Vale akhirnya tiba di mansion miliknya. Sejak langkah pertamanya menapaki lantai marmer itu, hanya satu orang yang ingin ia lihat Evelina.
Sementara itu, Alaric sudah harus bersiap menuju HM Prison Pentonville, meninggalkan Vale bersama Mr. Alcott, sang kepala pelayan yang setia.
Mr. Alcott, pria berusia sekitar lima puluh lima tahun, berdiri tegak dengan postur yang tak pernah mengenal lelah. Wajahnya berkerut, namun terawat, seseorang yang telah lama mengabdi pada keluarga Vale. Rambutnya memutih di sisi, sisanya masih hitam legam dan tersisir rapi ke belakang.
Ia mengenakan seragam hitam khas butler dengan dasi putih dan sarung tangan abu muda
“Bagaimana keadaan Lady Evelina?” tanya Vale dengan nada datar, namun matanya menunjukkan ketegangan halus.
Mr. Alcott menundukkan kepala sedikit sebelum menjawab, suaranya tenang
“Lady Evelina dalam keadaan baik, Tuan. Belakangan ini Lady cukup banyak makan dan sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Ia juga memiliki hobi baru berkunjung ke dapur.”
Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan
“Namun, sebagaimana perintah Anda, tidak ada satu pun pelayan yang berani mengucapkan hal yang bisa menyakiti perasaan Lady Evelina. Semua orang telah memahami batas mereka.”
Vale menatap Mr. Alcott sebelum bertanya pelan, “Di mana Lady sekarang?”
Butler itu menjawab dengan sopan, menundukkan kepala sedikit.
“Setelah makan siang, Lady Evelina membawa beberapa buku dan buah ke kamarnya, Tuan. Sepertinya Lady ingin beristirahat sambil membaca.” Ada keraguan yang sempat singgah di mata Vale
“Siapkan teh di ruang baca dan Panggil Madame Colette ke ruang baca,” suaranya tenang tapi berat.
Mr. Alcott menunduk patuh. “Baik, Tuan.”
~~~~~(m--)m
Tak lama kemudian, terdengar langkah tergesa Madame Colette, kepala koki mansion, muncul di ambang pintu ruang utama. Wanita asal Prancis itu bertubuh subur dan kuat, rambut cokelat tuanya disanggul ketat di bawah topi koki bulat. Seragam dapur krem dengan celemek tebal melekat rapi di tubuhnya. Suaranya keras
Madame Colette, kepala koki mansion, muncul di ambang pintu ruang utama. Wanita asal Prancis itu bertubuh subur dan kuat, rambut cokelat tuanya disanggul ketat di bawah topi koki bulat. Seragam dapur krem dengan celemek tebal melekat rapi di tubuhnya. Suaranya keras “Anda memanggil saya, Monsieur Alcott?” tanyanya dengan aksen Prancis yang masih kental.
Mr. Alcott menatap sekilas ke arah Vale yang hanya memberi isyarat dengan anggukan tipis.
“Ada sesuatu yang ingin Tuan ketahui tentang kegiatan Lady Evelina akhir-akhir ini,” menatap Collete.
Madame Colette tersenyum kecil, nada suaranya menurun menjadi lebih lembut.
“Oh, Lady Evelina sering ke dapur, Tuan. Lady tampaknya senang bermain dan berbincang dengan Marianne pelayan muda kami.”
Ia menatap ke arah dapur sejenak, membayangkan pemandangan yang sering terjadi, “Anak itu, Marianne, selalu terlihat gugup saat Lady datang. Tapi Lady Evelina begitu ramah, bahkan membantu memotong buah dan mencicipi adonan kue. Mereka sering tertawa bersama. Saya pikir… itu sudah menjadi rutinitas baru bagi Lady.”
Mr. Alcott mengangguk pelan. “Sesuai perintah Tuan Vale, kami tidak mengganggu apa pun yang dilakukan Lady. Asal beliau tampak bahagia,"
Madame Colette menautkan kedua tangannya di depan perutnya, ekspresinya tulus.
“Ya, Tuan. Saya pastikan tidak ada yang berani berkata kasar atau membuat Lady Evelina merasa tak nyaman.”
“Baik, Teruskan seperti biasa.” melangkah dan berhenti sejenak, panggil pelayan yang kalian bicarakan ke ruang baca," melanjutkan langkah menuju ruang baca
“Baik, Tuan Vale,” jawab keduanya hampir bersamaan, menundukkan kepala sebelum beranjak pergi
Ruang baca berada di ujung koridor paling sunyi di mansion Vale di balik pintu kayu memiliki ukiran burung gagak bermahkota di masing-masing pintu Archive Loft, begitu para pelayan menyebutnya.
Di sana tersusun rak-rak kayu besar yang memuat dokumen keluarga, surat wasiat, dan catatan tanah. Kertas-kertas tua menguning, sebagian tepinya robek, dan tali pengikatnya mengendur oleh waktu.
setiap gulungan kertas di tempat itu menyimpan rahasia keluarga Vale yang seharusnya tak pernah terungkap.
terdengar langkah ringan Marianne, pelayan dapur muda yang baru pertama kali memberanikan diri naik ke tempat itu.
Rambut cokelat mudanya yang disanggul rapi tampak sedikit berantakan. Gaun abu-abu tuanya penuh noda tepung dan abu lilin, sementara pipinya memerah oleh rasa gugup dan udara dingin. Tangannya gemetar memegang gagang pintu, suaranya bergetar ketika berbisik pada dirinya sendiri. " Tarik...buang...tarik...buang...." Huf...hmmmm..huffff ia terlalu gugup pertama kali melihat Lord Julian Roderick Vale
Ruang baca di mansion Vale memancarkan kemewahan, Lampu gantung kristal besar tergantung di tengah langit-langit tinggi. Bayangan hangatnya jatuh di atas karpet Persia berwarna merah tua, yang menutupi hampir seluruh lantai kayu mahoni.
Di tengah ruangan berdiri meja kerja khas bangsawan yang menjadi milik Vale terbuat dari kayu ek gelap dengan kaki berukir elegan dan permukaan mengilap. Di atasnya tersusun rapi pena
Ketika pintu ruang baca diketuk pelan, suara butler terdengar, “Tuan, Saya Marianne."
“ Masuk.” suara Vale mengema
Pintu terbuka perlahan. Marianne melangkah masuk dengan gugup, kepalanya menunduk dalam-dalam. Gaun abu-abunya tampak lusuh di bawah cahaya terang, dan tangannya gemetar meraba-raba celemek putih polos di depan perutnya.
“Kau Marianne?” suara Vale tenang
“Y-ya, Tuan.” bibir tampak bergetar
“Madame Colette bilang kau sering berada di dapur bersama Lady Evelina.”
Nada suaranya dinginnya membuat udara terasa tegang.
Marianne mengatur nafas sebelum menjawab, “Benar, Tuan. Lady Evelina sering datang… Lady suka membantu memotong buah, atau sekadar berbincang. Kadang Lady membawa buku dan duduk di sudut dapur sambil membaca cerita untuk kami.” mengangkat tangan dan meletakan di depan dadaa, jemarinya bergetar
Vale menatapnya tajam pandangan itu,
“Apakah Lady tampak… bahagia?” mengambil teh dan mengeser ke kanan
Pertanyaan itu membuat Marianne mendongak sejenak. Ia tampak bingung, tapi kemudian menunduk.
“Menurut saya, ya, Tuan. Lady Evelina tersenyum lebih sering sekarang. Lady lembut pada semua orang, bahkan kepada saya yang sering ceroboh.”
Vale menunduk sedikit memainkan pena di jari “Dan tak ada yang mengganggunya?” tuk...tuk...tuk...suara pena terketuk pelan di atas meja
“Tidak, Tuan. Semua pelayan sudah tahu perintah Tuan," suara lebih bergetar dari sebelumnya
Vale bersuara lagi, kali ini lebih pelan.
“Baik. Kau boleh pergi.”
Marianne menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Tuan.”
Ia berbalik hendak keluar, tapi sebelum menutup pintu, suara Vale memanggilnya lagi.
“Marianne.”
“Ya, Tuan?”
“Jika suatu saat Lady Evelina terlihat… tidak seperti biasanya, atau ada yang membuatnya resah, laporkan padaku langsung. Jangan lewat orang lain.”
Marianne menatapnya dengan mata sedikit membesar, lalu mengangguk cepat.
“Baik, Tuan Vale.”
Tak lama, Lord Cedric Montague Vale masuk ke ruangan dengan langkah berat, wajahnya memerah oleh emosi yang tak terbendung. Mata yang biasanya dingin kini membara, tanganya terkepal keras. Tanpa sepatah kata, tangannya terangkat dan melayangkan tinju keras ke wajah putranya, Lord Julian Roderick Vale.
pukulan bergema di udara. Vale terhuyung ke belakang, kepalanya terasa seperti tersentak oleh kekuatan pukulan itu. Sensasi panas tiba-tiba menyebar ke seluruh pipi, disertai rasa pusing singkat, dan rasa seperti ada tekanan berat yang menekan tulang pipi dan rahangnya. Aura kemarahan ayahnya memenuhi ruangan.
Lord Cedric belum berhenti. Ia mencengkram kemeja Vale dengan tangan besarnya, menariknya lebih dekat. Setiap jengkal kain yang tertarik serasa menyesakan dadaa
dua tamparan keras menghantam pipi Vale satu demi satu. Tamparan pertama terasa seperti gelombang panas yang menyebar dari pelipis ke rahang, meninggalkan rasa terbakar dan sakit, Tamparan kedua lebih berat lagi, membuat pipinya memerah dan berdenyut, rasa sakitnya tajam seperti dicubit berulang kali, namun juga membuat adrenalin naik, daada terasa sesak
Vale terhuyung jatuh tersungkur di lantai Lidahnya terasa kering, dan telinganya berdengung. Lord Cedric menatapnya dengan mata penuh kebencian