Lady Isolde de Montclair

1007 Words
Langit malam ditaburi bintang ketika gerbang besar kediaman Lord Vale terbuka. Kuda hitam berhenti di halaman berkerikil, dan para pelayan bergegas ke luar, membungkuk rendah saat tuan mereka turun dari kereta dengan seorang perempuan muda di pelukannya. Ia tampak lusuh, wajahnya pucat dan rambut pirangnya berantakan, basah oleh hujan yang masih menetes dari ujung kerudung tipisnya. Para pelayan saling melirik, menahan napas, tak berani bertanya siapa gerangan perempuan yang digendong Tuan mereka dengan begitu hati-hati. Di dalam, mansion itu bagaikan dunia lain. Dinding tinggi dari batu kapur dihiasi lukisan-lukisan keluarga Vale, potret para leluhur dalam pakaian kebesaran, mata mereka seolah mengikuti langkah siapa pun yang melintas. Tirai beludru merah terulur panjang hingga menyentuh lantai marmer, berkilau di bawah cahaya kandela perak yang bergoyang lembut diterpa angin dari jendela. Di sepanjang lorong, karpet Persia membentang, begitu tebal hingga langkah kaki jarang menimbulkan suara. Namun malam itu, yang terdengar hanyalah derap sepatu kulit Lord Vale memecah keheningan, berat dan tegas, menggema di antara dinding-dinding sunyi itu. Setiap langkahnya meninggalkan jejak air di karpet,tetesan dari ujung jubahnya yang basah oleh hujan. Para pelayan berdiri di sisi kanan dan kiri lorong, menunduk dalam diam. Tatapan mereka mengikuti tuan mereka yang terus melangkah menuju kamar tamu di sayap timur, tempat biasanya para tamu bangsawan menginap. Namun belum pernah ada tamu dengan penampilan seburuk perempuan itu gaun tidurnya koyak, ujungnya penuh lumpur dan darah kering di pergelangan tangannya. Begitu Lord Vale tiba di depan pintu besar berukir lambang keluarga Vale, ia mendorongnya perlahan. Kamar itu hangat dan harum kayu manis. Perapian batu putih menyala lembut di sudut ruangan, mengusir hawa dingin yang menempel di udara. Di tengah kamar, tempat tidur besar berkanopi sutra biru pucat menanti, dikelilingi tirai renda dan meja ukir dari mahoni dengan lilin-lilin kecil menyala di atasnya. Ia meletakkan Evelina di atas kasur yang empuk, hampir seperti awan. Tubuh perempuan itu tenggelam di antara lapisan kain halus dan selimut wol yang begitu hangat. Ia menggigil, bukan karena dingin, tapi karena tak percaya tempat seindah itu nyata. Lord Vale memberi isyarat singkat kepada pelayan-pelayan wanita yang berdiri di ambang pintu. “Rawat dia,” ucapnya pelan namun tegas. “Dan ganti pakaiannya dengan yang pantas.” Dua pelayan maju perlahan,membawa gaun tidur dari sutra tipis berwarna gading, milik Lady Isolde. Kainnya lembut dan berkilau di bawah cahaya api, dihiasi renda halus di pergelangan tangan dan leher. Saat pelayan mulai menanggalkan pakaian lusuh Evelina, mereka menatap sesaat dengan perasaan jijik. Satu per satu, lapisan pakaian kotor itu dilepaskan, diganti dengan gaun yang hangat dan harum bunga lavender. Selimut wol tebal kemudian ditarik hingga menutupi pundaknya. Lord Vale berdiri diam di ambang pintu,pandangannya tak lepas dari wajah perempuan itu yang kini tenang dalam tidur. Cahaya api dari perapian menari di matanya, membuatnya tampak lebih lembut. Ia, Julian Roderick Vale, seorang bangsawan yang hidup di dunia penuh perhitungan dan kepatuhan, tak pernah tahu apa itu cinta. Di matanya, perasaan hanyalah kelemahan, godaan lembut yang menjerat manusia hingga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Namun malam itu,di hadapan gadis berambut pirang yang tampak rapuh dalam tidur, ia merasakan sesuatu yang tak mampu ia beri nama. Perasaannya bukan kasih, bukan pula keinginan. Ia lebih menyerupai kerinduan yang asing, seperti menemukan gema suaranya sendiri di dalam ruang kosong yang lama tak bersuara. Ada sesuatu pada gadis itu,pada helai rambutnya yang terhampar di bantal, pada napasnya yang tenang, pada jejak luka di pergelangan tangannya, yang membuat hati dinginnya retak oleh sesuatu yang nyaris menyerupai kelembutan. Vale menarik napas dalam. “Aneh,” gumamnya nyaris tanpa suara. “Mengapa engkau tampak seperti jawaban… padahal aku bahkan tak tahu pertanyaannya.” Pintu kamar itu berderit pelan saat terbuka. Dari balik cahaya lilin yang bergoyang di lorong panjang, langkah halus bergema perlahan, membawa hawa sejuk yang menyusup di antara kehangatan perapian. Para pelayan menunduk dalam-dalam ketika Lady Isolde masuk, gaunnya berdesir lembut, membawa keheningan yang nyaris sakral bersamanya. Lord Vale berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tegak, pandangannya masih tertuju pada perempuan muda yang tertidur di bawah cahaya api. Selimut wol yang membungkusnya tampak kontras dengan kulit pucatnya, seolah malam itu berusaha melindungi sesuatu yang rapuh. Isolde berhenti di ambang pintu, suaranya lirih tapi jelas. “Jadi,ini alasan Tuanku meniadakan jamuan bersama Lord Harrington?” katanya pelan, setiap katanya seperti bulir kaca yang jatuh perlahan ke lantai marmer. Vale tidak menjawab segera. Ia hanya mengangkat wajah sedikit, sekilas menatap tunangannya, lalu kembali pada sosok yang tertidur. “Dia putri sahabatku yang sudah wafat,”ucapnya pendek. “Aku tak bisa meninggalkannya di jalan.” Isolde berjalan mendekat, langkahnya senyap di atas karpet Persia. Pandangannya menelusuri wajah gadis itu, lalu berhenti sejenak. “Dia tampak seperti rusa kecil yang tersesat di tengah badai,”katanya lembut, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Begitu lembut, begitu cantik sehingga menimbulkan rasa iba, dan mungkin, bagi sebagian orang, memikat hati.” Ia beralih menatap Vale, senyum tipis menghiasi bibirnya, bukan senyum manis, melainkan yang menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. “Aku mengerti mengapa Tuanku membawanya kemari.Siapa yang tega membiarkan makhluk seindah itu membeku di bawah hujan?” “Lady tidak perlu khawatir,” jawab Vale datar, nadanya tenang namun mengeras di ujung kalimat. “Aku tidak akan bertindak melewati batas.” Isolde mengangkat alisnya sedikit. “Tentu, Tuanku tidak pernah berniat seperti itu. Tapi dunia ini, sayangnya… dadaa bisa terpikat oleh pesona rusa yang secantik ini.” Ia berhenti di sisi ranjang, menatap gadis itu lagi dengan tatapan antara kekaguman dan cemburu. “Seekor rusa yang memikat dadaa sering kali tidak sadar bahwa langkahnya yang lembut justru menarik panah ke arahnya.” Ruangan kembali hening. Hanya api yang berderak pelan di perapian, memantulkan cahaya ke dinding batu yang dingin. Isolde menarik napas perlahan, kemudian membungkuk sedikit memberi hormat kepada tunangannya. “Aku mohon,Tuanku, berhati-hatilah. Kebaikan yang terlalu dalam sering kali menuntun d**a pada jalan yang tak lagi bisa disebut kebajikan.” Ia lalu berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah ringan. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, menelan sisa aroma melati yang tertinggal di udara. Lord Vale berdiri diam, lama sekali, memandangi nyala api yang menari di batu perapian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD