Chapter 02

1313 Words
Mobil yang dikendarai oleh Felix meninggalkan perkotaan, menyusuri jalanan pedesaan yang diapit oleh lahan pertanian. Setelah perjalanan panjang, keduanya kini singgah di Distrik 9. Pandangan Jason mengarah ke luar, berpikir ke mana lagi mereka akan melarikan diri setelah ini. Dan setelah terdiam cukup lama, Jason menginginkan kata-kata untuk menghibur hatinya. "Lahan pertanian dan peternakan, kenapa aku berpikir bahwa kau akan mengasingkan aku ke tempat yang kumuh sekarang?" Tak ada jawaban, Felix tetap mengemudi dengan tenang meski garis wajahnya tak menunjukkan bahwa dia adalah orang yang tengah bersantai. Tak mendapatkan jawaban, Jason lantas memandang sang lawan bicara. "Hey, Bung. Aku sedang berbicara denganmu, kau berpikir aku sedang berbicara dengan angin?" Felix kemudian menyahut dengan acuh seperti biasa. "Kau baru saja memakan roti terakhir yang kita beli, jika kau lapar maka tidurlah." Sempat tertegun, seulas senyum tak percaya lantas terlihat di wajah Jason. "Kau pikir aku bayi yang akan merengek ketika sedang kelaparan?" "Pikirkan sesuka hatimu." Sudut bibir Jason tersungging. Memalingkan wajahnya, Jason tertawa ringan dengan suara yang sangat pelan. Pria bermata sipit itu bergumam, "kau semakin menyebalkan dari hari ke hari. Akan lebih baik jika aku bisa mengutukmu menjadi batu." Jason kemudian berucap dengan lantang, "kau mendengarnya, Tuan Alexander Lim?" Jason tersentak ketika Felix tiba-tiba menghentikan mobil. Dia berpikir bahwa Felix marah karena ucapannya. "Ada apa? Kenapa berhenti tiba-tiba?" "Itu nama ayahku." Felix memandang Jason. Dahi Jason mengernyit. "Lalu kenapa? Dia memberikan namanya untuk nama belakangmu." "Sembunyikan wajahmu." Felix segera meraih topi miliknya dan memakainya. Hal itu membuat pandangan Jason mengarah ke depan dan menemukan fakta bahwa Felix menghentikan mobil bukan karena marah terhadap candaannya. Melainkan karena terdapat segerombol domba yang tengah menyeberang jalan. Dan di belakang gerombolan domba itu terdapat sang gembala. Jason segera berpaling. Berpura-pura menggaruk keningnya guna menutupi wajahnya agar si pria gembala tak mengenali wajahnya. Sang gembala meminta maaf menggunakan isyarat dan dibalas anggukan oleh Felix. Beruntung pria paruh baya itu tak mengenali keduanya. Jason mencuri pandang. Mulutnya bergumam, "Bapa surgawi, bimbinglah domba-dombamu yang malang ini ke singgasanamu yang agung. Sucikan lah jiwa yang kotor ini dan tunjukkanlah pada kami, tanah surgawi yang Engkau huni." Felix sekilas memandang. Jason mengatakan hal barusan bukan karena dia orang yang religius. Jason kerap melakukannya untuk menyindir Felix yang rutin datang ke Gereja di tempat persembunyian mereka sebelumnya. "Tuhan terlalu sibuk untuk memperhatikan pendosa sepertimu," gumam Felix yang kemudian melajukan kembali mobilnya setelah tak ada lagi domba yang menghalangi jalan mereka. Jason menatap sinis, menegakkan tubuhnya dan lantas mencibir. "Lihatlah siapa yang berbicara. Sesama pendosa, harusnya kita saling membagi dosa dengan sama rata. Tidak ada yang lebih baik di antara kita, ingat itu baik-baik." Felix kembali mengabaikan Jason dan mengemudi dengan tenang ke tempat tujuan mereka saat ini. Namun bukan Jason Wilborgh jika ia bisa tenang dalam waktu yang lama. Merasa bosan, Jason kemudian menyenandungkan sebuah lagu dengan suara yang menyerupai suara lebah. "Saat aku tak melihat jalanmu, saat aku tak mengerti rencanamu ... namun tetap aku pegang janjimu ..." Jason menyanyikan melodi itu sembari mencuri pandang pada Felix, terlihat jelas bahwa dia tengah menggoda Felix. "Pengharapanku hanya padamu ..." suara Jason semakin melemah hingga ia menghentikan nyanyiannya dan memandang Felix dengan terang-terangan. "Kenapa kau tidak menyahut?" "Jika kau merasa bosan, tidurlah seperti biasa." Respon yang terlalu acuh bagi seseorang yang benar-benar dilanda kebosanan. Sudut bibir Jason tersungging. "Kenapa? Kau tidak tahu lagu apa itu? Kau sering datang ke Gereja, bagaimana mungkin kau tidak tahu lagu itu. Bahkan kau sering mendengarkan anak-anak menyanyikan lagu itu." Jason kembali bernyanyi untuk mengganggu Felix. "Hatiku percaya, hatiku percaya ... kau ingat? Hatiku percaya, selalu aku percaya ... ayo, nyanyikan bersama." Felix sejenak menggaruk keningnya, merasa cukup lelah dengan tingkah laku Jason. Namun mungkin pelariannya selama ini akan menjadi sangat membosankan jika Jason tidak pergi bersamanya. Jadi mau seperti apapun keadaannya, Felix tidak akan pernah mengusir Jason dari hidupnya. "Hatiku percaya ... selalu aku percaya ..." Jason tetap bersenandung. Felix tiba-tiba tersenyum tanpa alasan, dan ketika Jason menyadari hal itu, suara pria itu semakin terdengar pelan. Tatapan Jason menjadi waswas, merasa ada yang tidak beres dengan rekannya. "Kau tersenyum?" tanya Jason, hati-hati dan penuh selidik. Tak ada garis senyum yang tersisa di wajah Felix ketika Jason memberikan teguran sebelumnya. Masih dengan pembawaan yang tenang seperti sebelumnya, Felix pada akhirnya bersedia berbicara untuk mengusir kebosanan yang telah dirasakan oleh rekannya. "Kau ingat bagaimana masyarakat memanggil kita?" "Pendosa? Mereka menyebut kita sebagai pendosa dalam setiap berita, bagaimana aku bisa melupakannya?" "Kau tahu alasan kenapa seorang pendosa selalu mendatangi Gereja?" Dahi Jason mengernyit. Selama ini dia berpikir bahwa Felix adalah orang yang sangat religius sehingga rutin mengunjungi Gereja. Namun ucapan Felix kali ini membuatnya memandang Felix dengan sudut pandang yang berbeda. "Seorang pendosa yang datang ke Gereja?" gumam Jason. Sebelah alisnya terangkat sebelum melontarkan pertanyaan yang terdengar serius. "Apa yang kau lakukan setiap kali kau mengunjungi Gereja, Tuan Pendosa?" "Kita sesama pendosa, kita membagi dosa dengan sama rata ... apa yang kau lakukan saat kau pergi ke Gereja, Tuan Pendosa?" Felix mengembalikan pertanyaan yang ditujukan padanya. Netra Jason kembali memicing. "Kau sulit untuk ditebak, benar-benar mencurigakan. Apakah ada hal yang menarik di sana? Apakah kau datang untuk berdoa? Kau sedang bertaubat, itulah sebabnya kau pergi ke Gereja." "Jawaban itu tidak bisa kau miliki hanya dengan bertanya kepada beberapa orang." Felix memandang Jason. "Kau harus datang dan menemukan jawaban yang kau inginkan sendiri. Dengan begitu jawaban itu akan menjadi milikmu." Jason tertawa pelan, terdengar begitu sinis. "Apakah Tuhan itu memang benar-benar ada?" Pertanyaan menyesatkan yang tak akan mendapatkan jawaban hanya karena bertanya kepada seseorang. Untuk bisa memiliki jawaban itu, seseorang harus mencarinya seorang diri. Bagaimana mungkin seorang pendosa menanyakan keagungan Tuhan? Setelah perjalanan yang memakan banyak waktu, mobil Felix berhenti di halaman sebuah rumah berlantai satu yang jauh dari pemukiman penduduk dan hanya dikelilingi oleh lahan pertanian. Felix turun lebih dulu, disusul oleh Jason yang memperhatikan tempat asing di mana mereka berada saat ini. Jason berkata, "kenapa aku merasa bahwa tempat ini lebih buruk dari tempat sebelumnya?" Felix berjalan menuju rumah yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan tersebut. Sedangkan Jason yang tak memiliki pilihan lain pun turut berjalan di belakang Felix. "Hey, Bung. Kau benar-benar berencana menjadi seorang gembala? Bukankah tempat ini lebih buruk dari tempat sebelumnya? Aku pikir kau akan mengajakku menginap di sebuah apartemen mewah, kenapa justru pergi ke tempat seperti ini?" Felix mengabaikan ucapan Jason di balik punggungnya. Membuka pintu rumah, Felix melangkah masuk dan baru beberapa langkah ia berhenti. Pandangannya menemukan sosok yang telah menunggunya. Seulas senyum lantas melukis wajah tenang Felix, sementara di balik punggungnya, Jason datang dengan mulut yang menggerutu. "Aku harap tidak ada serangga di sini. Asal kau tahu saja, aku sangat membenci mereka." Jason berdiri di samping Felix dan turut menyadari kehadiran orang ke tiga di ruangan itu. "Oh! Anak ajaib, kau sudah di sini?" "Kalian sampai dengan selamat." Kalimat sambutan itu dilontarkan oleh Daniel Alexander Lim yang memang telah menunggu kedatangan keduanya. Felix mengambil langkah untuk memutuskan jarak di antara keduanya. Dan ketika ia mampu menjangkau tempat Daniel berdiri saat ini, dia segera memeluk saudara laki-laki yang sangat ia rindukan itu. "Aku minta maaf atas kesulitan yang kau lalui selama ini," ucap Felix. Terucap dengan tatapan lembut yang sarat akan ketulusan. Daniel membawa satu tangannya untuk membalas pelukan itu. "Melihatmu dalam keadaan sehat adalah hal yang paling aku syukuri saat ini. Aku akan memaafkanmu karena kau telah memintanya dariku." Senyum Felix melebar, satu tangannya terangkat dan berpindah pada puncak kepala Daniel. Dan di antara kedua kakak beradik itu. Jason tiba-tiba merasa menjadi orang ke tiga yang tidak diharapkan. "Aku selalu merasa menjadi orang buangan di antara mereka berdua," gumam Jason. "Eih ... melihat adegan ini hanya mengingatkan aku pada rumahku." Jason berpaling. Tak ingin melihat sesuatu yang membuatnya kembali merasa menyesal. Perasaan menyesal yang datang setelah ia tak bisa melihat keluarganya lagi setelah semua situs berita memuat namanya dengan memberikan gelar pendosa di depan namanya. BATTLE OF HEALER : CHAPTER II [JACK THE RIPPER]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD