Pengampunan kecil

984 Words
Beberapa jam telah berlalu sejak malam menurunkan tirainya yang lembut. Vale terjaga perlahan, Di sisinya, Evelina terlelap rambutnya terurai bagai helaian sutra yang memeluk bantal, napasnya teratur, dan wajah mungilnya dilukis lembut oleh sinar sore yang menyelinap di sela tirai. Vale menatapnya lama,Ada sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya seakan seluruh kekacauan dunia terdiam saat gadis itu berada di dekatnya. Ia sadar, dengan Evelina, ia bisa bernafas tanpa sesak, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh pertempuran, ia bisa tidur tanpa mimpi yang menakutkan. Tangannya menahan diri agar tidak membangunkan sang Lady kecilnya, Ia menatap wajah Evelina sekali lagi, lalu berbisik lembut “Tidurlah, My Lady" jari telunjuk Vale menyentuh perlahan pipi Evelina "Lembut," menahan nafas ya merasa akan melakukan sesuatu yang tidak bermoral jika terus di sini Dengan hati-hati ia bangkit dari sisi ranjang,Sebelum mencapai pintu, Vale berhenti sejenak.Kemudian ia melangkah keluar, dan pintu itu tertutup perlahan di belakangnya (^.^)/~~~ φ(゜゜)ノ゜ Rumah kaca itu sunyi. Hanya suara tetes air dari atap kaca yang retak dan desir dedaunan yang bergetar oleh angin malam.di antara bayang-bayang bunga mawar,berdiri seorang pria dengan tatapan yang bisa membuat matahari pun engan terbit. Lord Julian Roderick Vale. Mereka yang mengenalnya tahu, senyum di bibirnya memiliki dua arti apa tanda kemurahan hati, melainkan awal dari penderitaan. Di hadapannya, tiga lelaki desa berlutut. Cormac Thorne, dengan luka di pipi yang baru mengering, Edric Mallory, yang gemetar hingga lututnya bergetar di atas tanah basah, dan Gideon Brackett, si raksasa dungu yang kini tak berani menatap mata sang Lord. Cahaya lampu menyorot wajah Vale menampakkan kilatan dingin di matanya yang kelam, “Tiga binatang,” katanya lirih, namun suaranya menggema di seluruh ruangan. “Tiga makhluk yang berani menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.” Ia melangkah perlahan, sepatu botnya menjejak lantai kaca berlumur tanah, suara langkahnya lebih menakutkan, Tangan kirinya menyentuh bunga mawar merah tua dan kelopak itu hancur di antara jarinya. “Evelina,” ujarnya pelan, “adalah cahaya yang tak layak tersentuh debu. Dan kalian...” ia berhenti di depan Cormac, menunduk sedikit, “...kalian hanyalah debu yang berani menatap matahari.” Cormac mencoba bicara,Vale menatapnya dan Cormac langsung menunduk dalam ke 2 kaki dan tangan terikat kuat dengan tali tambang, Edric mulai terisak, dan Gideon hanya gemetar tidak terbayangkan jika wanita yang mereka ganggu memiliki hubungan dengan Lord Julian Roderick Vale Vale berjalan memutari mereka bertiga dan berhenti di belakang, melihat Ketiga orang itu berlutut dengan tangan dan kaki terikat “Kalian tahu,” ucapnya perlahan, “aku pernah memelihara kuda yang liar. Hewan itu akan menggigit siapa pun yang mencoba menjinakkannya. Tapi aku tidak memukulnya....Tidak.” Ia menunduk sedikit, menatap Cormac yang mulai pucat. “Aku hanya membuatnya mendengar cambuk ini... setiap malam, hingga ia belajar tunduk sebelum cambuk itu menyentuh kulitnya.” Vale mengayunkan cambuk itu di udara suara desisnya menembus malam, memecah sunyi seperti petir yang menyalak di d**a. Edric menjerit tanpa sadar, tubuhnya mundur ke belakang, sementara Gideon menggertakkan gigi, pura-pura berani, tapi jari-jarinya bergetar hebat. Ia berhenti di belakang Cormac, lalu menunduk, membisikkan sesuatu di dekat telinganya Wajahnya menegang, matanya melebar, dan tubuhnya lunglai bagai dahan patah. Cormac mencoba memohon, “Tu...Tuan... kami tak tahu... kami tak tahu dia milik Anda....” dengan tangan dan kaki terikat dia bersujud ke tanah memohon belas kasih dengan air mata yang sudah tak bisa disembunyikan lima kesatria berjubah hitam berdiri tegak, memegang sekop,hanya menunggu perintah. Di tengah lingkaran itu, tiga lelaki desa Cormac Thorne, Edric Mallory, dan Gideon Brackett terikat dan berlutut di hadapan Lord Julian Roderick Vale.matanya menatap mereka tanpa sedikit pun kelembutan manusia. Cormac menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar hebat. “Tuan... ampunilah kami,” katanya dengan suara serak. “Aku bersumpah... demi semua yang suci, aku tak tahu Lady adalah wanita tuan. Kami hanya... hanya iseng... kami sangat menyesal!” Edric ikut meratap, suaranya patah-patah di antara tangis. “Tuan Vale... kami bodoh... sangat bodoh. Kami tak akan berani mendekat bahkan menatap bayangan Lady, apalagi menyebut namanya! Demi ibuku yang telah tiada, ampunilah kami!” Gideon yang biasanya paling keras kepala kini menunduk dalam, air liurnya bercampur tanah dan ketakutan. “Tuan, aku tak ingin mati... aku hanya ikut Cormac. Aku... aku tak tahu... aku tak tahu dia milik Anda...” Vale masih diam. Diam yang membuat jantung mereka berdetak lebih keras. Tanpa sepatah kata, ia mengangkat tangannya. Para kesatria langsung bertindak mereka menggiring ketiganya ke tepi lubang. Cormac menjerit pertama kali ketika tubuhnya didorong jatuh ke dalam tanah yang lembap. Edric dan Gideon menyusul, napas mereka tercekat, terperangkap dalam rasa takut yang tak bisa diucapkan. “Tuan! Tuan Vale! Jangan! Kami memohon!” “Demi rahmat surga, kami tak akan berani lagi!” “Kami tak akan menghirup udara yang sama dengan wanita tuan!” suara itu kini makin meninggi disertai tangisan ​ Sekop bergerak. Tanah mulai menimbun kaki mereka, perlahan namun pasti. Cormac menggeliat, wajahnya pucat pasi. “Tuan! Aku bersumpah atas darahku sendiri! Aku akan pergi dari desa ini, takkan kembali! Biarkan aku hidup, hanya untuk menebus dosaku!!!” Edric terisak, tanah kini telah mencapai dadanya. “Tolong, aku tak ingin mati... aku akan menjadi budakmu, apa pun yang kau perintahkan, hanya jangan kubur aku di sini...” Gideon, yang paling besar, menjerit hingga suaranya serak “Tuan, ampunilah kami! Aku akan mencium kakimu bila kau kehendaki! Aku takkan menatap seorang pun wanita sampai aku mati!” Vale menatap mereka dengan wajah tanpa emosi.Ia melangkah mendekat, suaranya tenang tapi setiap kata sadisnya terasa biasa baginya. “Kalian berjanji takkan menghirup udara yang sama dengannya?” “Maka biarlah tanah ini menjadi udara terakhir yang kalian hirup.” Tanah makin tinggi. Leher mereka mulai tertutup, hanya kepala yang masih menyembul di atas bumi. Isak, jerit, dan sumpah bersahut-sahutan, bercampur suara sekop dan gemerincing besi. Para kesatria tetap diam, menimbun tanpa ragu. Dan saat tanah itu hampir menutup mulut terakhir yang memohon, suara langkah kecil terdengar dari kejauhan...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD