Bab 2

1170 Words
Mata Sekar yang terpejam kembali terjaga saat mendengar bisingnya suara ombak yang menabrak hamparan pasir berwarna putih. Memori masa lalu yang berputar kembali di benaknya pun harus terhenti. Memori tentang awal mula Sekar bisa bertemu dengan Bu Marni yang kini ia panggil Mama, juga dengan Hasan yang sialnya kini jadi suaminya. Yang sialnya suami yang tidak pernah mencintainya. Mengenaskan bukan?. Menatap lurus cakrawala, merangkumnya ke dalam secarik kertas persegi. Kertas bersih itu mampu Sekar sulap menjadi sesuatu yang mempunyai nilai yang tinggi jika dipasarkan. Begitu kata orang. Ya, Sekar memang mempunyai bakat dalam seni rupa yang lumayan mumpuni. Duduk di antara gulungan ombak, Sekar dengan kertas di tangannya menikmati hamparan laut dengan segala keindahannya. Tiba-tiba saja titik air mulai berjatuhan, lama-lama datang mengeroyok. Sekar segera lari ke gubuk kecil yang tidak jauh dari bibir pantai. Memejamkan matanya, pancanya menikmati aroma yang disajikan alam. Tiba-tiba saja seseorang memanggilnya, gontai berlari pria tersebut menghampiri Sekar dengan tubuh basah kuyupnya. Mengetahui siapa yang datang, senyum Sekar merekah bak bunga mawar yang merekah di pagi hari. “Kamu sendiri Sekar?” tanya Rofiq, pria berusia dua puluh tiga tahun itu menghampiri sekar tiba-tiba, entah datangnya dari mana. Bertanya kepada Sekar. Sekar hanya mengangguk. Rofiq ikut berteduh di gubuk kecil itu, mengambil ruang kosong untuk mendudukkan pantatnya di sela-sela tempat yang masih kosong di gubuk itu. “Suamimu nggak pulang semalam?” tanya Rofiq yang tiba-tiba itu yang sukses membuat senyum Sekar yang tadinya merekah menjadi kembali kuncup. Alih-alih menjawab Sekar lebih memilih mengalihkan pandangannya. Menyembunyikan wajah mendungnya. “Aku lihat dia semalam di cafe, kebetulan aku jaga malam. Dia kelihatan murung. Apa kalian ada masalah?” Rofiq memang bekerja di salah satu cafe. Sial sekali semalam Rofiq harus melihat keadaan Hasan yang kusut masai. andai Sekar bisa menjawab, jika mereka memang tidak pernah baik-baik saja. Namun sekar tetap harus menjaga marwah rumah tangganya untuk tidak menceritakan apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangganya. “Kamu ngapain ke sini?” tanya Sekar mengalihkan pembicaraan. Rofiq mengeluarkan secarik kertas dan pensil. “Sama kaya kamu, melukis keindahan. Nggak disangka ternyata aku menemukan keindahan yang sesungguhnya,” jawab Rofiq, Sekar tidak pernah tahu bahwa keindahan sesungguhnya adalah dirinya. Ya, bagi Rofiq, Sekar tetaplah cinta pertamanya. Jangan ditanya seberapa hancurnya hati Rofiq kala menyaksikan kekasih hatinya yang ia puja dalam diam bersanding dengan pria lain. Hanya saja Rofiq bukanlah Melati yang bersikap frontal di acara tersebut, “Sekar. Pertanyaan aku belum kamu jawab." Sekar melipat keningnya. “Suamimu nggak pulang lagi?” tanya Rofiq ulang. “Kenapa kok kamu begitu ingin tahu masalah rumah tangga orang. Itu pertanyaan lancang. Rofiq itu tidak baik,” kilah Sekar. Pertanyaan Rofiq membuat Sekar geram. Sungguh Rofiq tidak punya kapasitas apapun tentang urusan rumah tangganya. Sekalipun Rofiq adalah teman dekatnya, tapi tetap saja Rofiq tidak punya hak atas itu. “Aku tahu kamu nggak sedang baik-baik saja,” ungkap Rofiq. “Kamu bertanya tapi kamu juga menyimpulkan jawabannya sediri. Udah aku bilang itu nggak baik Rofiq,” Sekar tersenyum getir penuh ironi. Senyum Sekar yang mendung membuat Rofiq semakin yakin, “Sekar, kamu lihat itu?” Telunjuk Rofiq menunjuk ke hamparan luas cakrawala. ”Dulu kita bermimpi akan meraup cakrawala bersama. Bukan begitu?” Rofiq menghela napas berat, “Kamu tahu nggak gimana hancurnya aku ngelihat kamu ada di atas pelaminan sana. Artinya kita tidak bisa meraih itu bersama sekarang. Sekar kamu bohong sama aku, kamu bilang kita akan berlari bersama untuk meraupnya. Tentang cita-cita kita. Kenapa kamu luruhin itu semua?” tatapan Rofiq penuh kepedihan. Sekar tak menyangka, permbicaraan mereka saat mereka kecil masih Rofiq ingat dengan baik. “Rofiq, kamu nggak tahu bahwa kondisinya kalau sekarang sudah berbeda. Aku sudah menikah. Jadi kita nggak pantas membicarakan hal ini." “Maka lepasin, kalau kamu nggak bahagia. lepasin Sekar! Pergi sama aku. Dari kecil kita bersahabat. Bukan perkara sulit buat nebak kondisi perasaanmu. Apa dia nyakitin kamu? Demi Tuhan aku nggak pernah bisa tenang liat kondisi kamu kaya gini sekarang.” Rofiq berharap Sekar bisa menimbang ucapannya,. “Jangan gila kamu Rofiq. Menjadi janda bukan solusi!” “Pernikahan ini bukan atas keinginan kamu. Aku tahu itu. Oke ... Kamu mungkin heran sama aku yang terlalu ikut campur sama urusan rumah tangga kamu. Oke akan aku perjelas. Kalau kamu bertanya apa hak aku, aku memang nggak punya hak apa pun atas kamu. Tapi perlu kamu tahu, sepuluh tahun lalu. Saat seorang gadis pertama kali menginjakan kaki di pasir putih ini. Di saat itu pula aku jatuh cinta padanya. Ya, Sekar. Aku jatuh cinta padamu. Sudah cukup aku menyimpan ini dalam diam selama bertahun-tahun. Dan saat ini, di saat kamu nggak bahagia ingin sekali aku mau ngerebut kamu dari lelaki pengeut itu, dan membuatmu bahagia.” Rofiq meraih jemari Sekar. Sekar menggelengkan kepala, menjauhkan jemari tangannya dari Rofiq. "Nggak Rofiq. Nggak boleh begini, aku istri orang. Salah kalah kamu mengungkapkan perasaan kepada wanita yang sudah bersuami.” “Tapi kamu nggak bahagia!,” tegas Rofiq. “Sejauh apa kamu tau aku bahagia atau nggak? Aku bahagia bersama Mas Hasan,” pungkas Sekar, meski berbohong bagi Sekar menjaga kehormatan sebagai seorang istri adalah kewajibannya. Atas dasar itu pula Sekar mengabdikan dirinya kepada Hasan, meski tak secuil pun Hasan menghargainya. Berdua dengan laki-laki yang bukan suaminya bukanlah hal baik. Meski Rofiq adalah teman Sekar dari kecil, tepatnya semenjak Sekar dibawa ketempat ini bersama Bu Marni dan Hasan. Namun kondisinya kini berbeda. Hujan mulai reda, Sekar beranjak dari duduknya berniat berlalu meninggalkan percakapan yang dapat membuat pertahanannya gamang. Bagaimana tidak, satu bulan ia mengabdikan diri dan tidak dicintai, sekarang tiba-tiba saja Rofiq sahabatnya menyatakan rasa. “Tinggalin dia, hidup sama aku, Sekar,” pinta Rofiq dengan tatapan penuh atensi sebelum Sekar benar-benar berlalu. Satu bulan Sekar dalam dahaga, Rofiq menawarkan air telaga.Desir aneh muncul dari hati Sekar. Sejenak Sekar tertegun sebelum kemudian atensinya teralih karena gawainya yang berdering. Nama Hasan tertera di layar ponselnya, dengan sigap Sekar mengangkatnya “Assalamualaikum Mas.” “Di mana kamu?” “Di pantai, kemarin aku sudah minta izin sama Mas Hasan. Mas lupa?” “Pulang sekarang atau jangan pernah kembali,” Tegasnya. Titah Hasan bagai raja tidak ada penolakan untuknya. Tanpa Sekar ketahui, Hasan ada di dalam kemudi mobil memperhatikannya dari kejauhan. Lalu kemudian berlalu meninggalkan bahu jalan tempat ia mengawasi Sekar dan Rofiq. Berlalu mendahului Sekar saat melihat sekar hendak berlari menabrak gerimis. “Apa begini cara suami menghargai istrinya?” Rofiq berteriak, suaranya berlomba dengan deburan ombak. Langkah Sekar berhenti, berbalik menatap Rofiq. “Sekar, dengar ya! Suatu hari aku akan ngerebut kamu, ngasih kamu surga bukan neraka. Aku nggak rela wanita yang aku cinta dalam diam selama bertahun-tahun—hidup dalam kesengsaraan. Sekar aku janji, aku bakal ngebahagiain. Ingat itu Sekar.” Desir aneh semakin merambat di hati Sekar. "Ini salah sekar" gumamnya. kemudian ia menggelengkan kepala, “Nggak usah bertindak terlalu jauh Rofiq. Aku nggak pernah berjanji akan tinggal di istana yang kamu janjikan.” Setelah mengatakan itu Sekar segera berbalik, berlalu meninggalkan Rofiq dengan tatapan mendungnya, setara dengan mendung di atas awan sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD