Chapter 05.

1333 Words
Gereja Saint Mikael, Distrik 9. Setelah sambutan singkat yang diberikan oleh para pengurus gereja, Felix terlihat duduk berdampingan bersama dengan Pastor Peter di halaman belakang. Keduanya terlihat cukup canggung meski keduanya sama-sama bersikap santai. Pastor Peter kemudian mengawali pembicaraan di antara keduanya dengan topik ringan yang terjadi di sekitarnya. "Saat pertama kali aku datang kemari, ada begitu banyak anak muda yang mengunjungi gereja di setiap akhir pekan. minggu pertama, bulan pertama. Mereka yang datang sudah seperti keluarga. Tapi, jika dilihat sekarang, semua sudah berubah terlalu banyak." "Ke mana mereka semua pergi?" tanya Felix. Tanpa harus dijelaskan, dia sudah mengerti maksud dari Pastor Peter. Semua pemuda yang dibicarakan oleh si pastor pasti sudah meninggalkan tempat itu. "Semua manusia ingin berjalan di jalan masing-masing. Meski mereka bersedia berjalan di jalan orang lain, suatu saat nanti keinginan utuk berjalan di jalan sendiri pasti akan mereka miliki." "Berapa jemaat yang dimiliki oleh gereja ini?" "Bukan masalah angka. Gereja ini berdiri bukan hanya untuk para jemaat ..." Pastor Peter menjatuhkan pandangannya pada Felix dan melanjutkan, "melainkan untuk siapapun yang datang bersinggah." Felix memandang Pastor Peter dan kembali mengajukan pertanyaan. "Bagaimana jika itu adalah seorang pendosa? Masihkah pintu tempat ini terbuka?" Pastor Peter tersenyum hangat. Mengembalikan pandangannya menatap ke depan, Pastor Peter lantas memberikan jawaban kepasda Felix. "Bahkan seorang pendosa pun harus pergi ke rumah Tuhan. Entah untuk memarahi Tuhan, menghasut manusia atau bahkan memohon pengampunan. Meski pintu tempat ini selalu tertutup. Namun, siapapun diizinkan untuk membuka pintu itu. Felix kembali mengalihkan pandangannya dan berbicara, "aku pernah mendengar sesseorang berkata 'Tuhan menyambut semua yang bersedia datang untuk memohon pengampunan. Bahkan jika kau seorang pendosa sekalipun, Tuhan akan tetap memberikan pengampunan atas pertaubatanmu' ... jika Tuhan bisa memberikan pengampunan kepada manusia yang melakukan pertaubatan, bagaimana dengan manusia itu sendiri?" "Apakah kau sedang menanyakan bagaimana hati manusia?" "Bukankah mereka terlalu menakutkan? Hati manusia ... bukankah itu hanyalah sebuah tipuan belaka?" Pastor Peter kembali tersenyum. Namun, ia ta bisa menyambut pernyataan Felix perihal hati manusia. Felix menjatuhkan pandangannya dan kemudian berkata, "aku ... adalah seorang pendosa." Pastor Peter memandang Felix. Namun, kali ini tak ada garis senyum di wajah sang pastor. Bukan karena ia tengah terkejut. Sebelumnya Daniel telah menceritakan semua yang dialami oleh sang kakak kepada Pastor Peter. Dan tatapan yang diberikan oleh Pastor Peter saat ini adalah tatapan mengasihani. Felix kembali mengangkat pandangannya namun tak memandang Pastor Peter. Dia kemudian berkata, "dan aku tidak berniat untuk melakukan pertaubatan." "Lalu apa yang ingin kau tunjukkan ketika kau pergi ke gereja?" Bukan sebuah tuntutan, Pastor Peter bertanya karena dia ingin tahu alasan Felix yang sebenarnya. Seulas senyum tipis tiba-tiba muncul di sudut bibir Felix sebelum ia memberikan jawaban kepada Pastor Peter. "Kenapa aku datang? Aku ... hanya ingin menunjukkan pada Tuhan bahwa aku masih bertahan hidup hingga detik ini." . "Kau pasti merasa sangat marah terhadap Tuhan. Itukah sebabnya kau menunjukkan pada orang seakan-akan kau tidak pantas untuk bertamu ke rumah Tuhan?" "Tidak peduli seberapa sering seorang pendosa mengakui pertaubatannya, dia akan tetap menjadi pendosa di kehidupan yang ia jalani saat ini." "Kalau begitu bagaimana dengan ini?" Pastor Peter memandang ke arah lain. Felix sempat memandang Pastor Peter sebelum mengikuti arah pandang sang Pastor dan menemukan sosok biarawati yang sebelumnya menyambut kedatangannya bersama dengan sang pastor. Pastor Peter kemudian berbicara, "Suster Emma, begitulah orang-orang yang datang kemari memanggilnya ... sebelum datang kemari, dia adalah seorang istri dan juga seorang ibu. Tapi apa yang terjadi? Dia mengatakan persis seperti ini ... 'aku telah mengkhianati suamiku dan menelantarkan kedua putraku. Akankah Tuhan menerimaku setelah apa yang aku lakukan' ... Wanita itu, pernah menyebut dirinya sebagai seorang pendosa." Felix memperhatikan Suster Emma. Dia kemudian bergumam, "kenapa dia mengkhianati suaminya dan menelantarkan kedua putranya?" "Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Suster Emma sendiri. Dia hanyalah seorang istri yang meninggalkan suaminya dan ibu yang kehilangan putranya. Kami menyebutnya sebagai orang yang tersesat." "Orang yang tersesat?" gumam Felix tanpa mengalihkan pandangannya dari Suster Emma. Dan di saat Felix tengah bersama Pastor Peter. Kala itu, Daniel tengah bersama Jason. Sempat pergi selama beberapa saat, Daniel kemudian kembali. "Dokter Wildbrogh," tegur Daniel. Jason menoleh, memberikan tatapan sinis. Sejujurnya dia merasa tidak nyaman ketika mendengar cara Daniel memanggilnya. Bahkan sudah empat tahun dia tidak melakukan tugas seorang dokter. "Apa yang salah denganmu, Nak?" Jason balik menegur. "Kau ingin mengejekku dengan memanggilku seperti itu?" "Kau masih seorang dokter hingga detik ini, jangan pernah membuang apa yang sudah kau dapatkan dengan kerja keras." Sudut bibir Jason tersungging. "Baru kali ini kau berbicara sopan padaku. Kenapa? Kau sudah memutuskan untuk menjadi sekutu?" Daniel memandang tanpa minat dan berucap, "jangan salah paham—" "Berhentilah di sini," Jason menyela, tak ingin mendengar ucapan Daniel yang semena-mena. "Aku membawa kabar tentang keluargamu," celetuk Daniel. "Apa?" gumam Jason dengan tatapan terkejut. "Kau ... mencari tahu tentang keluargaku? Siapa yang memintamu untuk melakukannya?" Jason tampak bingung. Dia bahkan tidak pernah membicarakan perihal keluarganya. Namun, tiba-tiba saja Daniel datang ke hadapannya dan membicarakan tentang keluarganya. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Jason kembali menegur dengan nada yang lebih menuntut. "Katakan. Atas dasar apa kau melakukan hal ini?" "Felix memintaku melakukannya." "Orang itu?" Dahi Jason mengernyit. Daniel kemudian berkata, "bulan depan kakak perempuanmu akan menikah." "Apa? Menikah?" Jason bergumam, terlihat tak percaya sebelum berbicara dengan marah. "Bagaimana mungkin dia menikah di saat adiknya hidup seperti ini?! Apakah mereka tidak pernah mengkhawatirkan aku?! Kenapa mereka harus menjadi orang kejam seperti ini?" "Kau mungkin akan mendapatkan masalah besar karena pernikahan kakakmu?" "Kenapa?" "Kakakmu ..." Daniel terlihat enggan. "Jeffrey Deaver, dia adalah calon kakak iparmu." "Jeffrey Deaver?" Dahi Jason mengernyit, merasa asing dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Daniel. "Siapa orang itu?" "Dia adalah salah satu dari agen NCA." "Apa?!" BATTLE OF HEALER : CHAPTER II (JACK THE RIPPER) // Green River Medical Center, Distrik 13. Reygan memasuki ruangan Allan bersama dengan Ethan yang menggandeng tangannya. Allan yang melihat kedatangan keduanya pun lantas berdiri. Sebelumnya keduanya sudah berbicara melalui sambungan telepon. Namun, mereka tidak cukup dekat. Hubungan mereka pun masih terasa canggung. Reygan selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi Allan setiap kali pergi ke Distrik 13 karena ia merasa berhutang budi pada Allan. "Kau sudah datang?" tegur Allan. Reygan berdiri di depan meja kerja Allan dan mengulurkan tangannya. Keduanya sekilas saling berjabat tangan. "Bagaimana kabarmu, Dokter Anderson?" Reygan balik menegur. Allan tersenyum tipis. "Tidak jauh berbeda dengan saat terakhir kali kau datang kemari." "Itu berarti kau baik-baik saja." Reygan balas tersenyum tipis. Pandangan Allan kemudian terjatuh pada sosok bocah yang sedari tadi memandangnya. Sebenarnya, Allan juga sudah tertarik dengan bocah itu sejak kedua tamunya memasuki ruangannya. "Putramu?" tanya Allan kemudian. Reygan kemudian menegur Ethan. "Ethan, berikan dalam kepada Dokter Anderson." Allan langsung menyela, "jangan memanggilku seperti itu. Kau bisa memanggilku dengan sebutan 'paman', Ethan." Ethan mengangguk dan menyapa Allan. "Apa kabar, Paman." Allan tersenyum. Namun, senyuman itu terlihat sedikit tak percaya akan sesuatu. "Kalau begitu, silahkan duduk." Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Namun, Allan tak bisa mengabaikan putra Reygan begitu saja. Seakan ia ingin membandingkan bocah itu dengan orang lain. "Bagaimana kabar Distrik 13 sekarang?" Reygan memulai pembicaraan santai di antara mereka dan hal itu cukup untuk menarik perhatian Allan. "Semua baik-baik saja. Sudah empat tahun berlalu, semua sudah kembali berjalan dengan normal." Perhatian Reygan teralihkan oleh Ethan yang menarik lengan bajunya. "Ayah," ucap Ethan dengan suara yang pelan. "Ada apa?" "Aku ingin pergi ke tempat Paman Harri." Reygan tersenyum lebar. "Kalau begitu pergilah. Tunggu ayah di luar, ayah akan segera menyusul?" Ethan mengangguk dan turun dari kursi. Bocah itu berlari kecil menuju pintu keluar, dan tentu saja hal itu berhasil menarik perhatian Allan. "Ini adalah pertama kalinya aku melihat putramu sejak hari itu?" Reygan tersenyum tipis dan menyahut, "benar. Aku tidak pernah membawa putraku ketika bertemu denganmu." "Dokter Karina pasti merasa senang, kau merawat Ethan dengan sangat baik." "Aku juga berharap seperti itu." "Menjadi orang tua tunggal pasti sangat melelahkan." "Tidak juga. Dibandingkan dengan anak-anak lain, bisa dibilang bahwa Ethan lah yang justru merawatku." Allan tersenyum dengan lebih lebar. "Itu terdengar bagus." BATTLE OF HEALER : CHAPTER II (JACK THE RIPPER) //
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD