Bab 1

1111 Words
Sepuluh tahun lalu, tepat saat umur Sekar baru menginjak usia sepuluh tahun. Senin sore, harusnya hari itu menjadi hari yang membahagiakan untuk Sekar juga untuk orang tuanya. Di mana seharusnya Sekar dapat melihat senyum mereka merekah saat Sekar menenteng piala. Piala yang Sekar dapatkan dari lomba lukis abstrak tingkat kabupaten. Sekar berlari kecil dan sesekali bersenandung ria. Ah, senangnya Sekar bisa membuat mereka, Ibu dan Bapanya bahagia atas prestasinya ini. Itu lah yang Sekar pikirkan saat memandang bangga piala yang ia bawa. Namun langkahnya terhenti saat Sekar melihat banyak kerumunan orang yang berada di teras hingga dalam rumahnya. Ada apa? Kenapa ada bendera kuning di rumahnya? Siapa yang meninggal?. Semua rentetan pertanyaan Sekar muncul di benaknya. Degup jantungnya tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari normalnya. Dipandangi seluruh orang-orang sedang memandangnya iba. Seorang wanita berperawakan gemuk tiba-tiba saja memeluknya erat, wanita yang tidak lain adalah tetangganya itu mengeluarkan bulir air di pelupuk matanya. Jujur Sekar belum bisa mencerna situasi, sampai akhirnya Sekar masuk ke dalam rumah dan netranya menabrak dua sosok yang sedang tertidur damai di tutupi kain jarit. Sekar menjerit, benarkah itu Ibu dan Bapaknya? Kenapa, kenapa mereka tertidur seperti itu?’ Tubuhnya menghambur ke dua jasad yang terbujur kaku itu. “Kenapa?,” tanya Sekar kepada siapa saja yang mau menjawab. Tadi pagi Ibu Sekar masih memasak untuk Sekar sarapan, dan Bapaknya mengantarkan Sekar ke tempat lomba. Sekarang kenapa mereka tertidur seperti ini?. Air mata Sekar jatuh berderai. “Bapak sama Ibu Neng tadi kecelakaan, keserempet mobil truk saat mau berangkat ke pasar.” Salah satu dari tetangganya menjelaskan, dia memegang tubuh Sekar saat tubuh Sekar tiba-tiba saja seperti kehilangan keseimbangan. Seolah tidak ada gravitasi di bumi ini, semuanya melayang. Jiwa Sekar serasa tercabut dari raganya. Sekar terisak menangis sejadi-jadinya berharap mereka bangun, mendengarkan isak tangisnya. “Bu, Pak bangun. Sekar sama siapa nanti? Sekar enggak punya siapa-siapa,” jeritnya penuh ironi. Percuma, jika memang sudah waktunya mereka pulang maka tangis darah pun tak akan mampu mengembalikan mereka. Tiba-tiba saja tubuh Sekar kembali terhuyung, kali ini gelap, sunyi. *** Sekar merupakan yatim piatu yang tidak mempunyai sanak sodara sama sekali. Sekar anak satu-satunya, Ibu dan Bapaknya pun begitu, yatim piatu dengan tanpa Adik dan Kaka. Sekar benar-benar sendiri. Termenung di rumah sederhana ini. Tetangga banyak yang iba, memberi Sekar makan. Banyak juga yang datang menjenguknya, dari sekolah misalnya. Mereka memberi Sekar amplop yang lumayan untuk Sekar bertahan hidup. Mereka menghibur Sekar. Jujur kedatangan mereka memang cukup menghibur Sekar. Namun saat rumah ini kembali kosong, jiwa Sekar kembali kosong. Tatapannya kosong. Sekar seolah melihat Ibu sedang memasak di dapur dan Bapaknya yang sedang memotong kayu untuk dijadikan bongkahan kayu untuk kami memasak. Semua bayangan mereka seperti nyata, berputar-putar seperti kaset kusut. Sampai akhirnya Sekar tersadar, mereka sudah tiada. Kini atensinya beralih pada amplop coklat yang ada di tangannya itu. Dihitungnya jumblahnya. Jumblah itu memang cukup untuk satu dua bulan, tapi Sekar kembali sadar sebanyak apapun nominalnya tetap akan habis jika Sekar tidak punya pemasukan. Sekar sadar jika hidup bukan hanya sekedar bernapas dan makan, tapi juga tentang berjuang. Beginikah sulitnya menjadi orang dewasa?. Tujuh hari sepeninggalnya Ibu dan Bapaknya, Sekar berniat nyekar ke kuburan Bapak dan Ibunya. Sekar memeluk pusara mereka, mengecupnya penuh cinta. Sekar ingin menahan agar tidak mengeluarkan anak sungai di depan pusara mereka, tapi gagal. Sekar tidak bisa, hatinya teramat perih menggigit. “Bapak, Ibu maaf jika Sekar masih menangis. Sebenarnya Sekar ingin manahannya, Sekar pengen nunjukan senyuman terbaik buat ketemu kalian hari ini. Sekali lagi Sekar minta maaf, sekar gagal. Hati teramat perih, kepergian kalian membuat Sekar terluka teramat dalam,” Bulir air mata deras membasahi pipi mulus Sekar. “Sekar belum siap menjadi orang dewasa Bu, bagaimana cara orang dewasa bertahan hidup Bu. Sekar belum bisa. Sekar menyesal saat kalian ada Sekar tidak pernah mau tau dunia orang dewasa. Sekar cuma bisa meminta tanpa tau caranya menghasilkan. Pak, Bu sekar lumpuh tanpa kalian." Sekar menjatuhkan wajah semakin dalam bersama dengan isak tangis. Semua serasa mimpi. “Assalamualaikum.” Salam seseorang menginterupsi Sekar yang sedang melamun dalam derai air mata. Dilihat ada dua orang sedang berdiri di belakangnya. Seorang wanita dewasa, bila ditebak umurnya sebaya dengan Ibunya. Dan satu lagi anak laki-laki, bila ditafsirkan umurnya sekitar tujuh belas tahun. Mereka tersenyum kepada Sekar. Tangan Ibu itu mengelus kepala Sekar lembut. Lekas Sekar menyeka air matanya. “Wa’alaikum salam,” balas Sekar. “Maaf kami baru datang, kami baru tau kabar kepulangan Almarhum dan Almarhumah tadi pagi. Turut berduka cita Sekar,” tuturnya. Sekar sedikit heran dari mana mereka tahu namanya. Menyadari kening Sekar yang berkerut, Ibu itupun tersenyum. “Tadi kami ke rumah, tapi orang bilang kamu sedang kemari. Langsung saja kami kemari sekalian nyekar ke Ibu dan Bapak kamu. Ah ya, nama saya Marni dan ini Hasan,” jelasnya, tangannya menunjuk putra yang di sebelahnya kala menyebut nama Hasan. “Ibu ini sahabatnya Ibu kamu, Sekar,” Sekar mengangguk kecil. “Sebelumnya Ibu minta maaf. Jika berkenan, bisakah Sekar ikut tinggal bersama Ibu dan Hasan?” ajaknya. Sekar terperanjat seakan tidak percaya ada malaikat yang Tuhan kirimkan untuknya. Begitu cepat pertolongan itu datang, bahkan belum sampai uang Sekar habis Tuhan sudah mengirimkan malaikat cantik itu. Ragu ingin menerima tawarannya atau tidak, bukan Sekar tidak mau, tapi malu. Lagi-lagi Bidadari berparas cantik itu seolah mengerti apa yang sedang Sekar pikirkan “Jangan sungkan. Memangnya Sekar mau tinggal sama siapa lagi? Ibu sama Bu Marni juga sudah sangat dekat, kami bersahabat. Ibu berjanji akan merawatmu sampai dewasa. Itu Nazarku kepada Almarhumah. Bersediakah?" tanya Bu Marni kembali. Sekar menyurukan kepala, malu, haru semua bersatu padu. Akhirnya Sekar mengangguk menerima. Memang apa yang bisa dilakukan anak seusianya?, Sekar belum bisa bekerja karena umurnya yang masih sepuluh tahun. Sekar masih butuh makanan bernutrisi untuk asupan gizinya. Katakan Sekar egois memikirkan diri sendiri. Nyatanya memang Sekar membutuhkan itu. Tangisnya pecah seketika saat Bu Marni mendekat kepada Sekar dan kemudian memeluk Sekar hangat. Sekar melirik laki-laki di depannya, laki-laki itu tersenyum ke arahnya. Sore itu juga Sekar mengemasi barang-barangnya, pindah ke rumah mereka. Rasanya berat harus meninggalkan rumah itu. Sepuluh tahun dari Sekar dilahirkan, rumah itu jadi saksi bisu bahwa pernah ada satu keluarga yang hidup bahagia meski tidak bergelimang harta. "Ah, Bapak, Ibu rasanya d**a ini begitu sesak. Rasanya semesta sedang bercanda kepadaku. Baru saja kemarin kami bercanda gurau bersama, tapi hanya dengan satu hentakan saja semua keadaan berubah. Sebesar inikah kuasamu ya Tuhanku. Maha besar engkau." Sekar menuntup matanya setelah memandang rumah itu cukup lama, Bu Marni dan Hasan sudah menunggunya di dalam mobilnya. Sekar melangkah masuk ke dalam mobil itu. Bu Marni menekan pedal, mobil pun melaju membelah angin di depannya. "Dan selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal kenangan," batin Sekar
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD