Pohon Oak tua

1219 Words
Harum kayu manis masih menggantung di udara ketika Evelina membuka matanya. Cahaya pagi menyusup lembut melalui tirai sutra biru pucat, menembus udara sejuk yang berembus dari celah jendela tinggi. Kamar itu dipenuhi aroma kayu manis yang samar terbakar, mengingatkan pada malam yang baru saja berlalu. Di sudut ruangan berdiri perapian batu putih, padam namun masih meninggalkan abu hangat di dasar tungkunya. Di atas meja kecil di dekat tempat tidur, lilin perak telah mencair habis, sisa cairannya membeku di piring logam bagai air mata beku waktu. Tempat tidur besar dengan kanopi sutra biru pucat menaungi dirinya. Tiang-tiang kayu mahoninya diukir rumit dengan bentuk daun anggur dan mawar hitam mekar di atas perisai perak, lambang keluarga Vale. Ia masih terbungkus selimut wol hangat, kainnya kasar namun menenangkan di kulitnya yang pucat. Saat ia bergerak, gaun tidurnya yang berwarna gading tampak keluar dari balik selimut, berhiaskan renda halus di leher dan di pergelangan tangan. Kainnya lembut dan tipis, dingin di kulit, membuat Evelina cepat-cepat merapatkan selimutnya lagi ketika udara pagi menyentuhnya. Perlahan Evelina duduk di tepi ranjang. Kakinya terbalut perban putih, dingin ketika menyentuh lantai batu. Ia memandangi sekeliling kamar, tirai, perapian, ukiran, lilin, semuanya berbicara dalam bahasa kemewahan yang tak pernah ia kenal. Ia teringat rumah kayunya di lembah, atap bocor, dinding berlumut, aroma tanah lembap. Di sini semuanya terlalu indah, terlalu diam. Dengan selimut masih melingkari bahunya, Evelina melangkah ke arah jendela. Dari sana terbentang taman mawar, air mancur berkilau di bawah sinar lembut pagi, dan hutan cemara yang menatap dari kejauhan seperti penjaga abadi lembah. Udara luar menerpa wajahnya, membawa kabut tipis dan aroma air. “Apakah aku bermimpi?” bisiknya Ia meninggalkan kamar dengan langkah ragu. Di luar terbentang koridor panjang dengan dinding berlapis lukisan keluarga Vale, wajah-wajah asing dari masa lalu menatapnya dari bingkai emas yang pudar. Cahaya dari jendela kaca patri menimpa rambutnya, membentuk bayangan di lantai batu. Ia berjalan tanpa alas kaki, langkahnya bergema lembut di lantai marmer. Dari koridor, ia sampai di Aula Agung. Lantai marmer hitam-putih berkilau seperti permukaan air. Dua tangga melengkung berdiri gagah di kiri dan kanan, menjulur ke lantai dua bagai sayap batu. Lukisan-lukisan besar menggantung tinggi, memperlihatkan para leluhur keluarga Vale dalam pakaian perang dan sutra dengan lambang mawar hitam di d**a mereka, kelopak yang gelap dan bermahkota perak. Evelina berhenti di tengah aula. Angin dari jendela besar mengibaskan helai rambutnya yang kusut. Gaun tipisnya menempel pada kulit dan selimut wol tergelincir dari bahunya jatuh ke lantai. Ia tidak peduli. Dunia di sekelilingnya terlalu megah untuk diresapi sekaligus. Rasa ingin tahunya menuntun langkah ke Perpustakaan Kuno Vale. Pintu kayu ek berat membuka dengan suara serak, menyingkap barisan rak tinggi menjulang. Udara di dalam berbau kertas tua dan debu yang mulia. Tangga kayu geser berdiri menempel di rak, dan di atas meja besar terdapat peta, pena bulu, dan buku terbuka dengan halaman yang setengah menguning. Ia menyentuh punggung buku-buku itu dengan hati-hati, seperti menyentuh artefak suci. Salah satu judul membuatnya terpaku. The Histories of Wycliffe and Vale. Nama itu, Wycliffe, nama keluarganya. Ia menarik napas panjang, nadi di lehernya berdetak cepat. Keluar dari perpustakaan, ia menemukan Ballroom, ruang megah dengan langit-langit tinggi dan mural malaikat menari di antara awan. Piano besar berdiri diam di sudut, mengilap namun bisu. Dari balkon terbuka, ia melihat taman air mancur di bawah, cahaya pagi menimpa air dan memecah menjadi ribuan serpihan perak. Ia menutup mata, membiarkan udara lembap mencium wajahnya. Untuk sesaat, ia melupakan perih di kakinya, melupakan masa lalunya. Yang ada hanya keindahan yang tak terjangkau dan dirinya, gadis miskin yang tiba-tiba terjebak di dalam istana yang hidup dari diam. Dari taman dalam, Evelina mendengar gemericik air. Ia menuruni anak tangga, memasuki ruang beratap kaca penuh tanaman tropis dan patung malaikat. Suara air menenangkan, memantulkan wajahnya yang sendu. Ia duduk di bangku batu, jantungnya perlahan tenang. Namun jauh di atas, di menara pengintai, seseorang tengah memandang ke bawah. Mata itu menangkap bayangan gadis bergaun gading yang berjalan tanpa arah di jantung rumahnya. Lord Vale telah memperhatikannya. Udara pagi menyelimuti taman Vale Manor dengan kabut tipis yang bergerak pelan di antara rerumputan basah. Burung-burung kecil bernyanyi di kejauhan, sementara cahaya matahari yang lembut memantulkan warna perak di dedaunan oak. Evelina berdiri di bawah pohon tua itu, jemarinya menyentuh kulit kayu kasar yang masih lembap. Gaun gadingnya bergoyang perlahan tertiup angin, renda di leher dan pergelangan tangannya bergetar halus. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat usai. Langkah-langkah berat terdengar mendekat dari arah koridor kaca. Suara itu berhenti di dekatnya. “Lady Evelina.” Nada suara itu tenang, namun dingin. Evelina menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri Lord Vale, mantel kelabu muda membingkai sosoknya yang tegak. Pandangannya tak mengarah pada wajahnya, melainkan ke ujung dahan pohon yang menjulur ke langit. “Tuan sudah bangun begitu pagi,” ucap Evelina dengan senyum tipis yang berusaha ia pertahankan. “Pohon ini tampak berbeda di bawah cahaya pagi.” Vale hanya memiringkan sedikit kepala, matanya tetap tenang. “Saya akan berterima kasih jika Lady Evelina tidak berjalan sendirian di taman pada jam-jam seperti ini.” Udara di antara mereka terasa menegang. Evelina menurunkan pandangan, jemarinya meremas lipatan gaun. “Saya mengerti, Lord Vale. Saya tidak bermaksud menimbulkan kesan buruk.” Tatapan sang bangsawan beralih padanya sesaat. Sorotnya tajam, namun segera beralih kembali pada pepohonan, seolah menghindari sesuatu. “Banyak mata memandang ke rumah ini,” ujarnya datar. “Setiap langkah dapat menjadi bahan bisik-bisik.” Matanya menatap singkat ke arah jendela mansion yang menghadap taman, di mana tirai tampak bergerak perlahan tertiup angin. Evelina terdiam. Embusan angin membuat helaian rambut pirangnya berayun menutupi wajah. Ia menyibakkannya dengan gerakan kecil, namun pandangannya tak berani naik. Vale melangkah setapak lebih dekat, lalu berhenti. “Terutama setelah peristiwa semalam,” katanya dengan nada hampir tak terdengar. Evelina menegang. Nafasnya terhenti sejenak. Ia mengangkat wajahnya sedikit, cukup untuk menatap sosok itu dengan mata yang mulai berembun. Angin pagi berhembus lebih kuat, menggugurkan daun oak yang jatuh di antara mereka. Ucapan Vale menggema pelan di udara pagi yang lembap. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi, namun di antara kata-kata itu terselip sesuatu yang membuat d**a Evelina bergetar getir. Ia baru menyadari bahwa di belakang sang bangsawan, berdiri tiga pria berpakaian rapi para tamu bangsawan yang datang pagi-pagi untuk berbincang dengan tuan rumah. Mereka semua menatapnya, sebagian dengan senyum tipis, sebagian lain dengan tatapan dingin penuh penilaian. Evelina menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Matanya memanas, tapi ia menunduk cepat, menyembunyikan sinar basah yang mulai muncul di pelupuknya. “Terima kasih… Lord Vale,” ucapnya dengan suara bergetar halus, berusaha sekuat mungkin agar nada suaranya tidak pecah. Ia menunduk dalam, memberikan hormat yang nyaris sempurna, meski lututnya gemetar di bawah kain gaun gading yang lembut. Sekilas, cahaya matahari pagi memantulkan kilau di rambut pirangnya, membuat air mata yang tertahan di ujung matanya tampak seperti serpihan embun. Ia menahan napas sejenak, lalu berbalik. Langkah pertamanya pelan, menggema terlalu keras di antara batu dan rerumputan. Namun setelah beberapa detik, langkah itu berubah menjadi cepat, terdesak oleh rasa malu yang membakar wajahnya. Renda di pergelangan tangannya bergetar, kaki mungilnya meninggalkan jejak lembut menuju koridor kaca. Vale masih berdiri di tempatnya. Pandangannya mengikuti punggung Evelina yang menjauh, hingga cahaya matahari menyorot air yang jatuh perlahan di pipi gadis itu. Ia tertegun, menundukkan kepala sedikit, lalu berbicara lirih, hampir tidak terdengar. “Lady Evelina… tunggu.” .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD