Bab 4

1043 Words
Bila berkenan silahkan tap love sebelum membaca. Terimakasih. Happy reading *** Di bawah lampu temaram sepasang muda-mudi sedang asyik tenggelam di lautan asmara. Pilar-pilar cinta yang tertanam kokoh menjadi alasan bahwa hari itu sudah menjadi waktu yang tepat untuk melakukan sebuah pembuktian. Tentu syetan yang sedari tadi menjulurkan lidahnya yang bermandikan air liur semakin memanjangkan tanduknya, memperlihatkan kepada dunia bahwa dialah yang terhebat. Dengan jemari kokohnya Hasan melucuti satu persatu kancing pada kemeja putih pada tubuh melati, sedikitnya mempertontonkan kulit mulus milik sang empunya. Hingga di kancing nomer tiga jemari Hasan berhenti. Hembusan kesadaran kembali menerpa dirinya. Tercekat Hasan mengucapkan istighfar atas apa yang hendak ia lakukan. Istighfar yang membuat syetan-syetan yang histeris karena kehilangan mahkota dari raja yang baru saja hendak ia dapatkan. Mereka marah kala tanduk-tanduknya mengerdil. Di bawah syetan-syetan yang kalang kabut di udara. Melati menatap Hasan masygul. Lagi-lagi cinta melankolis yang ia harapkan tak lagi ia dapatkan. “Mel serius pacar lo belum pernah nyentuh lo?” Melati mengganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan wanita berambut blue back di depannya. “Cinta kan gak harus dibuktikan dengan hal semacam itu Ran," sergah Melati. Sesat setelah mengatakan itu, pandangan Melati kembali menunduk ke bawah gelas plastik boba yang ia genggam, kemudian memainkan sedotan di tangannya. Sesungguhnya Melati sendiri tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Hatinya gusar, mempertanyakan benarkah Hasan memang ingin menjaganya, atau... Justru lelaki tampan tidak benar-benar mencintainya. “Jangan bodoh, Mel. Lo masih percaya cinta platonis di zaman sekarang? Di kota metropolitan kaya gini? Ck. Mimpi aja Mel.” Rani berdecih lalu kemudian kembali menghirup batang rokok di jarinya. “Lagi pula apa Lo nggak mau ngerasain cinta yang romantis. Percaya deh, Mel o*****e itu rasanya... Ferfecto” Jemari rani menunjukan angka nol yang di arahkan di depan bibirnya yang setengah mengerucut, diiringi decak tawa Rani. Melati hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu. Bukan tak menghiraukan, sejujurnya apa yang Rani ucapkan cukup menggoyahkan pertahanannya selama ini. Seberapapun kuat Melati mencoba menggagahkan keyakinannya, prasangka itu tetap saja datang untuk menumbangkannya. “Ah... Atau... Jangan-jangan?!” Rani menyimpan rokoknya di asbak kecil berbentuk segi empat di hadapannya, menopang dagu dengan kedua tangannya kemudian menyipitkan matanya. “Jangan-jangan apa?” “Hanya ada dua alasan Hasan nggak mau menyentuh lo. Antara dia nggak cinta sama Lo atau dia emang nggak doyan sama perempuan,” ucap Rani dengan wajah menyeringai. Ucapan Rani membuat tubuh Melati meremang secara telak. Maka, di sini lah Melati berada. Di dalam kamar dalam keadaan menghinakan dirinya. Sepulang bekerja saat dijemput Hasan. Melati dengan beraninya mendorong Hasan masuk ke dalam kamar kosannya. Tentu saja untuk melakukan hal tersebut sebelumnya Melati sudah menguatkan batinnya untuk meyakini fakta apa yang ada pada diri Hasan sebenarnya. Hasan terperanjat mendapat serangan dadakan dari wanita yang tak lain adalah kekasihnya. Meski begitu tak ada sekalipun perlawanan dari Hasan, membuat Melati menyeringai senang. Kobaran nafsu berhasil membakar dua insan manusia yang hampir masuk ke dalam jurang kenistaan tersebut. Namun semua itu tidak terjadi, sampai Hasan melepaskan tautan bibirnya dan menghentikan gerilya tangannya. Istighfar yang terdengar di indra pendengaran Melati semakin membuat Melati seperti syetan yang sesungguhnya. Rasa kecewa, sedih, malu bersatu padu. Tatapan sendu Melati melayang ke arah Hasan, sembari kembali menyatukan kemeja yang hampir terlepas sempurna, memungut sisa-sia harga diri yang hampir terkoyak. “Maaf." Satu kata yang keluar dari mulut Hasan tak sedikitpun menyembuhkan kecewa Melati. Rasanya bak satu paku tertancap di dalam jantungnya. Menciptakan sesak dan perih yang luar biasa. “Kamu nggaj cinta sama aku Mas.” Tak bisa ditahan. Air mata Melati sudah terlanjur melesak keluar, terasa hangat di kulit wajahnya. Kata-kata Rani yang sedari siang terus berputar seperti kaset kusut di atas benaknya. Rupanya di perkuat dengan penolakan Hasan malam ini. “Pendapat dari mana itu, Mel?” “Buktinya kamu nggak mau menyentuhku. Sudah hampir lima tahun kita bersama, tapi tak sedikitpun kamu menyentuhku. Bahkan ciuman tadi adalah ciuman pertama kita, Mas. Coba jelasin sama aku, salahkl ya kalau aku mendambakan cinta yang romantis dibanding cinta platonis yang terus kamu sering gaung-gaungkan itu?” Nada suara Melati semakin terdengar parau, isak tangis semakin terasa saat kemudian Hasan mendekatinya dan memeluknya. “Bukankah cinta platonis itu lebih agung dibandingkan cinta romantis?” Melati semakin terisak. Baginya Hasan tak akan pernah memahami apa inginnya. Hasan terus berpegang pada prinsipnya tanpa tau apa yang sebenarnya Melati inginkan. *** Hasan masih berdiri tepekur di depan pintu kosan Melati. Kilatan masa lalu tentang apa yang hendak terjadi di dalam sana membuat Hasan semakin merasa bersalah. Tangis Melati, kecewa Melati yang Hasan abaikan. Namun, sungguh. Itulah yang Hasan rasakan terhadap Melati. Cinta ingin menjaga sepenuhnya Melati. Setidaknya sampai ijab untuk Melati membasahi lisannya. Terlalu banyak Hasan menyakiti Melati. Tak terkecuali saat Melati selalu setia menunggu kabar tentang kapan keluarga Hasan akan datang meminta dirinya kepada orang tuanya. Bukan Hasan tak ingin. Entah kenapa mendapatkan waktu Mamanya untuk hanya sekedar meminta anak gadis orang terasa sukar didapat. Ada saja alasan untuk menolak apa pinta Hasan. Dan lagi, Melati harus kembali menelan pil pahit saat lagi-lagi Hasan menggelengkan kepalanya ketika Melati bertanya tentang keberhasilannya meminta waktu Mamanya Hasan. Hasan melangkahkan tungkai ke arah daun pintu di hadapannya. Mengetuk pintu untuk kesekian kali. Berharap Melati ada di dalamnya. Meski kenyataannya hal itu merupakan kebodohan. Jelas Melati sudah menghilang. Hal yang semakin membuat Hasan diguyur rasa bersalah. Satu jam lamanya ia hanya termangu di depan kamar kosan kosong, akhirnya Hasan melanjutkan pencariannya ke salah satu sahabat Melati, Rani. Mengenakan motor sport. Ban besarnya menggelinding di bawah aspal yang basah karena hujan. Dengan kecepatan tinggi, Hasan lajukan sepeda motornya agar cepat sampai ketempat yang dituju. Tak peduli ia akan tergelincir atau tidak bersama aspal basah itu. Yang Hasan pikirkan hanya ingin segera menemukan Melati. Namun rupanya, sesampainya di sana Hasan hanya bisa kembali dengan tangan kosong. Wanita dengan rambut pendek sebahu itu mengaku tak mengetahui keberadaan Melati sama sekali. Tentu Hasan kecewa, tapi apa daya. Terakhir tubuh Hasan bermuara di taman hijau. Tempat favorit Hasan dan Melati. Hasan masih memendar harap agar Melati benar-benar muncul di lensa netranya. Harapan tinggal harapan, hingga sampai jam satu malam. Bukan Melati yang datang, justru nyamuk-nyamuk sialan yang menghisap habis darahnya. Hasan menyugarkan rambut frustasi. Kemana lagi dia harus mencari Melati? Seharian penuh tenaga dan waktunya ia pakai untuk mencari keberadaan Melati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD