“MESUUUUUUUUUUUUUUUM!!!”
Teriakan Valeria disusul dorongan keras pada dadanya membuat Marvin terjungkal ke belakang sekaligus tersentak kaget. Laki-laki itu mengerang keras ketika merasakan nyeri pada punggungnya yang terbentur kerasnya lantai. Kemudian, ketika dia mendongak, dia bisa melihat Valeria sudah berdiri sambil berkacak pinggang dengan kedua mata yang melotot ganas ke arahnya seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.
Saat terjatuh dalam posisi Marvin berada di atas tubuh Valeria tadi, laki-laki itu bisa merasakan dunianya ditembus oleh Valeria melalui tatapan mata gadis itu. Dan Marvin sangat tidak suka apabila ada orang lain yang mencoba untuk memasuki dunianya. Dunianya adalah miliknya sendiri. Dunianya adalah privasinya. Meskipun yang dilakukan oleh Valeria hanyalah menatap kedua matanya, namun Marvin merasa gadis itu sudah mengetahui sebagian dari dunianya yang memang sengaja dia sembunyikan dari dunia luar.
“Sinting!” maki Marvin sambil mencoba bangkit berdiri.
Baru saja Valeria akan membalas makian yang dilontarkan oleh Marvin tersebut, suara langkah kaki yang terdengar sangat tergesa mendekat ke arah mereka berdua. Marvin dan Valeria otomatis menoleh dan menemukan sosok Melvin yang sedikit terengah sudah muncul di ruangan tersebut. Melvin menatap kembarannya juga Valeria secara bergantian.
“Ada apa?! Ada apa?!” tanya Melvin panik. Dia kini menatap Valeria dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan cemas. Seolah meneliti keseluruhan fisik Valeria guna memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. “Lo nggak apa-apa, kan, Val?”
“Gue yang apa-apa, orang gue yang jadi korban!” sungut Marvin ketus sambil menoyor kepala Valeria. Gadis itu jelas tidak terima. Dia ingin membalas namun Melvin dengan sigap langsung menahan tubuh gadis itu.
“Lo b******k banget, sih, jadi cowok?!” teriak Valeria kesal. Dia benar-benar terbakar emosi saat ini. Pertama karena Inggit, kedua karena iblis yang kabur dari neraka di depannya.
“Gue emang b******k dan gue rasa lo emang tau soal reputasi gue yang satu itu.” Marvin membalas teriakan Valeria tadi dengan nada dingin dan rendah. Laki-laki itu menatap tajam dan sinis gadis galak di depannya itu sambil bersedekap.
“Mar, cukup!” perintah Melvin. Laki-laki itu langsung menempatkan tubuhnya diantara Valeria dan saudara kembarnya tersebut. “Nggak usah pakai acara ribut-ribut, lah... sebenarnya ada apa, sih?”
“Lo tanya aja sama cewek b******k itu,” ucap Marvin datar. Kini tatapan tajam dan sinis itu berubah menjadi tatapan merendahkan dan mengejek. “Nggak akan ada yang bisa tahan sama cewek sialan teman mungil lo itu lebih dari satu detik, Vin... dan gue benar-benar heran sama lo karena lo mau aja berteman sama dia.”
“Mulut lo nggak pernah disekolahin, ya?!” seru Valeria penuh emosi. Dia sudah mencoba untuk mengontrol emosinya, demi Melvin, tapi rupanya Marvin malah semakin menyulut api pertengkaran diantara mereka. “Apa, sih, masalah lo sama gue, HAH?!”
“Harusnya gue yang nanya!” Marvin meringsek maju, bermaksud untuk memasang tubuh tingginya di depan Valeria. Namun karena keberadaan Melvin diantara keduanya, membuat Marvin tidak bisa melakukan hal tersebut. Laki-laki itu hanya bisa berdiri di depan Melvin yang menahan tubuhnya agar tidak mendekat ke arah Valeria namun tatapan mata Marvin tetap menyorot tajam, menguliti gadis itu melalui kedua matanya. “Ngapain, sih, lo harus deketin kembaran gue? Lo mau harta kita, iya? Makanya lo berpura-pura baik dan bermaksud untuk memanfaatkan Melvin, kan? Iya, kan?! Cewek matre!”
“Marvin!” teriak Melvin sambil mendorong tubuh Marvin hingga membuat kembarannya itu mundur ke belakang beberapa langkah. “Jaga ucapan lo.”
“Apa yang harus dijaga? Semua yang gue bilang itu emang benar! Valeria Fransesca itu sama aja kayak cewek-cewek diluar sana, alias MATRE! Buka mata lo lebar-lebar, Vin! Dia itu sama aja kayak Inggit, yang selalu ngejar lo dari SMA karena harta kekayaan lo!”
Mendadak, suasana menjadi hening. Kepala Marvin tertoleh ke kanan dengan gerakan cepat. Laki-laki itu kemudian terkekeh dan mendengus, lalu menarik napas panjang. Baru saja, sebuah tamparan kuat mendarat pada pipi kirinya. Tamparan yang dilakukan oleh Valeria. Melvin hanya bisa terdiam dan terus mengawasi keadaan, juga menahan tubuh Valeria yang mencoba kembali menyerang kembarannya tersebut. Setelah mengusap pipinya yang baru saja ditampar oleh Valeria, Marvin menoleh dan tersenyum sinis ke arah gadis itu.
“Sekali b******k selamanya akan tetap menjadi b******k!”
“Dan sekali matre, selamanya akan tetap menjadi matre!” Marvin menunjuk wajah Valeria lurus-lurus. Ini benar-benar aneh. Emosinya benar-benar muncul ke permukaan hanya karena gadis di depannya ini. Ini sudah yang ketiga kalinya Valeria menampar pipinya. “Lo camkan ini baik-baik Valeria Fransesca... selamanya, gue nggak akan pernah mau berurusan sama lo! Dan jangan pernah lo berharap, lo bisa memanfaatkan kembaran gue untuk menguras kekayaan keluarga kita! JANGAN PERNAH! Untung lo cewek, kalau bukan, lo udah gue habisin!”
Selesai berkata demikian, Marvin memperagakan orang yang sedang membuang ludah dan berjalan melewati Melvin juga Valeria. Dengan sengaja, Marvin menabrakan pundaknya ke pundak Valeria hingga membuat tubuh mungil gadis itu sedikit tersentak ke belakang dan sudah pasti akan terjatuh kalau saja Melvin tidak langsung menahan tubuhnya.
“Val? Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Melvin khawatir. Laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Valeria yang tertunduk. Bahu gadis itu berguncang dan kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh gadis itu. Isak pertama yang keluar dari mulut Valeria langsung membuat Melvin membeku. Tanpa basa-basi, Melvin langsung meraih tubuh Valeria dan membawa gadis itu kedalam pelukannya.
“Maafin Marvin, Val... dia sebenarnya baik, hanya saja, sikapnya memang sedikit kasar....”
“Gue... benci... sama... Marvin...,” ucap Valeria sambil terisak. Dia mencengkram leher Melvin yang sedang memeluknya dan menenggelamkan kepalanya pada leher laki-laki itu. “Gue... benci... banget... sama... Marvin...!”
Melvin menghela napas panjang dan mempererat pelukannya. Dalam hati, dia mulai dikuasai ketakutan. Ketakutan yang begitu hebat. Takut jika Valeria berhasil membongkar penyamarannya.
Kalau lo benci sama Marvin, berarti lo akan jauh lebih membenci gue, Val...
###
Ini sudah yang ketiga kalinya, Nabila berkunjung ke rumah Valeria. Tadi, gadis itu menghilang begitu saja. Pun dengan Melvin. Setelah insiden di depan kelas yang Nabila sendiri tidak tahu persis apa kejadian yang sedang terjadi—kecuali ketika dia sudah melihat Valeria, Melvin dan Marvin sudah berbaring di atas lantai—sahabatnya itu tidak kembali kedalam kelas. Valeria juga tidak memberinya kabar sama sekali. Membuat gadis berkerudung itu dirundung rasa cemas yang begitu hebat.
Setelah bunyi bel terdengar beberapa kali, Nabila menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia sudah kenal dengan semua anggota keluarga Valeria. Kedua orangtua sahabatnya itu sangat baik, juga dengan Vincent, Kakak laki-laki Valeria. Vincent orang yang sangat ramah. Meskipun umurnya sudah memasuki angka dua puluh tiga tahun, namun Vincent masih mengikuti perkembangan bahasa gaul anak muda zaman sekarang. Bukannya bermaksud menghina, menurut Nabila, laki-laki seusia Vincent yang sudah memiliki penghasilan sendiri pasti hanya memikirkan masa depan, termasuk isteri dan anak. Tapi kenyataannya, Vincent masih ingin menghabiskan masa mudanya, disamping dia juga harus bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta Pusat.
Tak lama, pintu rumah Valeria terbuka. Nabila langsung mendongak ketika dia melihat orang yang baru saja melintas di pikirannya muncul di hadapan. Vincent, dengan kaus tanpa lengan yang terlihat sangat pas di lekukan tubuhnya yang atletis, rambut yang agak gondrong mencapai tengkuk dan terlihat berantakan, khas orang yang baru bangun tidur, celana jeans selutut dan tatapan matanya yang menyorot lucu. Lucu karena laki-laki itu sepertinya masih mengantuk. Begitu bertatapan dengan Nabila yang hanya bisa melongo menatap Vincent, laki-laki itu tersenyum kecil dan mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa Nabila.
“Hai, Bil,” sapa Vincent sambil kembali menguap dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Laki-laki itu merapihkan rambutnya yang berantakan dan langsung mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah Nabila ketika dia melihat gadis berkerudung itu masih saja terdiam di tempatnya. “Bil...?”
“Eh... ah, iya, Kak....” Nabila langsung tergeragap ketika dia tersadar dari lamunannya. Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena dengan tololnya bersikap memalukan seperti tadi di depan Vincent. Bukan salahnya, kan? Siapa suruh, Kakak laki-laki Valeria itu begitu tampan dan menggoda iman. “Nggak ke kantor, Kak?”
“Lagi nggak enak badan,” jawab Vincent sambil terkekeh geli. “Sebenarnya, sih, malas... Cuma izinnya ke kantor dengan alasan nggak enak badan.” Vincent mempersilahkan Nabila untuk masuk dan menyuruh gadis itu untuk duduk di sofa. “Minum apa, Bil?”
“Nggak usah repot-repot, Kak,” tolak Nabila halus. “Aku cuma mau nanya soal Valeria. Dia ada di rumah?”
Vincent yang sudah duduk di samping Nabila dan membuat jantung gadis itu mendadak sakit langsung mengerutkan keningnya karena bingung. “Val? Dia, kan, di kampus... emang kamu nggak ketemu sama dia? Bukannya kalian sekelas, ya?”
Dengan jantung yang berdegup kencang karena lengannya bersentuhan dengan lengan Vincent, juga aroma maskulin yang menguar dari tubuh laki-laki di sampingnya itu, Nabila berusaha sekeras mungkin untuk bersikap biasa saja dan menjawab pertanyaan Vincent tadi dengan setenang mungkin. Namun ternyata, tubuhnya lebih memilih untuk mengkhianati dirinya sendiri. Suaranya terdengar sangat pelan dan gugup, nyaris menyerupai cicitan. Nabila bahkan bisa melihat Vincent yang tersenyum geli ke arahnya, melalui lirikan matanya.
“Umm... itu... si Valeria tiba-tiba ngilang, Kak... aku juga nggak tau dia kemana,” ucap gadis berkerudung itu. Nabila menelan ludah susah payah ketika kini, Vincent menatapnya dengan sangat intens. Belum lagi tangan laki-laki itu yang memegang sebelah pundak Nabila, mengalirkan sengatan listrik yang langsung menggelitik perutnya.
“Valeria hilang? Maksud kamu hilang gimana, Bil?” tanya Vincent pelan. Pelan namun terdengar cemas. Nabila tahu bahwa Vincent itu sangat menyayangi Valeria. Keduanya begitu dekat, hingga banyak yang mengira bahwa Vincent dan Valeria adalah sepasang kekasih kalau mereka berdua sedang berjalan-jalan.
“Nggak diculik, kok, Kak,” sela Nabila langsung. Gadis itu menggoyangkan sebelah tangannya di depan Vincent. Ugh... rasanya lututnya sangat lemas seperti agar-agar. Untung saat ini dia sedang duduk di sofa, kalau tidak, dia pasti sudah mempermalukan dirinya sendiri karena terjatuh akibat tidak tahan dengan pesona yang dikeluarkan oleh Kakak dari sahabatnya itu. “Cuma, dia nggak balik ke kelas. Mungkin pergi sama Melvin.”
“Oh, Melvin....” Vincent manggut-manggut dan melepaskan pegangan tangannya pada pundak Nabila hingga membuat gadis itu bisa bernapas lega. Senyum hangat dan lembut mulai tercetak di bibir merah Vincent, membuat Nabila menahan napas. “Kalau sama Melvin, aku nggak masalah. Val udah cerita banyak soal Melvin dan aku suka sama laki-laki itu. Kalau sama Melvin, aku sih nggak akan khawatir. Karena....”
“Karena?” pancing Nabila ketika Vincent menggantung kalimatnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja memajukan tubuhnya, hingga Nabila harus mundur ke belakang. Sialnya, punggungnya sudah membentur lengan sofa dan kedua tangan Vincent dengan sigap langsung mengurung tubuh Nabila disana. Ada senyum geli yang muncul di bibir Vincent, membuat Nabila memutuskan akan segera mencari paru-paru dan jantung baru untuk mengganti dua organ tubuhnya yang sudah ‘sakit’ ini.
“Kak...? Kak Vincent, ma... mau ngapain...?” tanya Nabila gugup. Tuhan, tolong kasihani jantungnya yang malang ini.
“Nggak mau ngapa-ngapain,” balas Vincent polos. Sebelah tangannya kini mengusap pipi Nabila dengan lembut. “Cuma mau nerusin kalimat aku yang tadi... aku nggak akan khawatir sama Melvin karena aku percaya sama laki-laki itu.”
Suara mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumah Valeria membuat Nabila menghembuskan napas lega karena Vincent langsung menjauhkan tubuhnya. Gadis berkerudung itu mengelus d**a dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sampai dia puas, sampai dia bisa mengisi kekosongan udara pada paru-parunya karena ulah Vincent barusan.
“Makasih, Vin....”
Suara lelah Valeria itu membuat Vincent yang baru saja akan menghampiri pintu rumahnya tertegun. Laki-laki itu mengangkat satu alisnya ketika dia melihat ada bekas airmata di wajah adiknya. Kemudian, Valeria langsung naik ke lantai dua dengan diikuti tatapan bersalah milik Melvin dan tatapan penasaran milik Vincent juga Nabila.
“Kenapa, Vin?” tanya Nabila dengan nada suara bingung. Gadis itu sudah berdiri di samping Vincent dan menatap Melvin dengan tatapan ingin tahu. Vincent sendiri kini menatap tajam Melvin yang dibalas dengan tegas oleh laki-laki itu.
“Biasa... berantem sama Marvin....” Melvin menarik napas panjang dan membungkukkan tubuhnya di depan Vincent. “Maafin saudara kembar gue, Kak, karena udah bikin adik lo nangis.”
“Nggak usah minta maaf... bukan salah lo, kan? Yang penting, lo jangan pernah nyakitin adik gue kayak kembaran lo itu.” Vincent menepuk pundak Melvin beberapa kali, sebelum akhirnya menghilang ke lantai dua guna menemui adiknya. Tanpa peduli bahwa kalimatnya barusan berhasil membuat Melvin membeku di tempat dan kembali memikirkan kemungkinan Valeria akan membencinya nanti saat ini semua terbongkar.
###
Pukul tujuh malam, mobil Jazz milik Inggit berhenti tepat di garasi rumah Melvin. Gadis itu merapihkan penampilannya sejenak didalam mobil dan tersenyum puas ketika melihat pantulan dirinya di kaca spion tengah mobilnya. Rambut yang diikat menyamping dan lipgloss bewarna peach membuat wajah gadis itu semakin terlihat manis dan menggoda. Baju menyerupai kemben yang dilapisi oleh jaket kulit pendek sebatas d**a serta celana jeans ketat sebatas paha makin membuat penampilan Inggit terlihat seksi dan sempurna. Setelah menabur bedak tipis ke wajahnya, Inggit membuka pintu pengemudi dan melangkah dengan anggun.
“Hai, Mar,” sapa Inggit begitu pintu rumah besar di hadapannya terbuka setelah sebelumnya dia menekan bel beberapa kali. Inggit mengeluarkan senyuman mautnya yang sanggup membuat hati laki-laki manapun terpesona dan terpana. Namun sepertinya, senyuman itu tidak berlaku bagi Marvin. Wajahnya datar saja, pun dengan tatapan matanya. Laki-laki itu mengangkat satu alisnya dan menatap Inggit dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Mau kondangan?” tanya Marvin asal dengan nada ketus dan dingin. Sepertinya, emosinya saat tadi siang bertengkar dengan Valeria masih tersimpan didalam hatinya. Tadi saja, saat Melvin kembali setelah mengantar gadis galak itu, mereka berdua bertengkar hebat dan untuk pertama kalinya, si kembar saling menghajar satu sama lain. Bayangkan! Hanya karena membela si Valeria sialan itu, Melvin tega menghajar Marvin, membuat Marvin semakin benci dan gondok pada gadis itu.
“Kondangan pake kebaya, kali!” dengus Inggit sebal. Dia memang selalu mempersiapkan batin kalau berhadapan dengan Marvin. Selalu seperti itu semenjak SMA. Marvin itu lebih tempramen dan sensian jika dibandingkan dengan Melvin. Melvin hanya akan berdiam diri jika dia sedang kesal dan baru akan bertindak kalau oknum yang membuatnya jengkel sudah diluar batas. Sedangkan Marvin akan langsung melayangkan kepalan tangannya disaat sang oknum baru membuka kalimat pembuka untuk membuatnya jengkel. “Melvin mana?”
“Di kamar, kali... nggak ngurusin gue.” Marvin membuka pintu rumahnya lebar-lebar supaya Inggit bisa masuk kedalam dan mengikutinya. Ketika sampai di ruang tengah yang terang benderang, barulah Inggit melihat memar yang mulai membiru di sudut bibir Marvin.
“Muka lo kenapa, Mar?” tanya Inggit sambil duduk di samping Marvin. Gadis itu menyentuh memar yang berada di wajah Marvin, membuat laki-laki itu meringis dan langsung menepis tangan Inggit pelan.
“Sakit, bego!” seru Marvin bete. “Habis adu jotos sama si Melvin.”
“Serius?!”
“Serius lah. Ngapain gue pakai bohong segala?” Marvin meraih remote tivi dan mulai mencari acara yang bagus. “Dia di kamar kali, tuh... samperin aja sana.”
“Lo berdua kenapa bisa sampai adu jotos segala?” tanya Inggit penasaran. “Apa karena gadis yang bernama Valeria itu?”
“Iya.”
Rasa kesal dan kebencian yang teramat besar langsung muncul didalam dirinya. Gadis kampungan macam Valeria itu bisa membuat Melvin dan Marvin berkelahi? Cih! Apa bagusnya, sih, si Valeria itu? Sangat jauh kalau dibandingkan dengan dirinya! Berani taruhan, kalau Melvin tidak menyamar seperti laki-laki culun, Valeria pasti tidak akan bisa mengenali si kembar lagi. Tidak seperti dirinya yang selalu bisa membedakan yang mana Melvin dan yang mana Marvin semenjak SMA.
Awalnya, Inggit juga tidak mengerti kenapa dia bisa membedakan si kembar disaat semua teman-teman mereka justru merasa kesulitan untuk membedakan kedua laki-laki tersebut. Yang Inggit tahu, dia suka pada Melvin Raditya. Melvin Raditya yang memiliki alis yang tebal sebelah dan senyum lebar yang selalu ditampilkan di depan umum. Berbeda dengan Marvin yang memiliki dua alis tipis dan mata yang terkesan sipit. Ah, juga senyuman Marvin yang datar dan hemat. Maksudnya hemat disini adalah, laki-laki itu jarang tersenyum. Hanya dari fakta itulah, Inggit selalu bisa membedakan keduanya.
“Apa, sih, bagusnya Valeria, Mar?” tanya Inggit dengan nada kesal. Mendengar hal tersebut, Marvin langsung menoleh dan menatap tajam Inggit yang kini memasang tampang jijik saat menyebutkan nama Valeria. “Dia itu cuma cewek kampung yang nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama gue.”
“Jaga omongan lo.” Marvin bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi ke dapur, ketika dia kembali mendengar suara Inggit.
“Lo... suka sama dia? Melvin juga suka sama dia? Jadi, kalian berdua ngerebutin cewek kampungan yang bahkan nggak ada seksi-seksinya sama sekali?”
Kedua mata Marvin terpejam kuat, pun dengan kedua tangannya yang terkepal di sisi tubuhnya. Dia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan supaya emosi yang kini mengalir dalam tubuhnya bisa menghilang. Kemudian, Marvin menoleh dan langsung melangkah mendekati Inggit. Laki-laki itu menangkup wajah Inggit dengan kasar dan melumat bibir gadis itu dengan rakus. Awalnya, Inggit hanya bisa tersentak dan berusaha memberontak. Tetapi, permainan bibir Marvin pada bibirnya membuat Inggit terbuat dan akhirnya membuka mulutnya untuk membalas ciuman panas Marvin. Lima menit berlalu dan Marvin menghentikan ciumannya. Napas keduanya terengah, namun ada satu hal yang langsung membuat Inggit membeku di tempat.
Seringai Marvin terlihat sangat berbahaya!
“Lo boleh ngatain dia cewek kampungan tapi dia nggak akan pernah ngebiarin laki-laki buat nyium bibirnya sampai kehabisan napas kayak apa yang lo lakuin barusan.” Marvin mendengus dan mengusap bibirnya. Tidak peduli bahwa kini kedua mata Inggit mulai berkaca karena ulah dan ucapannya barusan. “Ciuman lo boleh juga. Not bad lah....” Marvin menarik napas panjang dan tersenyum sinis ke arah gadis yang terlihat sangat emosi di depannya itu. “Inget, gue nggak suka sama Valeria. NGGAK SUKA! Tapi, gue juga nggak suka kalau ada orang lain yang menghina dia di depan gue. Dia itu orang terpenting bagi Melvin. Dan Melvin penting buat gue. Jadi, kalau lo berani ngatain dia lagi, lo akan berakhir di tangan gue, Inggit....”
###
Pagi-pagi sekali, Valeria sudah berada di kampus. Gadis itu datang tepat pukul setengah enam pagi dengan diantar oleh Vincent, Kakak laki-lakinya. Vincent sebenarnya ingin bertemu dengan Nabila karena sudah sejak pertama kali bertemu dengan gadis berkerudung itu, dia menaruh hati pada sahabat adiknya tersebut. Kemarin saja, saat tiba-tiba Nabila datang ke rumah untuk mencari Valeria, Vincent mengucap syukur pada Tuhan karena sudah memberinya ide untuk bolos ngantor. Padahal, Valeria sudah mengatakan pada Vincent bahwa Nabila tidak mungkin sudah muncul di kampus pagi-pagi buta begini. Valeria sendiri sebenarnya ogah datang ke kampus sepagi ini. Namun, kalau bukan karena tugas yang harus dia kumpulkan sebelum pukul enam pagi oleh dosen paling menyebalkan di kampusnya, gadis itu pasti masih bermain di alam mimpi.
Disepanjang lorong kampus yang masih sangat sepi dan sunyi, Valeria merasa bulu romanya meremang. Beberapa kali gadis itu menoleh ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pembunuh bertopeng yang menguntitnya. Dia memang seperti itu, meskipun sifatnya terbilang tomboy. Walau bagaimanapun, Valeria tetaplah seorang perempuan, bukan?
Mendadak, Valeria merasa ingin buang air kecil. Gadis itu menggeram kesal dan berdecak jengkel. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Valeria melangkahkan kakinya menuju toilet. Lagi... bulu romanya kembali meremang. Kali ini diikuti hawa aneh yang membuatnya memasang sikap waspada. Sesampainya di depan toilet perempuan, Valeria menghentikan langkahnya dan tidak masuk kedalam toilet tersebut. Ada hal ganjil yang membuat rasa penasarannya membuncah.
Toilet perempuan dan laki-laki berhadapan. Di samping toilet perempuan, terdapat sebuah ruang yang bisa dikatakan sebagai gudang. Anehnya, pintu ruangan tersebut terbuka setengahnya. Perlahan, dengan jantung yang mulai berdegup kencang dan peluh yang mulai bermunculan, Valeria memberanikan diri mendekati ruangan tersebut. Di lantai ruangan tersebut, dia bisa melihat bayangan mencurigakan dari celah pintu yang terbuka sedikit. Tangannya yang gemetar memegang gagang pintu dan mendorongnya pelan hingga menimbulkan bunyi berdecit yang menakutkan.
Namun... tidak semenakutkan apa yang muncul di hadapannya.
“KYAAAAAAAA!!!”
Valeria menutup mulutnya dengan kedua tangan dan melangkah mundur. Karena tidak fokus dengan keadaan, gadis itu jatuh terduduk karena kakinya terantuk sesuatu. Matanya menatap nyalang dan ngeri pemandangan di depannya. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, Valeria bangkit berdiri dan memutar tubuhnya, bermaksud untuk berlari. Namun, tiba-tiba saja dia menabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Dia nyaris terjungkal ke belakang kalau saja sepasang lengan yang kokoh tidak menahan pinggangnya. Valeria mendongak dan mengucap syukur dalam hati ketika dia melihat siapa yang berada di depannya. Melvin.
“Val? Lo kenapa? Muka lo pucat banget. Lo sakit?” tanya Melvin dengan nada khawatir. Laki-laki itu memegang kedua pundak Valeria yang terasa gemetar di tangannya. Airmata mulai meluncur turun membasahi wajahnya yang mulus. Kemudian, dengan tangan yang bergetar hebat, Valeria menunjuk sesuatu di belakangnya. Melvin yang tidak mengerti hanya bisa mengikuti arah yang ditunjuk oleh Valeria dan detik berikutnya, tubuh laki-laki itu membeku.
Terdapat sosok laki-laki kurus dengan leher yang tergantung dan kedua mata yang terpejam.
Seorang mahasiswa sudah melakukan aksi bunuh diri!
###
Beberapa mobil polisi dan tim penyidik datang ke Universitas Pelita Harapan. Semua mahasiswa yang mulai berdatangan satu persatu saling berkasak-kusuk membicarakan tentang penemuan mayat seorang mahasiswa yang menggantung dirinya sendiri di sebuah ruangan mirip gudang di dekat toilet perempuan di lantai satu.
Valeria sudah sedikit tenang. Di sampingnya, Melvin setia menemani. Dia memang sengaja datang pagi-pagi ke kampus karena saat berniat menjemput Valeria di rumahnya, sang Bunda memberitahu bahwa Valeria sudah berangkat dengan Vincent. Langsung saja, Melvin menyuruh supirnya untuk mempercepat laju mobil agar segera sampai di kampus. Perasaannya mendadak tidak enak dan ternyata begitu dia turun dari mobil, dia bisa melihat Valeria di kejauhan sedang berjalan menuju toilet. Dia mengejar Valeria karena ingin meminta maaf kembali soal kejadian kemarin.
“Udah baikan?” tanya Melvin lembut. Laki-laki itu membenarkan letak kacamata tebalnya dan merangkul bahu gemetar Valeria. Gadis itu mengangguk dan masih memegang mug berisi teh hangat yang diberikan oleh petugas kebersihan atas perintah Melvin.
“Gue pikir korban pembunuhan. Soalnya kalau ada pembunuhan di kampus ini, gue berharap banget elo bakalan jadi korban.”
Suara bernada dingin dan tajam itu membuat Melvin dan Valeria menoleh. Valeria sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk berdebat dengan Marvin yang memang langsung datang saat ditelepon oleh Melvin, sedangkan Melvin sendiri menatap tajam kembarannya itu. Marvin hanya mendengus ditatap sedemikian rupa oleh Melvin dan mengalihkan tatapannya ke arah mayat yang baru saja berhasil diturunkan oleh tim penyidik. Kedua tangannya terlipat di depan d**a dan sebelah alisnya terangkat.
“Menurut identitas yang ada didalam dompetnya, laki-laki ini bernama Ichsan Alamsyah. Mahasiswa semester tiga jurusan sastra. Beberapa saksi yang berhasil dimintai keterangan mengenai korban, korban terlihat kemarin sore saat akan memasuki kelas. Tidak ada saksi yang melihat adanya keanehan pada diri korban sore itu.” Seorang polisi sedang melaporkan hasil penyelidikannya kepada atasannya yang hanya dibalas dengan anggukan kepala tegas.
“Nona,” panggil atasan polisi yang baru saja diberi laporan oleh anak buahnya beberapa saat yang lalu. Valeria mendongak, pun dengan Melvin. Sementara itu, Marvin menatap datar korban yang bernama Ichsan itu. Benar-benar malang nasibnya. “Terima kasih atas keterangan yang Nona berikan kepada tim kami beberapa saat yang lalu. Jika ada yang perlu kami tanyakan kembali, saya berharap Nona bisa memberikan keterangan tersebut.”
Valeria hanya mengangguk lesu dan tersenyum kecil. Gadis itu menatap kepergian pria berpakaian cokelat tersebut dengan tatapan datar. Kedua matanya kemudian menatap nyalang dan takut ketika jenazah korban yang bernama Ichsan itu dibawa pergi ke arah mobil ambulance yang sudah stay di depan kampus. Namun, ketakutan itu tiba-tiba menghilang seiring tangannya yang digenggam kuat oleh Melvin. Gadis itu menatap tangannya yang tenggelam didalam tangan besar Melvin, kemudian menatap wajah laki-laki itu. Ada perasaan hangat dan nyaman yang menjalar dalam hatinya. Seolah-olah Melvin sedang memberikan kekuatan yang dia punya untuk gadis itu.
“I’m here... you don’t have to worry about anything...,” ucap Melvin tegas sambil mengelus rambut Valeria dengan sebelah tangannya yang bebas. Laki-laki itu tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.
“Makasih, Vin,” balas Valeria tulus. “Makasih karena udah ada di samping gue.”
Melihat adegan ala telenovela itu membuat Marvin mencibir dan memasukkan kedua tangannya pada saku celana jeans-nya. Laki-laki itu menoleh dan mengerutkan kening ketika menatap Inggit yang berdiri dibalik pilar penyangga gedung kampus. Wajah gadis itu sedikit terlihat ketakutan. Kemudian, ketika tatapan matanya bertumbukan dengan mata Inggit, gadis itu terlihat sangat terkejut dan langsung berlari menjauhi tempatnya berdiri tadi tanpa menoleh ke belakang sama sekali.
“Inggit?” gumam Marvin dengan nada heran.
###
Ternyata, kegemparan yang ditimbulkan akibat kasus bunuh diri oleh seorang mahasiswa semester tiga bernama Ichsan Alamsyah membuat pihak kampus meliburkan para mahasiswanya. Melvin mengantar Valeria pulang dan menemani gadis itu sampai malam. Keduanya tertawa bersama karena Melvin berusaha mengalihkan pikiran Valeria dari peristiwa pagi tadi. Melvin seharusnya memanggil Valeria saat dia sudah melihat sosok gadis itu sehingga Valeria tidak perlu menemukan mayat Ichsan.
Sementara itu, Marvin sedang merenung didalam kamarnya. Laki-laki itu berbaring di atas kasur dengan sebelah lengan yang dijadikan alas kepalanya. Marvin menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Bayangan Inggit yang terlihat sangat ketakutan membuat Marvin frustasi.
Apakah gadis itu mengetahui sesuatu mengenai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Ichsan? Atau... gadis itu justru takut kepada ancamannya semalam?
Di tempat yang berbeda, didalam kegelapan malam, seseorang mulai memikirkan aksi yang akan dia lakukan selanjutnya. Aksi untuk menghabisi orang-orang yang tidak berdosa. Dalam hati, orang tersebut tertawa keras. Tawa yang begitu berbahaya. Tawa yang terdengar sangat misterius. Tidak berdosa? Mereka semua jelas berdosa!
Ditempa oleh cahaya rembulan yang merambat masuk melalui celah jendela kamarnya, orang tersebut mulai menyeringai licik. Ditatapnya lima foto yang terletak di atas meja belajarnya, dimana salah satu foto sudah diberi tanda silang berwarna merah dengan ukuran yang sangat besar. Oh ya... apakah gadis itu harus dia bunuh juga? Walau bagaimanapun, gadis itu sudah mengetahui perbuatannya. Ah... juga gadis yang menemukan si korban tadi pagi. Dia harus dihabisi juga. Sayang sekali, padahal kedua gadis itu begitu cantik dan manis.
“Kalian semua harus mati!” tekadnya keras seraya menggebrak meja belajarnya. Diambilnya salah satu foto yang sudah diberi tanda silang besar berwarna merah dan dirobeknya foto tersebut hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran dimana-mana.