--------*****---------
Skipp
Atthar Pov
Hari ini tepat setahun yang lalu Bundanya sikecil Azril pergi kepangkuan Ilahi, dan itu artinya 2 minggu lagi adalah setahun pernikahanku dengan Ibunya, dan 2 minggu sebelum hari ini adalah hari ulang tahun jagoan kecilku itu.
Jujur, aku sendiri sempat pusing memikirkan acara mana yang harus terlebih dahulu aku adakan, ulang tahun sikecil, mengingat meninggal Bundanya, atau ulang tahun pernikahan aku dan Ibunya
Aku bukan tipe yang suka merayakan hal penting, cukup mengingat dan berdo'a atas hal tersebut sepanjang waktu sudah cukup, ulang tahun sikecil bisa kita undur, lagian dia juga belum mengerti apa arti ulang tahun, cukup berdo'a untuk tumbuh kembangnya, itulah hal terpenting yang harus kita lakukan sebagai orang tua, dan lebih baik kita adakan peringatan satu tahun Bundanya saja terlebih dahulu, dan itu akan berlanjut setiap tahunnya.
Itulah yang dikatakan Zhi saat memberiku solusi, katanya tentang hari pernikahan kami, ia tak terlalu memikirkannya harus merayakannya atau tidak, entah itu satu kebenaran atau ia tak enak harus merayakan hari pernikahannya berdekatan dengan peringatan hari kematian istri pertama suaminya, aku juga tak mengerti, yang jelas dilema seperti ini akan terus aku rasakan sepenjang tahun, jika sekarang aku mungkin tak terlalu memikirkan atas jawaban Zhi, tapi entah bagaimana didepanya kisah yang akan kami tempuh, rasanya mustahil aku selalu mendahului ia yang sudah tiada tanpa memikirkan ia yang disisiku, aku rasa kalian mengerti maksudku.
Mengenang setahun kepergian istriku, banyak kerabat dan sahabat yang datang kerumah untuk mengenangnya, mengirimkan do'a dan juga ingin bertemu jagoan kecil kami, dan yang ingin ditemui tak kunjung mau berpindah dari Ibunya, yang ia lakukan hanya memegang sisi hijab Ibunya sebagai gantungan kala ada orang yang hendak mengambilnya, kadang ia marah pipinya menjadi sasaran tangan gemas para sahabat Bundanya, dan untuk beberapa saat sikecil akan menenggelamkan wajahnya dibelahan d**a Ibunya yang tertutup hijab panjangnya.
Sedari tadi pandangan asing selalu ditampilkan sikecil pada setiap orang yang menyapanya, wajar saja, ia amat sangat jarang keluar rumah dan bersosialisasi, kalaupun pergi keacara paling cuma beberapa menit, dan tidak seperti wanita yang melahirkannya yang suka keramaian dan jalan-jalan, sifat sikecil malah menunjukkan turunan dari wanita yang membesarkannya, ia lebih suka dirumah dan tidak terlalu menyukai keramaian, sungguh aneh tapi inilah nyatanya.
"Dia berhasil mengambil apa yang menjadi milik kakakku. Entah itu anak dan suami, bahkan ia pun tinggal dirumah yang kakakku juga ikut andil dalam pembuatannya" kata tajam itu membuatku menoleh cepat, melihat ia si empunya mulut tengah berdiri dengan angkuhnya beberapa senti dariku
"Wajahmu dan kakakmu hampir serupa, tapi prilaku kalian amat sangat jauh berbeda"jawabku memberi senyum remehku pada perempuan yang kini duduk disampingku, dia adalah adiknya Bunda sikecil, mereka hanya dua bersaudara, dan sebelum meninggal, sebenarnya ada omongan Bunda sikecil yang mengisyaratkan untukku, jika kelak ia tiada, ia ingin Viona yang mengantikannya, walau tidak terucap jelas, namun aku bisa menangkap apa maksudnya, akupun pernah meminta pendapat mama dan jawaban mama adalah kini yang aku jalani
Kamu sudah mencari apa yang kamu mau, dan untuk yang sekarang, biar mama yang carikan untuk kamu
Mama tak memberiku pendapat, bagaimana jika Viona yang mengantikkan posisi Bundanya sikecil, namun kata diataslah yang ia ucapkan. Walau diamanahkanpun, rasanya aku takkan menikahi perempuan semacam dia, walau wajahnya selalu mampu mengingatkanku pada alm. Tapi tetap saja, perilakunya jauh dari kata baik.
"Yah kembar saja berbeda, apalagi kami"jawabnya cuek
"Oh ya, kok bisa ya kamu menikah dengan perempuan yang sangat jauh dari kakakku, yang aku lihat ia tipe gadis kampung, ngak berpendidikan, dan ahh"sambungnya angkuh membuatku mendidih, entah mengapa aku tak terima akan apa yang keluar dari mulutnya
"Kasian anak kakakku harus hidup dan dibesarkan oleh wanita seperti dia"cerocosnya tanpa memberiku cela memotong omongannya
"Lalu wanita sepertimu yang pantas menggantikan kakakmu"aku menoleh melihat Zhi berdiri dengan senyum, yang aku lihat merendahkan
"Wanita yang berpendidikan, tapi minim etika. Percuma gelar sepanjang rel kereta api, tapi nol etika"ucap Zhi menggelengkan kepalanya, dia berbeda, amat berbeda dari yang sering aku lihat, ia terlihat seperti tokoh jahat difilm-film
"Jaga mulut kamu"Vio tampak terima akan apa yang diucapkan Zhi, beruntung tamu sudah pulang, dan orang-orang yang menginap juga sudah tertidur, kalau tidak ahh tau ah gelap
"Jaga mulutku"jujur aku tak tau alter ego benar ada apa tidak, dan kalaupun ada biasanya dicerita pasti laki-laki yang memiliki sifat ini, dan dihadapku saat ini, Zhi sangat berbeda seolah ia salah satu manusia yang mempunyai keperibadian langka itu
"aku tak harus menjaga mulut dan prilaku terhadap orang yang tak menjaga mulut dan prilakunya padaku"
"Aku!!!"Zhi menunjuk dirinya
"Bersikap tergantung sikap orang terhadapku"lanjutnya menggertakan giginya, Ibunya Azril hilang batinku
"Kenapa kau terlihat marah, tersinggung, karna yang aku omongkan benar adanya bukan, dari segi manapun kamu tak ada apa-apanya dibanding kakakku"kali ini Viona kembali dengan sikap angkuhnya
"Viona"tegurku
"Sesempurna apa kakakmu sehingga kau menyebutku tak pantas"
"Kakakmu cantik sedang aku pas-pasan"
"Kakakmu lulusan S2 sedang aku ahh aku lupa aku lulusan apa"
"Kakakmu seorang dosen, sedang aku orang yang menumpang hidup pada laki-laki yang kau inginkan menjadi pendampingmu"
Hah, Zhi tertawa akan apa yang ia ucapkan
Deg
Deg
Entah mengapa jantungku berdegub mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya
"Sudah, ini sudah malam, Viona kembalilah kekamarmu, aku tak ingin tali silaturrahmi diantara keluarga kita putus karna hal ini, aku tak jamin aku bisa mengendalikan diriku jika kamu masih bersikap seperti itu" ucapku datar
"Dan Zhi, kembali kekamar, sikecil akan nangis kalau nanti kebangun kamu tidak ada"sambungku, selain tak ingin mereka melanjutkan perdebatannya, entah mengapa aku takut jika Zhi membahas Bunda sikecil. Entah takut apa, aku juga tak mengerti. Dan seperti biasanya, perintahku akan selalu ia jawab dengan anggukan, walau aku tau ia tidak dalam keadaan yang bisa diperintah, namun ternyata ia orang yang tak melupakan siapa dirinya tengah diselimuti amarah, amarah, aku bisa melihat amarah dimatanya. Melupakan dirinya dalam arti siapa aku baginya.