnya. Evelina segera menepis dan mundur, namun tangan kasar itu menarik kain tipisnya hingga sobek, meninggalkan robekan memanjang dari paha hingga bawah. "Lihatlah, Lady! Kau sengaja memprovokasi kami bertiga dengan penampilan vulgar ini!" ejek Cormac, matanya berkilat marah, sementara kilatan petir sesaat menyorot wajahnya yang bengis melalui jendela yang retak. Evelina menatap kedua pria lainnya. "AKU BUKAN p*****r! PERGILAH KE RUMAH BORDIR, DASAR PREMAN SAMPAH!" Suaranya semakin tegas, meski kaki telanjangnya menapak lantai kayu dingin dan basah, dengan embun hujan yang meresap ke kulitnya. Edric melangkah maju, tertawa mengejek. "Sombongnya, Lady. Aku ingin melihat ketika sudah di atas ranjang apakah suara Lady masih sesombong itu," katanya sambil menatap paha Evelina. "Dasar perempuan rendahan!" balas Cormac. "Lady hanya bangsawan miskin. Kami berbaik hati membagi roti dan daging, dan Lady hanya cukup melayani kami," ejeknya sambil melempar sekantung roti dan dua keping perak ke lantai yang basah oleh hujan. Gideon menggeram, tubuhnya tegang, siap menyerang, sementara hujan malam menetes dari atap bocor, membasahi lantai dan menambah aroma tanah basah yang menusuk hidung. Evelina menyadari ruang dapur tak lagi memberinya perlindungan. Ia menepis serangan Gideon dan berlari ke pintu samping rumah. Gaun lusuhnya yang robek berkibar, rambut pirang menempel di pipi, matanya biru menatap gelapnya malam yang hanya diterangi cahaya remang dari lentera-lentera yang jauh. Kaki telanjang menapak tanah dingin, basah oleh hujan dan embun malam yang membeku di kulitnya. Dengan napas terengah, ia mengetuk pintu rumah penduduk sekuat tenaga. "TOLONG!.. TOLONG... TOLONG..!" Malam tetap sunyi. Hanya angin yang menggoyangkan pepohonan, hujan yang menitik di atap, dan desir lembut dedaunan yang menjawabnya. Tak ada rumah warga yang terbuka meski sudah beberapa kali diketuk. Dalam keputusasaan itu, bayangan Julian Vale muncul di pikirannya. "Aku harus ke sana," bisiknya, suara nyaris tersedak oleh udara dingin dan basah. Dengan tekad yang membara, ia terus berlari. Gaun tipisnya berkibar, kaki telanjang menapak tanah dingin, lumpur dan dedaunan basah menempel di kulitnya, rambut basah menempel di bahu dan wajah. Mata biru menatap rumah penduduk yang belum terbuka pintunya, sementara ketiga pemuda itu terus mengejar, langkah mereka menggema di antara bangunan batu, pagar kayu lapuk, dan hujan tipis yang menambah mencekam malam itu. Suara ranting patah, hembusan angin, dan jarak langkah mereka menciptakan irama menegangkan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Evelina berlari tanpa henti. Kaki telanjangnya yang lecet dan paha serta betis panas terasa setiap kali menapak tanah basah, dan otot pahanya berdenyut hingga rasa sakitnya hampir menenggelamkan ketakutan yang menguasai hatinya. Keringat menetes dari pelipis, membasahi rambut pirangnya yang menempel di wajah, dan gaun tidurnya yang tipis kini menempel pada tubuhnya, menampakkan lekuk-lengkung yang seharusnya tersembunyi dari mata dunia. Napasnya tersengal, namun tekad yang membara mendorongnya terus maju, meninggalkan jejak di tanah lembap yang diterangi rembulan redup di langit malam. Dari kejauhan, cahaya lilin dan lampu lentera menandai garis besar mansion Lord Vale, berdiri megah dengan menara batu putih dan atap sirap berwarna gelap. Angin malam membawa aroma taman bunga mawar dan melati, yang dulu Evelina kenal sebagai tempat bermain dan berlari ketika masih kanak-kanak, kini tampak asing, bak dunia lain yang tak lagi ramah bagi dirinya. Taman air mancur di tengah halaman memantulkan cahaya lampu, percikan airnya berkilau seperti bintang di tanah, menambah aura megah dan dingin dari rumah bangsawan kaya itu. Beberapa kereta kuda berderet di halaman, seolah menunggu para tamu dari pesta yang tengah berlangsung di dalam. Namun kenyataan segera menamparnya ketika ia sampai di pagar perbatasan. Dua penjaga berdiri tegap di depan gerbang besi, berbaju pelindung kulit yang mengkilap, helm berornamen emas menutupi sebagian wajah mereka, dan tombak panjang mereka mencuat ke langit malam. Mata mereka tajam, meneliti setiap gerakan Evelina, dan sikap tubuh mereka tidak memberi celah bagi siapa pun yang mencoba menerobos. “Berhenti di situ, Lady,” perintah salah seorang penjaga, suaranya rendah namun penuh kewibawaan. “Dengan penampilan seperti itu dan tanpa kartu undangan, tiada seorang pun diizinkan melewati gerbang ini.” Evelina, napas tersengal dan jantung berdegup kencang, mencoba melangkah maju. Pagar besi yang dingin dan kokoh seolah menjadi benteng pemisah antara dunia miskin dan dunia kaya yang tak terjamahnya. Ia menatap mansion yang tampak begitu jauh, cahaya lilin memantul di jendela-jendela besar, menyingkap bayangan para tamu berpakaian indah, tertawa dan berbicara seolah tidak ada penderitaan yang mengintai di luar gerbang. “Jangan mendekat!” ancam penjaga yang lain, mendorong Evelina mundur dengan bahu. “Jika nekat masuk, petugas keamanan akan segera dipanggil. Tiada seorang pun diperbolehkan menembus gerbang ini tanpa undangan resmi.” Evelina mundur, tubuhnya gemetar, basah oleh hujan yang menetes dari rambut dan gaun tipisnya. Ia menatap pepohonan di dekat pagar, daun-daunnya basah, menawarkan perlindungan sementara. Di situ, ia setidaknya merasa aman dibandingkan di rumah Wycliffe yang kini dipenuhi ancaman. Di tengah kesunyian pepohonan dan gemerisik dedaunan basah, benaknya hanya terpaut pada satu hal, kehormatan yang ingin ia jaga. Kehormatan itu, meski rapuh, masih menjadi benteng terakhirnya. Dengan tubuh yang gemetar, Evelina menahan napas, membiarkan hujan menetes di wajahnya, dan menatap mansion yang megah dari kejauhan. Ia menyadari, dengan getir dan pilu, bahwa inilah perbedaan nyata antara bangsawan kaya dan bangsawan miskin, kemegahan yang bisa menyilaukan mata, dan dunia yang tampaknya tak terjangkau oleh mereka yang hanya memiliki nama dan kehormatan, tanpa harta atau pengaruh. Di balik pepohonan itu, Evelina menunduk, memeluk diri sendiri, dan bertekad bahwa, meski malam ini ia tak mampu melewati gerbang besi itu, ia masih aman di sini. Hujan malam yang tak henti-henti, dingin yang menusuk tulang, dan kelelahan yang mendera telah membuat Evelina tersungkur di balik pepohonan dekat pagar mansion Lord Vale. Tubuhnya yang basah, kedinginan, dan lemah akibat lapar membuat kepalanya berputar, napas tersengal, hingga akhirnya pandangannya menjadi kabur dan dunia menghitam di sekelilingnya. Gaun tidurnya yang tipis dan lusuh kini menempel di kulitnya, robek hingga paha, kaki yang terbalut lumpur menggenggam tanah dingin, menambah rasa sakit yang mendera. Waktu seakan melambat di antara kegelapan pepohonan. Pesta di mansion yang megah itu berlangsung tanpa ia sadari, lampu lentera memantul di jendela-jendela besar, cahaya lilin menari-nari di dinding batu yang tinggi, sementara irama musik dan gelak tawa tamu-tamu bangsawan terdengar samar. Satu persatu kereta kuda meninggalkan halaman, meninggalkan jejak roda di tanah basah, dan akhirnya pesta mulai mereda. Tiba-tiba, teriakan nyaring memecah kesunyian malam. Seorang bangsawan wanita, mengenakan gaun sutra yang berkilau, menunjuk ke arah tubuh terkapar di bawah pepohonan. “AAAHHH… MAYAT… ADA...MAYAT....!” teriaknya, suaranya bergetar antara ketakutan dan keterkejutan. Bisikan panik segera menyebar. Para bangsawan yang tersisa, beberapa pelayan, dan penjaga yang tadi mengawal gerbang, segera berkumpul. Mereka menatap tubuh terbalut gaun tidur tipis menerawang sebagian yang tergolek, bercampur lumpur dan hujan, dengan rasa ngeri yang sama sekali tak bisa disembunyikan. Kereta kuda di halaman pun diarahkan untuk mengangkut tubuh itu, sementara mereka membicarakan kemungkinan terburuk. Desas-desus dan bisik-bisik melintas di udara. “Apakah ini pengemis atau wanita rumah bordir…?”, “Bagaimana ia bisa sampai di sini?”, “Tidakkah ini tidak pantas dilihat dan sangat vulgar?” Suara-suara itu bergemuruh di antara taman bunga dan taman air mancur yang memantulkan cahaya lilin, menambah suasana malam yang mencekam sekaligus penuh tanda tanya. Namun kabar itu cepat sampai ke telinga Lord Vale, pemilik mansion dan tanah sekitarnya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas keluar dari aula pesta. Ia mengenakan mantel bulu panjangnya menutupi tubuh gagah dan kokoh, menapaki jalan setapak yang basah oleh hujan. Mata Lord Vale melihat setiap tamu yang berhenti dan berantakannya kereta kuda, dan ketika ia melihat tubuh yang tergeletak. Tubuh itu adalah Evelina. Tubuh yang ringkih dan basah, hanya diselimuti gaun tidur tipis yang robek, kaki terbalut lumpur, dan wajah pucat karena kedinginan dan kelelahan. Ia, yang baru saja dikejar malam itu, kini terkapar di bawah cahaya bulan dan lentera. Dengan langkah cepat dan hati-hati, Lord Vale melepaskan mantel bulu tebalnya dan menyelimuti tubuh itu. Jemarinya yang besar dan kuat meraba dahi, pipi, dan leher Evelina untuk mengecek suhu, denyut nadi, dan napas. Hati yang semula khawatir lega ketika ia merasakan napas halus dan denyut yang samar namun pasti. Tubuh itu hanya terasa sedikit hangat, dari dekat wajah Evelina hanya seukuran tangan Lord Vale. Tubuh gadis itu basah, lembut, pucat. Helaian rambut bercampur lumpur dalam dekapan Lord Vale membuat perasaan tak nyaman menjalar ke seluruh tubuhnya. Para bangsawan yang menatap dari kejauhan menahan napas. Mata mereka berpindah-pindah antara Lord Vale dan wanita yang terbaring, bisik-bisik memenuhi taman. “Apakah… ia masih hidup?”, “Bagaimana Lord Vale bisa menyentuh wanita menjijikan itu…” “Tidakkah ini terlalu… berlebihan, seharusnya penjaga saja sudah cukup menyingkirkan rakyat jelata itu?” Malam itu semakin panas oleh ketegangan yang tak terlihat, di mana seorang bangsawan yang sedang menyelenggarakan pesta pertunangan dengan wanita bangsawan dari Inggris, kini membopong tubuh perempuan yang hampir telanjang di halaman, dan kelembutan yang tak lazim bagi statusnya. “Apakah itu… seorang tamu?”, “Tidakkah ini tak pantas di malam pertunangannya?”, “Lord Vale… tidakkah ia terlalu berani?” Di antara kerumunan itu berdirilah sosok yang menjadi pusat politik dan perhatian malam itu, Lady Isolde de Montclair, putri tunggal gubernur yang kaya raya dan penuh pengaruh. Rambut pirang keemasan yang tersisir rapi berkilau dalam cahaya lentera, mahkota kecil berornamen emas dan permata menghiasi kepalanya, mata biru keabu-abuan menatap penuh ketidaksenangan, dan bibir tipisnya berlekuk garis tegang. Gaun biru safir dengan sulaman perak yang menari di atas kain sutra menjuntai hingga lantai, lengan panjangnya dihiasi manik-manik, kerah tinggi berenda halus menambah kesan resmi, sementara kalung mutiara dan anting berkilau menegaskan status aristokratnya. Lord Vale, tanpa mengalihkan pandangannya dari Evelina, melangkah melewati barisan bangsawan. Tubuh wanita yang ia bawa tetap hangat di lengannya. Para bangsawan menunduk, menahan napas, dan bisik-bisik makin deras. “Apakah ia masih bernyawa?”, “Ya Tuhan… Lord Vale sendiri yang membawa tubuh itu…”, “Tidakkah ini mencemari kehormatan Lady Isolde?” Tatkala langkahnya hampir sejajar dengan Lady Isolde, tunangannya itu menatap tajam. Mata biru keabu-abuan itu menatap wajah Evelina, bibir tipis menekuk dalam garis ketidaksenangan yang jelas, namun ia tetap berdiri tegap, menahan diri dari gerakan yang berlebihan. Lord Vale berhenti sejenak, menatap tunangannya dengan mata yang lembut, lalu menunduk sebentar pada Evelina. Ia tidak berbicara, tidak perlu kata, karena tindakan dan ketegasan tubuhnya sudah berbicara lebih lantang daripada ucapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD