02 || MENYEBALKAN

1270 Words
"Aku berhasil berada di sampingmu dan menatapmu, tapi tidak dengan memenangkan hatimu." - Paizal Anwar *** Semilir angin yang berhembus di pagi hari, sangat tak sejalan dengan suasana hati yang sepi sendiri, menanti sang pujaan hati yang sudah memiliki kekasih hati. Ungkapan itu sangat cocok dengan keadaan Aldy saat ini, terlalu lama menyimpan rasa membuatnya hidup dalam dilema. Menyebalkan. Pagi ini seperti biasa Aldy berangkat ke sekolah dengan motor merah kepunyaannya. Biasanya ia berangkat bersama dengan Dira, tetapi untuk kali ini mambuatnya sedikit agak malas melihat orang yang memberi luka. Namun, biar bagaimanapun juga Dira tetaplah gadis yang Aldy sukai, tidak bisa sedikit kekecewaan menghalangi seribu niat kebaikan, apalagi untuk yang namanya persahabatan. Tunggu, Aldy masih menganggap ini persahabatan? Bukankah status itu sudah harus diubah menjadi friendzone? Tak terasa saking lamanya memikirkan hal indah tentang Dira, membuat panjangnya perjalanan menjadi tak terasa. Namanya juga jomlo, semakin banyak berkhayal semakin banyak pula mendapat kesenangan untuk dirinya. Kini Aldy telah berada di dekat rumah Dira. Jaraknya memang tidak percis di depan, karena ada hal yang membuat ia kembali merasakan kecewa. Sebuah peristiwa yang tidak mau Aldy rasakan sebenarnya dan sebuah kejadian yang tidak ingin ia lihat. Mungkin hari ini benar-benar tidak mendukung Aldy untuk berdekatan dengan Dira. Atau mungkin dimulai dari hari ini ia dan gadis itu tak bisa lagi bersama? Karena percis pagi ini, Aldy melihat Faris tengah berada di depan beranda rumah Dira, lengkap dengan mobil hitam yang dibawanya. Bahkan sekarang untuk cemburu pun Aldy tidak berhak. Dia hanyalah teman bagi Dira sekarang-sudah dari lama sebenarnya-teman yang ia harapkan sampai dia menua, yang entah akan terlaksana atau dipisahkan buana. Kalo milikin lo cuma mimpi buat gue, gue akan selalu tidur biar bisa milikin lo seutuhnya, batin Aldy dengan menatap dua insan yang tengah bergurau ceria tepat dalam pandangannya. Aldy menarik motornya mundur. Tidak berhak ia datang dan merusak kebahagian Dira, gadis itu sudah bahagia walau bukan dengan dirinya. Bukankah bahagia Dira juga bahagia buat Aldy? Tapi kenapa rasanya sesakit ini? Sulit memang, berusaha melepaskan dalam situasi kecemburuan. Bahkan hampir tidak bisa. *** "Amanat pembina upacara, pasukan di istirahatkan," seru seorang pembaca susunan acara dengan mik di tangannya. "ISTIRAHAT DI TEMPAAT. GRAK!" teriak seorang pemimpin upacara dengan lantang. Di saat semua siswa menatap Pak Hasan-kepala sekolah di SMA Nusa 2-yang tengah memberikan amanat dan pesan moral bagi siswanya, justru berbeda dengan Dira. Ia malah tengah celingak-celinguk menyapu sekitar, melihat barisan laki-laki yang membuatnya beberapa kali memutar kedua bola mata. Dia mencari sesosok cowok yang membuatnya menanti. Aldy sekolah nggak sih?? racaunnya dalam hati karena sahabat baiknya itu tak bisa ia temukan. "Itu Aldy, Kak Faris ...." Ketika Dira memandangi ke barisan laki-laki rupanya Aldy sadar akan hal itu. Kemudian gadis itu tersenyum, tapi ada yang aneh, pandangannya dan Dira tidak bertemu. Sampai pada akhirnya Aldy melirik seseorang di belakangnya, dan benar saja bahwa Faris tengah membalas senyuman gadis itu. Jadi alasan Dira tersenyum merekah sekarang bukan lagi Aldy sahabatnya. Kekecewaan kembali dirasakan Aldy. Dia kira senyuman manis itu terjadi karenanya, ternyata sekarang berbeda, Faris telah membuat hidup Dira lebih berwarna. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah terdiam dengan kembali mendengarkan Kepala Sekolah memberikan amanatnya. Cemburu sekali rasanya melihat orang yang disayang tersenyum karena orang lain. "Bapak harapkan untuk ulangan semester yang akan dilaksanakan sesuai dengan yang telah dijadwalkan kalian sudah harus benar-benar matang dengan pelajaran kalian. Terutama untuk siswa kelas dua belas yang akan dihadapkan pada latihan-latihan soal. Maka dari sekarang Bapak ingatkan agar kalian tidak malas-malasan belajar. Untuk yang belum bayar SPP mohon disegerakan," ucap Pak Kepsek. Orang tua itu memang selalu mewanti-wanti siswanya dari jauh-jauh hari karena nilai sekolah ini tak pernah mengecewakan dan Pak Hasan berusaha mepertahankan. *** Langkah Aldy yang baru saja bubar dari barisan upacara harus terhenti tepat di depan kelasnya. Penyebab berhentinya adalah karena ia baru saja melihat Dira tengah berbincang dengan Faris yang juga baru bubar dari barisan. "Daah!!" Dira melambaikan tangan isyarat perpisahan pada Faris karena kelas dua belas berada di arah timur lantai atas sedangkan sebagian kelas sebelas ada di lantai bawah dan sebagian ada yang di atas tapi di arah barat. Kebetulan saat pembagian kelas Aldy dan Dira mendapat kelas atas dan satu kelas. Aldy berjalan dengan sangat pelan karena tidak mau merusak suasana, ia menggaruk tengkuknya berusaha pura-pura tak melihat gadis itu. Meski akhirnya gagal juga. "Hai, Dy!" sapa Dira ceria. "Hai ... Ra," jawabnya dengan senyuman ragu. Benar kata orang, berpura-pura kuat itu sangat melelahkan. Seperti yang Aldy alami saat ini, lelah hati menanti yang tidak pasti. Mohon bersabar hati, semoga ada pengganti yang lebih baik lagi. "Kemarin lo kenapa, sih? Buru-buru banget ninggalin gue," ungkap Dira kecewa. "Ummm, kemarin gue ada urusan di rumah. Jadi terpaksa, deh, nggak pulang bareng." Aldy berdalih asal, yang benar saja harus pulang dengan orang yang membuat hatinya terluka. "Btw, tadi ... lo ke sini sama siapa?" Konyol sekali memang, ia sudah tahu jawabannya. "Kayaknya lho tahu deh jawabannya. Gue berangkat bareng Kak Faris." Dira merasa ada yang aneh dengan sikap Aldy. "Kenapa sih, Dy? Cemburu, ya?" godanya. Iya, gue cemburu! Seandainya jawaban refleks itu bisa dikatakan secara lisan. Berat sekali mengatakan bahwa ia tak suka Dira jadian dengan orang lain, tapi apa daya kalau dengan hal itu Dira bisa bahagia. Saat Dira mengucapkan kata 'cemburu' jantung Aldy semakin berdebar hebat, matanya membulat seperti dikejutkan oleh hal yang besar. "Dy? Malah bengong." Dira mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Kenapa? Lo pasti gak suka-" "Iya!" tukas Aldy secara spontan, ia sendiri juga tidak tahu kenapa mulutnya mengucap begitu saja. "Maksud lo?" Aldy bertingkah kebingungan. "I-iya, gue gak suka. Karena lo nggak ngasih gue pajak jadian. Hehe," dalihnya tersenyum kikuk menampilkan sederet gigi putihnya. "Ya ampun Aldy, gue kira lo kenapa." Dira membuang pandangan tak percaya. "Ya udah, nanti gue teraktir lo makan. Gimana?" "I-iya. Boleh." Dira kembali tersenyum menatap teman cowoknya itu cukup lama. Sedangkan Aldy hanya tersenyum sampai pada akhirnya senyuman itu luntur karena Dira terus memandanginya. "Ra?" "Eh, iya? Kenapa, Dy?" "Ayo masuk!" Dira mengangguk dibarengi Aldy yang memasuki kelasnya duluan. Jika dibicarakan lagi, ada untungnya juga hari ini untuk Aldy karena Dira pasti akan bersamanya lagi nanti saat jam istirahat untuk mewujudkan janji gadis itu yang akan mentraktirnya. Kita lihat saja. Hari ini adalah hari senin, tetapi rasanya tidak adil jika pelajaran pertama setelah upacara adalah Matematika yang super memusingkan disertai guru bersuara nyaring dengan tingkat emosi yang sangat tinggi. Menyebalkan! Bagi Aldy Matematika itu tidak sulit, sangat gampang bahkan. Yang sulit itu adalah memenangkan hati seorang gadis bernama Dira, itulah soal yang tak akan mudah dia jawab. Ralat, perasaan Aldy pada Dira itu seperti bahasa Francis yang di mana ia harus pidato di depan banyak orang, sulit diungkapkan dan rumit dilaksanakan. "Ada yang bisa jawab?" tanya Bu Sarah dengan kumpulan soal di papan tulis depan kelas. Aldy langsung mengacungkan tangannya, sangat tinggi. Posisi duduknya berada di barisan keempat dari pintu masuk dan posisi kedua dari barisannya. "Masa nggak ada yang mau jawab, sih?!" seru Bu Sarah. "Harus Ibu gitu yang ngerjain?" "Saya, Bu," ucap Aldy cukup pelan. "Kalau begitu Muklis, kamu cepat ke depan!" Bu Sarah tidak menggubris perkataan Aldy entah kenapa. "Saya belum ngerti soalnya, Bu," jawab Muklis malu-malu. Karena sebelumnya dia menutupi wajahnya dengan buku Big Bos merah bergaris. "Saya, Bu." Aldy mengajukan dirinya lagi dengan nada lebih tinggi. "Kamu itu kenapa, sih? Angkat tangan terus dari tadi?" tanya Bu Sarah agak kesal. "Saya mau menjawab soal, Bu." "Ibu bosen Aldy! Setiap pelajaran Ibu kamu terus yang jawab. Kasih kesempatan buat orang lain dong!" Ternyata Bu Sarah memang kesal karena sudah sejak kelas sebelas ini di kelas selalu Aldy yang mampu ke depan menyelesaikan soal Matematika. "Jangan sombong kamu Aldy, ah! Lain kali coba bantuin temennya!" "I-iya, Bu." Aldy menatap heran Bu Sarah. Apa tidak boleh selalu mejawab soal yang diberikan? Kenapa hari ini sangat menyebalkan? Apa karena Aldy yang sakit hati hingga selalu terbawa perasaan jadi dunia tidak memihaknya. Tuhan, sabarkanlah Aldy yang selalu tersakiti. - Departure Feeling -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD