bc

Om, I Love You!

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
age gap
opposites attract
kickass heroine
single mother
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Om, I love you!""Tapi, kita 'kan masih saudara, Ci!""Bodo amat! Yang penting Cici suka sama Om!"-------"Jika suatu saat nanti om dilahirkan kembali, Om ingin jadi apa?""Hem ... jadi apa, ya? Jadi orang yang berguna aja, deh. Capek jadi orang yang sukanya nyusahin orang lain. Kalau Cici, mau jadi apa?""Ingin jadi kembang api buat, Om. Biar Om Arshen bahagia terus."-----Cinta itu tidak meski saling memiliki, cukup melihat orang yang kita cintai pun sudah membuat hati senang. Tak apa, meski aku tidak ditakdirkan untuk menjadi pasangan Om Arshen, mungkin suatu hari nanti aku dan dia akan bersatu selamanya. Mungkin. Kemungkinan itu pasti ada.Huft! Terlalu maksa itu berlebihan tidak? Saksikan terus kisahnya hanya dreame, Om I love You! karya D-Liza

chap-preview
Free preview
Anak Bawel
"Ci, cepetan dong! Udah telat, nih!" Aku setengah berteriak dari arah luar halaman rumah. Sesekali kulirik jam tangan yang sebentar lagi menunjukkan pukul 07.00. "Ci ...!" Yang dipanggil tak kunjung datang juga. "Jangan sampai Om tinggal, ya!" sahutku kemudian, sambil menggerungkan sepeda motor. "Bentar Om, Cici lagi pakai sepatu!" teriaknya dari dalam rumah. "Pakai sepatunya jangan lama-lama! Nanti Om tinggal! Udah telat ini!" Sekali lagi, aku beri ultimatum pada anak ingusan itu. Si anak ingusan yang bawel dan juga centil. Usianya baru menginjak dua belas tahun, tetapi tingkah lakunya sudah seperti anak remaja usia delapan belas tahun. "Om, bisa gak kalau ngancem jangan pakai ninggalin segala? Cici kan jadi gugup, nih," gerutunya, dengan bibir manyun ke depan. Saat kulihat anak bawel itu, aku tak kuasa menahan tawa. Pasalnya, bedak tabur bayi yang dia gunakan tidak beraturan di wajahnya. Sehingga menimbulkan kesan lucu seperti badut. "Apaan ketawa? Enggak lucu, Om!" Anak gadis bawel itu masih menggerutu. Tak lupa pula kedua kakinya dihentakkan dengan kencang. Itu pertanda dirinya sangat kesal. "Sini-sini, Om perbaiki riasannya," kataku, sambil memperbaiki taburan bedak yang masih berantakan di wajah si chubby. "Kamu itu bisa gak kalau pakai bedak jangan banyak-banyak gini. Tipis aja Ci, oke?" Anak bawel itu akhirnya terdiam setelah tadi tantrum aku ledek. "Terus, kamu itu kan masih SD, gak baik kalau anak kecil udah pakai lipstik," sambungku kemudian. "Tapikan, ini lipgloss Om bukan lipstik yang sering dipakai Bunda," protesnya dengan bibir mengerucut. Terpaksa aku hapus lipsgloss yang dipakainya hari ini. Anak sekecil Cici belum pantas memakai riasan wajah macam anak gadis di atas usianya. "Enggak boleh, Ci! Kamu tetap harus mematuhi aturan sekolah." Aku memberi wejangan padanya. "Udah beres. Yuk, berangkat!" Cici masih diam. Anak bawel itu sama sekali tidak menggubris ajakanku, tetapi segera melangkah maju saat tanganku terulur ke arahnya. "Ayo Ci! Udah siang ini. Nanti kamu terlambat, dihukum lagi sama guru BK!" seruku. "Om." Dia mencegahku. "Mau gak jadi ayah buat Cici atau ... jadi suami Cici?" What the hell? Ini anak kenapa? Kesambat setan apa, sih, sampai dia berani mengajukan pertanyaan sekonyol ini? Bukannya anak ini tahu kalau aku dan ibunya itu masih satu keluarga besar. Aku sepupuan dengan ibunya dan tidak mungkin juga kalau aku menikah dengan sepupu. Apalagi kalau aku jadi suaminya. Usianya masih terlalu muda, terus dia juga status di keluarga besar adalah keponakan. Mana bisa aku menikah dengannya? Gila! Ini benar-benar gila! Aku tidak menggubris pertanyaan dari Cici. Kugenggam erat tangannya, dan mengajaknya pergi menaiki motor. Namun, lagi-lagi Cici masih tetap diam di tempatnya semula. "Om belum jawab pertanyaan Cici." "Pertanyaan yang mana, Ci?" "Om jadi ayahku atau suamiku?" Cici menatapku, Aku berpaling ke arah lain agar anak bawel itu tidak membaca gestur wajahku yang tiba-tiba saja bersemu merah menahan tawa. "Om gak tahu harus mulai dari mana. Cici kan tahu, Om ini siapa? Om masih ada satu darah sama bunda, ya, Ci. Om, gak bisa jadi ayah ataupun suami buat Cici," kataku, akhirnya bisa menjelaskan padanya. Cukup sulit memang, karena Cici ini anak yang sangat keras kepala. Kalau dia bilang A, ya, harus A. Tidak bisa B atau C atau D. Kulihat wajah Cici memerah. Kutahu pasti anak bawel itu kecewa atas jawabanku barusan. "Tapi, kalau Om bukan saudara Bunda, pasti Om juga bakalan mau jadi ayahnya Cici 'kan?" Anak itu mengajukan pertanyaan lagi. "Jangankan ayah sambung, jadi suami juga Om oke-oke aja. Asal ... tidak ada hubungan sedarah sama Bunda dan sama Cici juga," jawabku. "Beneran, ya, Om? Nanti kalau Om lahir kembali, Om jadi suami Cici aja jangan jadi saudara Cici lagi," ucapnya bersemangat. Kini, anak bawel itu mau kuajak menaiki motor. "Iya, Princess Cici. Yuk, naik! Kuda putih sudah menanti dari tadi." "Janji dulu, Om!" "Iya, Janji. Janji jari kelingking!" Tak lama kemudian, kami pun berangkat ke tempat tujuan utama yaitu sekolah Cici. ------------ Namanya Dessy Yulia Az-Zahra, tetapi dia sering dipanggil Cici oleh ibu dan neneknya ~ yaitu ibuku juga. Mungkin, karena anak bawel itu wajahnya bule seperti cina. Ah, tapi, matanya tidak sesipit mata orang China pada umumnya. Mata Cici ini bulat sempurna macam kelereng dan bola matanya berwarna cokelat terang. Mungkin juga karena akhiran namanya 'Si', jadi lebih nyaman dan nyantai dipanggil Cici. I don't no. Meski usianya masih sangat muda, sekitar dua belas tahunan lah. Namun, perawakan badannya yang tinggi membuat anak bawel itu seperti sudah remaja. Aku pun sering menyebutnya si Bongsor karena memang dia yang paling bongsor badannya dibandingkan dengan keponakanku yang lain. Anaknya periang. Tidak pernah sakit hati kalau ada teman mainnya yang mengatakan kalau dia anak yatim (tak punya ayah). Memang benar, Cici ini anak yatim karena ayahnya meninggal karena kecelakaan saat usia Cici masih satu tahun, maka dari itu ia sangat berharap aku menjadi ayah sambung untuknya. Karena memang hanya akulah yang paling dekat dengan Cici. ------ Siang harinya, Siang ini, seperti biasanya aku sudah berada di sekitar halaman gerbang sekolah Cici. Agak sedikit terlambat memang karena tadi di sekolah, guruku terlalu lama bercerita tentang pengalaman hidupnya semasa remaja. Bisa dibilang itu adalah sebuah wejangan untuk anak didiknya yang terlalu nakal macam diriku. Di sekolah, aku tergolong siswa ternakal. Ada saja ulah yang sering aku lakukan. Dari bolos sekolah sampai pernah kepergok tawuran antar pelajar SMA. Di kejauhan, tampak anak-anak siswa siswi sekolah dasar berjalan mendekati gerbang sekolah. Ada yang jalan sendirian sambil bawa makanan di tangannya, ada juga yang berlari ke arah gerbang sekolah. Di arah pukul tiga sore, kulihat Anak bawel sedang berjalan beriringan dengan tiga sahabat karibnya yang kutahu bernama Raina, Nabila dan Alina. Keempatnya berjalan gontai sekali. Sambil sesekali salah satu diantara mereka menyeruput minuman segar. "Eh, kamu dijemput lagi, Ci?" tanya Raina. Teman Cici yang satu ini memiliki ciri khas yaitu giginya yang setengah ompong. "Iya," sahut Cici, agak santai tapi nyeleneh. "Tumben, biasanya bunda yang jemput. Kok, sekarang laki-laki?" timpal Nabila. Cici tersenyum miring. "Sama siapa, Ci? Gebetan baru, ya? Atau crush kamu?" ledek Alina. "Kamu salah semua." Akhirnya, anak bawel itu buka suara. "Ini Om Arshen. Dia yang dijodohkan sama Bunda. Nanti kalau Cici udah besar, udah lulus sekolah mau nikah sama Om Arshen," jawabnya. Diiringi kuluman senyum yang kutahu artinya apa. Dia puas. Aku hanya bisa tepuk jidat. Ketiga temannya Cici cuma bisa melongo dengan mulut menganga. Nasib punya keponakan yang jalur otaknya udah terkontaminasi sama drakor dewasa ya gini. Lebay! Awas ya Ci, sampai rumah Om mau ngadu sama Bunda. Lihat aja nanti. []

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook