Part 28

1694 Words
------------*****------------ Zhi Pov Aku tersenyum melihat sikecil yang kini tengah duduk disampingku, ia asik memainkan jari mungilnya, sesekali melihat kearahku. Jika pandangan kami bertemu, ia dengan cepat mengalih pandangannya. Lucu dan menggemaskan seperti biasanya. Ia selalu begitu jika merasa bersalah. "Sini dekat Ibu"pintaku lembut, walau tampak ragu, iapun merangkak kearahku "Anak Ibu kenapa diam" aku bertanya seolah melupakan apa yang tadi ia lakukan. Aku hanya tak ingin ia takut dan kehilangan keceriaannya hari ini. Perih, sudah pasti aku rasakan saat ini. Namun aku juga tak bisa memarahi putra kecilku ini. Ia terlalu imut untuk dimarahi. Ia melakukan hal ini juga pasti tidak sengaja, dan semua pasti setuju, dimasanya, otak kecilnya masih belum mengerti apa akibat dari perbuatannya sendiri. Tidak memarahinya saat berbuat kesalahan, apa itu tidak berpengaruh akan perkembangannya kelak. Jawabnya, ada masanya aku memarahinya saat ia melakukan kesalahan. Tapi tidak saat ini, saat ini ia masih belum mengerti, karna itu, memarahinya juga tidak ada gunanya, memarahinya saat inilah yang akan menimbulkan hal buruk bagi perkembangannya. Kenapa??? Karna ada masanya anak dijadikan raja, ada masanya anak dijadikan tawanan, dan ada masanya pula anak dijadikan sahabat. Aku hanya berpandangan kesana dalam mendidik sikecil ini. Saat seorang anak dijadikan raja, ia tidak bisa dijadikan tawanan, pun sebaliknya. Saat menjadi raja, ia berlaku semaunya adalah hal biasa, hanya kita yang harus bersabar dalam menghadapinya. Bersabar!!! Ya!! Sabar adalah kunci dalam mendidik anak. Kita juga manusia biasa, ada kalanya kita lepas kendali akan semua tingkah lakunya, apalagi seseorang yang berada diposisiku, ibu sambung. Selain sabar, kasih sayang juga sangat dibutuhkan. Sabar, kasih sayang juga tidak cukup, kita juga harus tegas pada anak. Namun untuk saat ini, tegas pada sikecil masih belum bisa aku lakukan. Karna memang belum masanya. "Akik" ucapnya pelan menyentuh kain putih penutup luka akibat air panas dipahaku, yang memang belum boleh ditutup oleh Ayahnya "Ngak"jawabku mengelus lembut kepalanya, ia hanya menatapku sekilas, rasa bersalah masih tampak dimata indahnya, membuatku semakin jatuh cinta pada mahluk mungil ini Hampir dua tahun, tidak terasa bayi merah yang dulunya tampak rapuh, kini sudah tumbuh dengan sehatnya. Aku menyayangi bahkan amat mencintai mahluk kecil ini, karna itulah sulit untukku memarahinya, apapun yang ia lakukan. Dari dulu, anak kecil mamang selalu membuatku jatuh cinta dengan segala tingkahnya. Aku selalu merasakan kegembiraan kala mereka ada disekitarku, karna itulah, menikah dengan seseorang yang memiliki bayi seperti kak Atth saat itu bukan masalah bagiku. Bayi siapapun, akan mudah bagiku menerimanya, karna memang aku sangat menyukai anak-anak. Ngomong-ngomong kak Atth, kemana perginya laki-laki itu, padahal tadi ia keluar untuk mengambil nasi sikecil, kenapa sampai sekarang belum muncul juga. Panjang umur. Batinku melihatnya membawa mangkuk kecil dan juga sepiring nasi dikedua tangannya. "Sini maman dulu"kak Atth menggamit tangannya pada sikecil, sikecil kembali melihatku, aku tersenyum dan mengangguk, barulah setelahnya ia merangkak menuju sang ayah "Bismillah" kak Atth membaca basmalah, setelahnya mulut kecil nan menggemaskan itu tampak membuka mulutnya, aku bersukur tak refleks memarahinya tadi, kalau ia pasti saat ini ia tak makan dengan lahapnya seperti yang saat ini aku saksikan. Ternyata perut kecilnya memang lapar. "Setelah ini Kakak mau kerumah mama sebentar"ucapan kak Atth mengalihkan pandanganku, aku mengangguk mengizinkan "Jangan lakukan apapun, istirahat saja. Dapur sudah Kakak bersihkan"sambungnya membuatku mengerti mengapa ia lama didapur sebelumnya "Makasih Kak"ucapku pelan dijawab senyuman darinya. "Sikecil gimana. Ikut??" Tanyaku. Akan membosankan jika mahluk kecil ini tak ada. Apalagi keadaanku saat ini tidak dalam kondisi yang baik "Dia akan jaga Ibunya, dan diajakpun pasti ngak mau"jawab kak Atth membuatku melengkungkan senyumku. "Alhamdulillah"kami berucap bersamaan dengan terdengarnya sendawa sikecil, sementara mahluk mungil itu, ia hanya terkikih mendengar ucapan ayah dan ibunya bersamaan. Mungkin lucu pikirnya. Entahlah aku juga tak mengerti. Setelah menyelesaikan memberi sikecil datang, kak Atth kembali kedapur, dan beberapa saat kemudian ia kembali kekamar dengan membawa sepiring nasi beserta perangkatnya. "Makanlah kalau lapar. Air ada disana"ucapnya menyeret kursi yang biasa digunakan untuk berias, setelahnya ia meletakkan nasi yang ia bawa disana, mungkin untuk memudahkanku mengambilnya, tak perlu turun dari ranjang "Terima kasih Kak" ucapku tulus, dia benar-benar suami yang baik. Aku berterima kasih atas semua yang ia lakukan, entah kisah tentang masalaluku mempengaruhinya atau tidak, setidaknya untuk saat ini, ia masih belum berubah dari kak Atth yang dulu aku kenal. "Jangan lupa makan"ucapnya mengelus pelan pucuk kepalaku "Kakak pergi dulu"sambungnya ku jawab anggukkan "Jagoan. Jaga Ibu hmpz"kali ini ia mencubit pelan pipi pink milik sikecil. Seolah mengerti, anak itu menganggukkan kepalanya. Barulah setelahnya kak Atth melenggang meninggalkan kamar kami. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil meninggalkan rumah. "Apapun masalaluku, aku sudah beranjak dari sana, saat kalian datang dengan masa depan" -------****-------- Atthar Pov Entah jam berapa aku tidur semalam, makanya habis subuh aku kembali tertidur, hampir jam 10 pagi aku baru terbangun, namun tak mendapati pasangan romantis itu disampingku. Aku terlalu sering mengatakan mereka pasangan romantis, mungkin akan sulit bagiku jadi orang ketiga. Selesai membersihkan diri, aku mecari keberadaan keduanya, jika tidak ada diruang keluarga, pasti didapur atau ditaman belakang. Tebakanku benar, keduanya didapur. Aku tak langsung menghampiri keduanya melainkan melihat interaksi keduanya, tak ada pertanda jika wanita disana adalah ibu sambung dari bocah kecil tersebut. Aku melihat dan mendengar interaksi keduanya bisa merasakan seberapa dekat kedekatan keduanya, aku baru keluar dari tempatku berdiri setelah melihat Zhi menyeret kakinya kearah meja makan, dan meletakkan sikecil dengan pelan kekursi yang memang diperuntukkan untuknya. Kenapa aku tak langsung keluar saat sikecil tak sengaja menumpahkan air panas ke paha ibunya. Jawabnya aku hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan Zhi pada bocah kecil itu. Mungkin jika aku diposisinya, setidaknya aku sudah membentak sikecil sebagai luapan rasa yang ada. Namun tidak dengannya. Hanya air mata yang aku lihat, dan tak ada satupun umpatan keluar dari mulutnya. Aku dan anakku beruntung memilikinya disisi kami. Persetan dengan segala masalalunya. Ngomong-ngomong masalalu. Aku kini sudah sampai dirumah mama, dan tadi dia bilang ada dirumah. "Assalamualaikum"aku mengucap salam dan masuk seperti biasanya, mama menjawab salam dari dapur, membuatku berjalan kearah dapur. "Mama dibelakang. Kenapa pintu depan ngak dikunci. Iya Atth atau Papa yang masuk. Kalau maling gimana"ucapku setelah menyalam wanita yang sudah melahirkanku ini "Mama baru kebelakang Atth, mu liatin bolu kukus kesukaan sudah matang belum. Tadi Mama didepan" "Sikecil sama Ibunya ngak ikut" tanyanya melihat tak ada orang dibelakangku "Kan Atth udah bilang datang sendiri" "Masalah masa lalu" benar dugaanku. Mama tau "Maksud Mama" "Mama lihat post'an kamu kemarin" aku melupakan fakta jika mamaku termasuk orang yang aktif dimensos, tapi dia bukan mama alay, baginya mensos sama denganku, mencari informasi. "Apa ada yang Mama tau" aku bertanya langsung pada mama, walau niat awal hanya ingin mengorek informasi sejauh mana mama tau, mama, wanita itu malah terkekeh atas pertanyaanku "Tau" tiga huruf yang keluar dari wanita dihadapanku membuatku bertambah bingung, dulu ia mengatakan tak tau apa-apa, sekarang ia mengatakan tau. Jika ia tau mengapa ia diam saja. "Duduk disana, Mama angkat bolu dulu" perintah mama, aku mengangguk patuh . "Zhi seorang penulis, dia juga pintar dalam beberapa hal. Namun semua itu tertutup dengan pembawaannya yang sederhana" Mama berucap dengan bolu wangi khas pandan di tangannya. "Dia lebih tampak tak tau apa-apa berbanding dengan segala bakat dalam dirinya"aku membiarkan mama bercerita, tanpa berminat menyentu bolu kukus pandan kesukaanku. "Bahkan kau harus tau, Papamu dulu menyuruh Mama sholat Shalat Istikhoroh selama seminggu, takut pilihan Mama salah. Karna rasanya tidak mungkin pengganti Bunda sikecil seperti Ibunya saat ini" "Walau Papa tidak mempermasalah siapapun Zhi, tapi ia takut kamunya yang nantinya berbuat masalah. Karna Ibu dan Bunda sikecilmu sangat bertolak belakang" aku mengangguk, benar adanya terlintas hal itu dikepalaku. Katakan aku juga meragukan Zhi diawal pernikahan kami, namun semua akan berubah seiring berjalannya waktu, dulu aku berpikir pandangan orang, pengganti Bunda sikecil masak berbading terbalik. Entah itu penampilan, karir dan segala macamnya. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai membiasakan diri, dan lama-kelamaan aku mulai terbiasa akan sosok baru dalam hidupku saat itu. "Kita hidup dimasa, dimana alaskakipun menjadi alasan untuk seseorang menjatuhkan kita"ucap Mama kembali membuat keningku berkerut. Mungkin Zhi lah yang cocok berbicara dengan mama, karna sering kali kata keduanya membuatku pusing "Waktu itu Papamu tak ingin nantinya, kamu akan jadi bahan bullyan atas pilihan Mama, karna memang Mama yang bersih keras menjodohkan kamu dengan Zhi. Baik itu dari teman, keluarga alm. Ataupun orang sekitar. Namun mungkin orang sekitar tidak begitu, karna tau dia memang sosok yang rajin kemesjid. Walau masih sering Mama dengar orang membanding-bandingkan antara kedua istrimu, entah itu pendidikan, karir atau kata mama tadi. Sendal atau cara perbapakai"mama terkekeh dalam bercerita "Saat orang sibuk menyiapkan sedekahan atas meninggalnya alm. Mama malah sibuk memikirkan menantu baru. Papamu sempat tak setuju juga untuk hal itu. Namun apa daya, dalam pikir Mama, yang meninggal takkan hidup lagi, yang hiduplah yang Mama pikirkan. Bukan kamu juga tentunya. Walau dikit ada kamu sih"ucap mama menggerling nakal "Maksud Mama"inilah komentar pertama ku dalam cerita mama "Bayi merah kalian yang Mama pikirkan. Cucu kesayanganku"jawab mama mencomot bolu kukus didepannya "Ayok makan. Keburu Mama habiskan"sambungnya. Akupun mengikuti perintahnya "Cucu merahku saat itu bisa saja jadi biru/balu jika ia jatuh pada tangan yang salah. Balu disini ia bisa saja mati ditangan yang salah. Dan Mama ngak mau itu. Mama ingin mengurusnya. Tapi tau sendiri. Mama jarang dirumah. Makanya Mama memutuskan mencari Ibu yang tepat untuk sikecil " "Dia Zhi. Tapi Mama tau ngak gimana masalalunya"selaku cepat "Kan Mama dah bilang, Mama tau semuanya"jawab mama takkala cepat "Terus kenapa menjodohkannya sama Atth"kesalku "Kamu takut bersaing dengan orang yang sudah tidak ada dibumi hmpz" "Maa" melasku, anaknya sudah serius mama malah mengodaku "Mama tau. Tapi Mama yakin akan anak Mama, Mama yakin anak Mama pasti bisa menjadi penyembuh pun sebaliknya. Seperti namanya Syifa. Artinya penyembuh. Zhi juga bisa menyembuhkan luka dihati anak Mama"ucap Mama memperlakukanku layaknya Zhi menperlakukan sikecil. "Ya walau mungkin sudah mendapatlan hatinya. Tapi sepertinya masih ada yang belum anak Mama dapatkan"aku menatapa mama yang menatapku dengan tatapan nakal "Jangan pura-pura bego. Belum belah duren kan"tawa Mama membahana membuatku benar-benar aahh sulit menjelaskannya "Ayolah sayang, jangan kayak anak ABG, istri aja dah dua. Kala Mama yang punya suami satu" "Memang mau punya suami dua"omongan seseorang membuat tawa mama terhenti. Dan disana, laki-laki paruh baya menahan tawanya melihat perubahan raut wajah istrinya, ia memasang tampang seolah datar, tapi aku tau laki-laki yang tak lain papa tengah menggoda mama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD