Chapter 3-You Are Him But You Are Not

4012 Words
Sudah belasan kali Melvin menghubungi ponsel Valeria, namun gadis itu tidak menggubrisnya. Tersambung, memang, tetapi Melvin harus puas ketika hanya mendengar suara operator di akhir penantiannya. Dengan gusar, Melvin menaruh ponselnya di atas meja, nyaris melemparnya bahkan. Nabila yang duduk tak jauh dari tempat Melvin hanya bisa mendesah panjang dan memutuskan untuk mendekati laki-laki itu.             “Kenapa, Vin?” tanya Nabila seraya menarik kursi di hadapan Melvin dan menjatuhkan tubuhnya disana. Dia duduk bertopang dagu seraya menatap wajah laki-laki berkacamata tersebut. Sebenarnya, Melvin itu tampan menurut Nabila. Tidak jauh berbeda lah dengan Marvin karena mereka berdua memang kembar. Hanya saja, mungkin karena penampilan Melvin yang sedikit ‘kurang’, laki-laki itu hanya dianggap tak kasat mata oleh orang lain.             “Valeria, nih, Bil... gue teleponin dari tadi nggak dijawab terus.” Melvin menghembuskan napas keras dan berdecak jengkel. Kalau sedang gusar dan kesal seperti ini, Nabila merasa seperti melihat Marvin. Cara keduanya kalau kesal atau marah terlihat sama. “Ada, kali, gue neleponin Valeria lima belas kali dan hanya dijawab sama operator sinting itu di akhirannya. Heran... tuh operator nggak pegal kali, ya, mulutnya? Kuat banget ngomongin kalimat yang sama berulang-ulang!”             Tawa Nabila menyembur ketika mendengar rentetan gerutuan Melvin. Diliriknya laki-laki itu yang kini tengah membenarkan letak kacamatanya dan sedang mengetuk meja dengan jari-jari tangannya.             “Valeria udah gede, kali, Vin... nggak usah khawatir gitu, deh. Lagian, ini tuh di kampus. Nggak akan ada yang berani macam-macam, deh.” Nabila menarik napas panjang dan menepuk sebelah pundak Melvin. “Dia lagi butuh inspirasi.”             “Inspirasi? Untuk?”             “Bahan tulisan dia.” Nabila terkekeh geli. “Dia belum ngasih tau lo, ya? Valeria ikut lomba nulis cerpen di majalah. Nah, dia lagi butuh inspirasi buat bahan tulisannya nanti. Kalau kata gue, sih, dia juga sekalian nyari ilham buat ngerjain tugas kuliah yang harus dikumpulin besok lusa.”             “Tugas?”             “Iya.” Nabila mengangguk mantap. “Tugas yang bisa bikin orang waras mendadak sarap kalau ngerjainnya. Makanya, tadi itu sebenarnya kita lagi nyariin elo buat minta bantuan, sampai kemudian, si Valeria ngaku ngeliat elo dengan penampilan yang sama kayak kembaran lo dan lagi ngerokok. Ajaib, kan?”             Ucapan Nabila barusan hanya ditanggapi dengan senyuman kecil oleh Melvin. Dalam hati, laki-laki itu terus saja memanjatkan do’a supaya Valeria tidak mengetahui rahasianya sekarang. Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Dia tidak ingin kehilangan Valeria. Dia menyukai gadis itu. Dia menyayanginya. Sudah lama perasaan ini tumbuh, semenjak dia melihat gadis itu untuk yang pertama kalinya ketika membantu seorang mahasiswa dari keluarga kaya raya yang penampilannya bisa dibilang sama seperti penampilannya saat ini. Saat dia menyamar.             Melvin menarik napas panjang dan membuangnya keras. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan bersedekap. Kedua matanya menatap papan tulis di depannya dengan tatapan tajam dan menerawang. Sama sekali tidak memperdulikan keramaian didalam kelasnya yang sudah tercipta sejak lima belas menit yang lalu. Nabila sendiri sudah bangkit berdiri dan pergi ke salah satu kerumunan yang tercipta di sudut belakang kelas. Kini, tinggallah Melvin sendiri di deretan bangku paling depan. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan saat semua penyamaran dan rahasia ini terbongkar, lalu, Valeria akan langsung membencinya dan meninggalkannya begitu saja.             “Apa bisa, gue hidup tanpa dia di sisi gue?” gumam Melvin dan memejamkan kedua matanya. ### Ketika mobil Jazz warna biru tua itu berhenti dengan bunyi berdecit yang cukup keras, semua orang mengelus d**a karena terkejut dan menatap kendaraan tersebut dengan kening berkerut. Termasuk Marvin yang baru saja muncul di depan lobby kampus, setelah mendekam di ruang musik yang sudah tidak terpakai itu. Marvin menyandarkan sebelah bahunya di dinding dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Ingatannya akan pertemuannya dengan Valeria tadi kini menghilang, tergantikan dengan pemandangan di depannya yang sanggup membuat perhatian seluruh mahasiswa teralihkan ke arah mobil Jazz biru tersebut. Entah siapa yang mengemudikan kendaraan itu, Marvin tidak tahu pasti. Yang jelas, si pengemudi dengan santainya dan dengan seenak jidat hanya memarkir mobilnya begitu saja di depan pintu lobby, bukannya di pelataran parkir.             Begitu pintu pengemudi terbuka, semua mata—laki-laki tentunya—menatap ke arah gadis berpakaian seksi yang baru saja turun. Gadis itu mengibaskan rambut panjangnya ke belakang dan tersenyum menggoda. Dia memakai rok pendek di atas lutut yang dipadu dengan kemeja tanpa lengan dan memiliki kerah berenda dengan bentuk huruf V. Kulit putih mulusnya terekspos dengan jelas, hingga membuat para laki-laki menelan ludah susah payah. Bibir sensualnya benar-benar menggoda iman dengan warna kemerahan. High heels yang dikenakannya memperlihatkan kedua kakinya yang jenjang. Jika disuruh memberi nilai dari satu sampai sepuluh, para laki-laki itu pasti akan memberi nilai seratus. (Oke, ini memang aneh ._.v)             Melihat gadis tersebut, Marvin langsung membelalakkan matanya. Laki-laki itu menyipitkan mata, berusaha untuk mencari tahu apakah gadis itu memanglah Inggit Gina Desita atau bukan. Gadis yang selama ini selalu datang ke rumah mereka. Selama tiga tahun berturut-turut. Mulai dari kelas satu SMA hingga kelas tiga. Kemudian, Marvin tidak pernah mendengar lagi kabar mengenai Inggit setelah selesai ujian nasional. Menurut salah satu temannya, gadis itu pergi ke Amerika untuk berlibur dan berencana akan melanjutkan kuliahnya disana.             Tapi... sekarang...?             Marvin menelan ludah susah payah. Gadis itu memanglah Inggit! Tidak salah lagi! Keseksian tubuh gadis itu bahkan tidak berubah sama sekali. Bahkan semakin menggiurkan! Ketika Inggit tidak sengaja menoleh dan bertemu mata dengannya, Marvin langsung mengumpat dan memutar tubuhnya, bersiap untuk berlari.             “MARVIIIIIIIIIN!!!” teriak gadis itu dengan suara cemprengnya yang khas. Ya Tuhan... bahkan cara Inggit berteriak pun masih sama seperti dulu!             “Mampus! Singa betina-nya Melvin kenapa bisa nongol di kampus?!” seru Marvin kesal sambil mempercepat laju larinya. Bukan hanya kesal karena kini Inggit berlari mengejarnya, melainkan juga karena gadis itu bisa membedakan mana dirinya dan mana Melvin, entah bagaimana caranya. ### Saat Melvin akan keluar dari dalam kelas untuk mencari keberadaan Valeria karena dia tidak tahan lagi memendam kecemasan akan gadis itu, dia tersentak. Sebelah tangannya bahkan masih memegang gagang pintu kelas ketika Valeria tiba-tiba saja sudah muncul tepat di depannya. Gadis itu terlihat mengerjapkan kedua matanya lalu mulai tersenyum. Senyuman yang terlihat berbeda di kedua mata Melvin. Laki-laki itu memiringkan kepalanya dan mengangkat satu alisnya.             “Darimana, Val?” tanya Melvin dengan nada suara yang terdengar sangat cemas. Tanpa ada niat untuk ditutup-tutupi sama sekali oleh laki-laki itu. Ditatapnya Valeria dari ujung rambut hingga ujung kaki, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. “Lo nggak apa-apa, kan?”             Valeria mengangguk dan menghela napas panjang. Hal aneh kedua yang ditangkap oleh Melvin pada diri gadis itu. Biasanya, Valeria akan menghela napas kalau gadis itu sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya pusing. Ah, mungkin yang dikatakan oleh Nabila tadi memang benar. Valeria sedang berusaha mencari inspirasi untuk lomba menulis cerpen yang diikutinya dan mencari ilham untuk tugas yang harus dikumpulkan besok lusa, namun gadis itu tidak menemukan titik terang.             “Val... kenapa muka lo kusut gitu? Nanti cantiknya hilang, loh,” ucap Melvin sambil membenarkan letak kacamatanya dan entah setan mana yang merasukinya, Melvin membungkuk sedikit untuk mencium pipi Valeria.             Mendapat ciuman mendadak pada pipinya, Valeria langsung mendongak dan menatap Melvin tepat di manik mata. Gadis itu membeku dan berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba saja meliar. Melvin tersenyum sangat lembut di depannya. Rasa panas itu mulai menjalar pada wajahnya dan Valeria sangat yakin bahwa detik ini, kedua pipinya pasti mulai merona merah.             “Kok lo nyium pipi gue, Vin?” tanya Valeria dengan nada gugup. Sebelah tangannya terangkat ke arah pipi yang dicium oleh Melvin barusan. Melvin sendiri masih tersenyum dengan sangat lembutnya dan mengacak rambut Valeria dengan gemas.             “Udah lama sebenarnya gue mau nyium pipi lo itu. Soalnya, lo selalu bikin gue cemas dan bikin gue khawatir akan keadaan lo.” Melvin menarik napas panjang dan menangkup wajah Valeria dengan kedua tangannya yang besar. Wajah gadis itu tenggelam didalam kedua tangan Melvin. Bahkan, Valeria tidak sempat menurunkan tangannya yang memegang pipinya tadi, hingga kini, sebelah tangan Melvin justru memegang tangannya yang mulai dingin. Melvin benar-benar tidak mengasihani jantung Valeria yang mulai ‘sakit’ karena ulahnya ini.             “A... apa hubungannya?” cicit Valeria pelan. Ugh! Benar-benar mirip tikus kejepit!             “Nggak ada hubungannya, ya?” tanya Melvin sambil tertawa renyah. Tawa yang sanggup membuat Valeria semakin menahan napas. Tuhan... kenapa Melvin terlihat sangat... tampan? Padahal penampilan laki-laki itu sendiri terlihat sangat jauh dari kata keren maupun modis. “Kalau gitu, anggap aja tadi itu emang keinginan gue.”             “Vin...,” panggil Valeria pelan. Gadis itu merasa dia harus menanyakan perihal kejadian semalam. Apakah memang Melvin yang menolongnya? Kalau iya, kenapa laki-laki itu harus berpura-pura menjadi Marvin? Kenapa laki-laki itu harus berpenampilan seperti Marvin? Apa Melvin mulai mencoba merubah penampilannya agar bisa diterima oleh teman-teman yang lain?             “Ya?”             “Sebenarnya... yang tadi malam itu....”             Belum sempat Valeria menyelesaikan kalimatnya, terdengar sebuah seruan dan disusul oleh teriakan seorang gadis. Melvin menurunkan kedua tangannya dan saat itulah, Valeria baru bisa bernapas dengan lega. Keduanya menoleh dan mengerutkan kening ketika melihat Marvin yang sedang berlari kencang ke arah mereka, seperti sedang dikejar oleh setan. Kemudian, Marvin langsung menghentikan laju kedua kakinya sekuat mungkin agar tidak menabrak Valeria yang berdiri di depannya, namun gagal total. Ditabraknya Valeria tanpa ampun hingga gadis itu menjerit keras. Tubuh Valeria kontan limbung ke belakang, namun dengan sigap, sebelah lengan Melvin menopang pinggang gadis itu.             Ternyata... tidak cukup ampuh. Marvin menabrak tubuh Valeria terlalu keras, hingga ketika Melvin berusaha menahan tubuh Valeria, hal itu tidak berjalan dengan mulus. Akibatnya, ketiganya jatuh secara bersamaan ke atas lantai dengan posisi Valeria berada di bawah Melvin dan Marvin! Dengan sigap pula, Melvin dan Marvin langsung meletakkan sebelah tangan mereka ke belakang kepala Valeria agar kepala gadis itu tidak membentur kerasnya lantai kampus.             “Ya ampuuuuun! Marvin! Kenapa harus lari-larian segala, sih?” tanya Inggit seraya mengerem kedua kakinya. Gadis itu tidak ingin ikut-ikutan jatuh ke atas lantai. Nggak banget, deh! “Lo ngeliat cewek cantik bukannya didekatin, malah ditinggal kabur! Jahat deh, lo! Oh iya... my honey bunny sweety Melvin, mana? Gue kangen sama dia, mau ketemuuuu!!!”             Tidak ada satupun diantara ketiga orang yang kini terkapar di atas lantai mendengarkan ocehan Inggit. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berada didalam kelas dan mendengar keributan tersebut langsung keluar dari dalam kelas dan terperangah. Kini, Melvin dan Marvin menarik tangan mereka dengan pelan dari belakang kepala Valeria setelah yakin bahwa gadis itu bak-baik saja. Kemudian, Melvin membalikkan tubuhnya ke kanan, pun dengan Marvin yang membalikkan tubuh ke kiri. Kedua laki-laki itu menghembuskan napas panjang dan menatap semua orang sambil nyengir lebar.             “Val? Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Melvin khawatir sambil menoleh ke arah Valeria. Gadis itu hanya diam. Kedua matanya terlihat sangat... terkejut? Melvin langsung bangkit dari posisinya yang telentang dan duduk sambil menatap Valeria. Sementara itu, di samping Valeria, Marvin masih telentang dan melirik gadis galak tersebut sekilas. Valeria tampak sedang menutup mulutnya dengan kedua tangan.             “Val? Are you okay? Ada yang sakit, ya?” tanya Melvin lagi.             Valeria hanya menggeleng tanpa sadar. Bagaimana bisa dia tersadar kalau saat dia hampir terjungkal ke belakang tadi salah satu dari kedua kembar tersebut mencium... bibirnya?! Dan sialnya, Valeria tidak mengetahui siapa oknum yang sudah mencuri kesempatan untuk mencium bibirnya itu karena kedua matanya terpejam kuat! ### Keempatnya kini berada di sebuah lembaga milik organisasi kampus. Kebetulan, Marvin kenal dengan ketua organisasi kampus ini sehingga dia meminta izin kepada orang tersebut—Benzo—untuk meminjamkan lembaganya sebentar. Untungnya, organisasi baru akan berkumpul sore nanti, sehingga Benzo bisa meminjamkan lembaga tersebut kepada Marvin yang katanya ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Melvin, Valeria dan seorang gadis yang baru dilihatnya.             Didalam lembaga tersebut, Valeria masih saja membisu, sementara Marvin mondar-mandir kayak setrikaan rusak. Melvin mengetuk meja di depannya dengan jari telunjuk dan Inggit duduk di samping laki-laki itu sambil tak henti-hentinya tersenyum. Gadis itu memegang lengan Melvin dengan manja dan menyandarkan kepalanya di lengan kokoh laki-laki itu. Sesekali, Valeria melirik ke arah Melvin yang sedang melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu.             Kenapa dia diam saja, sih, sementara di lengannya bergelayut manja seorang gadis menyeramkan berdada besar?! Gerutu Valeria didalam hati dan tanpa sadar, gadis itu mendengus. Membuat Marvin yang berjalan mondar-mandir di depannya berhenti dan menatap Valeria dengan kening berkerut.             “Apa lo liat-liat?!” semprot Valeria langsung begitu sadar bahwa Marvin kini menatapnya. Marvin langsung melompat ke belakang dan mengelus dadanya. Kaget.             “Buset, dah, nih cewek... lo lahir tahun berapa, sih? Tahunnya pas gajah-gajah besar itu masih belum punah, ya?” Marvin melotot mengerikan yang hanya dibalas dengan acungan kepalan tangan mungil milik Valeria.             Tanpa kentara, Inggit meneliti keseluruhan fisik Valeria. Harus dia akui, Valeria gadis yang menarik dan cantik, meskipun terkesan tomboy. Dia jadi teringat ucapan Marvin barusan saat akan berjalan menuju lembaga ini. Kebetulan, Melvin berjalan di depan bersama gadis yang bernama Valeria itu, sementara saat dirinya akan menyusul Melvin, Marvin langsung menarik lengannya dan menahan tubuhnya agar berjalan di sampingnya.             Dengar! Melvin lagi nyamar jadi cowok cupu dan culun di kampus. Jangan pernah lo sekali-sekali ngebocorin hal ini kepada semua orang, termasuk gadis galak bernama Valeria itu. Kalau sampai hal ini bocor, jangan salahin gue kalau Melvin bakalan langsung membenci lo!             Hal yang tidak dimengerti oleh Inggit adalah, kenapa Melvin-nya yang tampan, keren, modis, selalu digilai para gadis harus berpura-pura berpenampilan seperti sekarang ini? Benar-benar menyedihkan! Rambut yang ditata sedemikian rupa, seperti tidak pernah dicuci setiap harinya, kacamata tebal, kemeja yang dikancing sampai leher dan dimasukan kedalam celana bahan. Belum lagi ikat pinggang yang menyatu ke bahunya. Ya ampun! Ini, sih, benar-benar penurunan derajat!             Apa... demi gadis bernama Valeria itu? Kalaupun iya, untuk apa? Memikatnya? Berarti... selera dan tipe laki-laki yang dicari oleh Valeria itu... model-model seperti ini?             “Hai...,” sapa Inggit dibuat semanis mungkin. Sementara itu, lengannya semakin menguat pada lengan Melvin, membuat laki-laki itu berdecak jengkel dan berusaha melepaskan diri, namun tidak bisa. Dia menatap Marvin dan meminta bantuan, namun Marvin dengan tatapan gelinya menolak.             Gue nggak mau ikut-ikutan kalau menyangkut singa betina lo itu, deh... kira-kira, itulah makna tersirat dari tatapan mata Marvin.             “Nama gue Inggit Gina Desita. Tapi, panggil aja gue Inggit.” Gadis itu semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Melvin. Bahkan, Melvin sempat bergidik ketika merasakan sebuah tonjolan yang kenyal melekat pada lengannya yang kokoh. Membuatnya semakin risih dan dengan sangat terpaksa mendorong kepala Inggit menggunakan jari telunjuknya dengan pelan supaya tubuh gadis itu sedikit menjauh. “Kalau lo?”             “Valeria,” jawab Valeria malas. Kedua matanya menatap Inggit dengan tatapan kesal dan Marvin yang berada tepat di depannya bisa melihat jelas akan hal itu. Laki-laki itu bersedekap dan mengangkat satu alisnya. Dia rasanya ingin tertawa ketika melihat tatapan membunuh yang dilayangkan oleh Valeria kepada Inggit. Astaga! Apa mungkin, gadis galak itu mulai menyukai kembarannya? “Valeria Fransesca.”             “Teman Melvin, kan?”             “Menurut lo?”             “Kayaknya sih, gitu....” Inggit manggut-manggut dan semakin tersenyum lebar. Tak lupa, semakin menggelayut manja pada lengan Melvin. Melvin sendiri sepertinya sudah menyerah menghadapi sikap Inggit yang menyebalkan ini. Dia akhirnya memilih diam, mengalihkan wajah ke arah lain sambil menopang dagunya dengan satu tangan. “Gue senang ada orang yang berteman sama Melvin dan nggak melihat penampilan luarnya aja. Meskipun penampilannya kayak begini, tapi hatinya baik. Nggak kayak kembarannya yang....”             “Gue lempar balik ke neraka lo, nenek sihir!” Marvin langsung melotot ganas dan membuat Inggit dengan manja menyembunyikan wajahnya dibalik lengan Melvin.             “Lagian lo ngapain sih, bawa kita semua ke lembaga?” tanya Melvin. Untuk yang pertama kalinya dia bersuara. Laki-laki itu melirik Valeria yang hanya mendengus lalu membuang muka.             Ada apa dengan gadis itu?             “Yaa... nggak ngapa-ngapain, sih... lo nggak liat tadi, kita berempat udah kayak artis yang ketahuan kuliah disini? Semuanya natap kita nggak berkedip, tau! Udah mana mulutnya pada mangap semua lagi.” Marvin nyengir kuda dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara.             “Val!”             Seruan Melvin itu membuat Valeria yang baru saja bangkit dari duduknya dan berniat untuk meninggalkan lembaga itu menoleh. Gadis itu mengangkat satu alisnya dan menatap kesal ke arah Melvin juga Inggit. Melvin sendiri yang tidak tahu letak kesalahannya dimana sehingga gadis itu bersikap dingin seperti ini membuatnya mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.             “Apaan?” tanya Valeria ketus. Mendengar nada ketus itu, refleks, Marvin langsung bergerak mundur dan menjauhi Valeria.             “Manusia zaman purba lagi marah,” celanya tanpa perasaan, lalu langsung berkelit sebisanya ketika Valeria dengan ganasnya melempar buku-buku yang ada di atas meja.             “Kata Nabila, ada tugas yang harus dikumpulin besok lusa,” ucap Melvin lembut. Seolah tidak peduli dengan kemarahan yang dikeluarkan tanpa sebab oleh gadis itu. “Gimana kalau lo ke rumah gue sekarang? Kita kerjain tugasnya bareng-bareng. Kebetulan, gue juga belum tau, kan, tugasnya apaan... soalnya, lo tau sendiri kalau tadi pagi pas kelas pertama gue nggak hadir.”             Jeda beberapa saat. Valeria sebenarnya ingin menolak dan ingin langsung pulang ke rumah saja. Hatinya rasanya sangat panas sehingga ingin melempari gadis yang bernama Inggit itu dengan vas bunga atau semacamnya. Manja banget! Centil! Ganjen! Nyebelin! Ngeselin! Genit! Gak tau diri!             Cemburu ya?             DEG!             Gue nggak cemburu! Gue cuma nggak sudi kalau teman terbaik gue deket-deket sama nenek lampir itu!             Masa? Ketahuan, kali... lo itu sebenarnya cemburu, kan? Lo mulai suka sama Melvin, kan?             Gue sama dia cuma temenan! Gue hanya nggak mau teman gue dapat cewek berdada besar kayak dia!             Ya elah... apa salahnya, sih, kalau lo tinggal ngaku lo cemburu? Buktinya, tadi pas dicium sama dia di pipi waktu di depan pintu kelas, lo deg-degan, kan? Lo nahan napas, kan? Itu artinya, lo suka sama dia....             Gue nggak suka!             Suka!             Nggak!             Suka!             Nggak!             “DIAAAAAAAM!!!” jerit Valeria kencang. Gadis itu menutup kedua telinganya dan terengah-engah. Kemudian, seakan baru tersadar, Valeria langsung membeku. Melvin, Marvin dan Inggit sedang menatapnya dengan tatapan aneh. Kedua mata mereka bertiga bahkan beberapa kali mengerjap. Langsung saja, Valeria berdeham keras untuk mencairkan suasana yang mulai terasa aneh tersebut dan langsung merutuki dirinya sendiri. Dasar setan dan malaikat nggak tahu diri! Seenak dengkul aja berdebat didalam pikirannya.             “Oke,” jawab Valeria mantap. “Kita ke rumah lo kapan? Sekarang?”             Dan untuk sementara, pertanyaan yang berkecamuk di kepala Valeria mengenai siapa sebenarnya yang sudah menolongnya semalam, terlupakan. ### Rumah besar yang dihuni oleh Melvin dan Marvin nampak sepi. Valeria memandangi arsitektur bangunan tersebut dengan kekaguman yang begitu besar. Pagar hitam yang menjulang tinggi, halaman luas yang diberi patung seorang wanita sedang menumpahkan air dari dalam kendi yang dipegangnya, garasi yang memperlihatkan empat mobil mewah dan dua motor Ninja berwarna hitam dan merah serta sebuah lapangan basket mini yang berada di samping rumah. Tanpa sadar, decak kagum itupun keluar dari bibir Valeria.             Tadi, Valeria menumpang mobil Alphard Melvin. Sebenarnya, Inggit juga ingin ikut naik kedalam mobil tersebut, namun dengan santainya, Marvin mengingatkan Inggit akan mobil Jazz yang dibawa gadis itu ke kampus. Sambil menahan emosi, Inggit menatap Valeria tepat di manik mata dan mendengus. Cih... dikiranya, Valeria takut apa? Tidak sama sekali!             “Oom sama Tante kemana Vin?” tanya Inggit. Lagi-lagi dengan nada manja yang sangat memuakkan di kedua telinga Valeria. Belum lagi si ganjen satu itu dengan santainya kembali menggelayut manja di lengan Melvin.             Sungguh, Valeria sebenarnya sangat senang apabila ada orang lain yang melihat Melvin tidak hanya dari penampilan luarnya saja. Tapi, bukan model seperti Inggit juga! Ckckckck! Valeria jadi bertanya-tanya sendiri didalam hatinya, berapa derajat kah suhu di Indonesia saat ini? Kok rasanya panas banget!             “Lagi ke luar negri. Ngurusin perusahaan disana,” jawab Marvin. Ah... Valeria lupa sama si kupret satu itu. Marvin seharusnya masih ada kelas setelah ini, itu juga kata Kiki, teman Marvin yang tidak sengaja bertemu dengan mereka di lobby kampus. Namun, Marvin hanya mengibaskan sebelah tangannya dan berkata sedang malas mengikuti kuliah.             Dasar laki-laki menyebalkan!             “Gue nanya Melvin, bukan nanya lo, Mar!” sungut Inggit.             “Ya elah... gue atau Melvin yang jawab nggak ada masalah, kali. Orangtua dia ya orangtua gue juga, kan?”             Inggit hanya mendengus dan berdecak sebal. Gadis itu langsung duduk di sofa ruang tamu, diikuti oleh Valeria. Sementara itu, si kembar naik ke lantai dua dengan cepat. Setengah berlari, malah. Hal yang membuat Valeria langsung mengerutkan kening dan menyipitkan kedua matanya.             “Jadi... lo ada hubungan apa sama Melvin?”             Pertanyaan bernada datar dan tidak suka itu membuat perhatian Valeria teralihkan. Kini, dia menatap Inggit yang sedang melipat kedua tangannya di depan d**a dan memandangi dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.             Ohohoho... sifat asli si nenek sihir mulai keluar!             “Apa urusannya sama lo? Gue temannya atau pacarnya, nggak ngaruh sama sekali, kan, sama lo?”             “Jelas ada!” Inggit menyentuh bahu kanan Valeria dengan telunjuknya yang langsung ditepis dengan kasar oleh gadis itu. “Gue... suka sama Melvin. Sejak SMA. Jadi, jangan pernah jadi parasit, oke?”             “Emangnya Melvin suka sama lo?” balas Valeria dengan nada mengejek yang terdengar sangat jelas. Senyum sinisnya mulai terukir di bibir mungilnya. “Dia nggak suka tipe cewek dengan d**a besar bak loyang kayak lo, Nggit!”             “Apa lo bilang?!” seru Inggit mulai emosi. Gadis itu bangkit dari duduknya, diikuti oleh Valeria. Keduanya kini berdiri berhadapan. Yang satu menatap dengan tatapan membunuh sedangkan yang satu lagi menatap dengan tatapan mengejek.             “d**a loyang.” Valeria menunjuk d**a Inggit dengan jari telunjuknya. “Tuh... besarnya kayak loyang, kan?”             “Sialan!” desis Inggit emosi. “Dasar gadis berdada rata!”             “WHAT DID YOU SAY?!”             “YOU’VE HEARD IT!”             Tanpa basa-basi, Inggit langsung melayangkan aksi jambak rambut miliknya. Dimana-mana, perempuan kayaknya kalau berantem langsung main jambak rambut, kali, ya?             Tidak terima dengan perlakuan Inggit, Valeria balas menyerang. Gadis itu juga menjambak rambut Inggit. Kemudian, aksi cakar-cakaran pun dimulai. Mereka berdua menjambak, mencakar, mendorong, bahkan Inggit sempat menampar pipi Valeria. Untungnya tidak cukup kencang.             “BUSET DAH! CEWEK ZAMAN PURBA KETEMU NENEK SIHIR BEGINI, NIH!” teriak Marvin dari arah tangga. Dia yang sedang berdiskusi dengan Melvin di lantai dua langsung berlari ke bawah saat mendengar suara ribut-ribut. Langsung saja, Marvin juga Melvin menghampiri Inggit dan Valeria yang penampilannya sudah sangat acak-acakkan namun tetap melanjutkan perkelahian maut mereka.             “Dasar cewek nggak tau diri!” seru Inggit kesal.             “Elo yang nggak tau diri, cewek gila!”             Melvin mencoba menahan Inggit, sementara Marvin menahan Valeria. Sial bagi Marvin karena tanpa sengaja, Valeria justru menampar pipi laki-laki itu. Marvin langsung terdiam dan shock karena tamparan Valeria barusan. Melihat itu, Melvin yang sudah mulai kewalahan menjauhkan Inggit dari Valeria berdecak kesal.             “Marvin Radityan! Malah bengong, lagi! Tahan si Val!”             Diteriaki seperti itu, Marvin langsung tersadar kembali. Bukannya dia nggak pernah ditampar sama perempuan. Nggak usah dihitung, deh, berapa banyak tamparan yang dia terima dari para perempuan yang menjadi korban ke-playboy-annya dia. Tapi... ini Valeria yang menamparnya! Pertama kali dia membenci gadis itu karena Valeria menamparnya dulu sekali. Saat gadis itu membantu seorang mahasiswa yang sedang dia maki-maki. Dan ini yang kedua kalinya.             ME-NYE-BAL-KAN!             Perkelahian kelas ikan teri itupun akhirnya bisa dilerai. Melvin langsung menyeret Inggit yang masih berteriak kencang memaki Valeria keluar dari rumahnya. Sementara itu, Marvin berdiri berkacak pinggang, menundukkan kepala dan menarik napas panjang. Capek, gila! Perempuan, tuh, ya... kalau udah marah, benar-benar mengerikan! Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, Marvin langsung memelototi Valeria yang penampilannya sangat berantakan. Rambut acak-acakkan, baju kusut, sebelah pipinya bahkan memerah. Dia habis ditampar Inggit, kali, ya? batin Marvin.             “Elo, ya! Ini kedua kalinya lo nampar gue!” gerutu Marvin sambil mendengus. Dia ingin melanjutkan aksi mengomelnya, ketika tiba-tiba, Valeria mulai terisak dan langsung menangis dengan suara yang agak keras! Otomatis, Marvin jadi terkejut dan kelimpungan.             “Loh... loh... loh... Val? Lo, kok, nangis?” tanya Marvin panik. Laki-laki itu maju mendekati Valeria yang masih menangis kencang. Ini cewek, udah kuliah tapi nangisnya kayak anak umur lima tahun, deh!             Valeria tiba-tiba berhenti terisak dan menatap Marvin dengan tatapan tajam. Ingatan akan ciuman di depan kelas tadi—yang ngomong-ngomong, Valeria sama sekali tidak tahu siapa yang menciumnya diantara Melvin atau Marvin—mulai menyeruak keluar. Dia harus mendapatkan jawabannya sekarang. Sebodo amat kalau malu. Malu itu urusan belakangan! Yang jelas, dia harus mendapatkan kepastian. Karena... ini ciuman pertamanya!             “Marvin...,” panggil Valeria dengan nada dan tampang yang horror.             “I... ya...?” Marvin menyahut ragu dan mulai mundur ke belakang seiring dengan Valeria yang meringsek maju.             “Gue mau tanya dan lo harus jawab yang jujur!” tegas Valeria. Marvin hanya bisa mengangguk ragu dan tetap mundur ke belakang. “Siapa yang... HUAAAAAAA!!!”             Tanpa disangka, kaki Valeria menginjak sebuah kertas yang dengan seenaknya saja berbaring di atas lantai. Gadis itu kehilangan keseimbangan tubuhnya dan refleks menarik baju yang dikenakan oleh Marvin. Keduanya berteriak dan kini berhasil jatuh di atas lantai dengan sukses, setelah sebelumnya Marvin langsung menaruh sebelah tangannya di belakang kepala gadis itu. Posisi keduanya benar-benar akan membuat para gadis yang mengejar-ngejar Marvin iri setengah mati pada Valeria, dimana Valeria berada tepat di bawah tubuh Marvin. Tubuh Marvin sebenarnya tidak sepenuhnya jatuh menimpa Valeria karena sebelah tangannya yang bebas menahan beban tubuhnya dengan cara berpijak pada lantai.             Keduanya saling bertatapan. Dan satu hal yang tidak dimengerti oleh Marvin adalah, ketika dia merasakan sesuatu yang aneh menyusup dalam dadanya saat kedua mata Valeria mengunci tatapan matanya dan seakan memaksa masuk menembus dunianya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD