Dimana Kamu Tari?

1202 Words
POV Langit Tubuhku gemetaran ketika kain berwarna putih itu harus kubuka. Netra ini sudah basah oleh air akibat penyesalan. Penyesalan yang tak berujung. Dadaku rasanya sesak mengingat kebersamaan kami selama tiga tahun haruskah berakhir seperti ini. Aku yang salah dan akulah penyebab kematian Tari. "Cepat buka!" teriak Ibu Tari yang sudah tak sabar melihat wajah putrinya. "Aku ... Aku ...." Aku tergugu gemetaran tak bisa melihat dia terbaring kaku. Mereka semua gemas melihat kelakuanku. Akhirnya Halim menggeser diriku secara kasar hingga aku tersentak. Ku balikkan wajahku karena tak akan sanggup membuka dan melihat jenazah wanita itu. Halim membuka penutup kain yang menutupi wajah Tari. "Ini bukan Tari," kata Ibunya melihat wanita itu dengan seksama. Aku terkaget dan segera melihat wanita yang terbaring itu. Ku perhatikan dengan seksama dan benar saja wanita itu bukan Tari. "Dia bukan Tari," kataku merasa lega, begitupun dengan keluarga Tari. Mereka merasa lebih tenang karena jasad wanita itu bukanlah Mentari. Namun, ketika ku alihkan pandangan pada Ibuku dan Mira, mereka justru mencibir tak suka. "Mana mungkin, pasti salah. Jelas-jelas pakaiannya milik Tari. Pasti petugas salah memberi jasad!" kata Ibu dengan wajah tak senang. Ibunya Tari meradang. "Mertua macam apa kamu, jadi kamu mau anak saya mati!" "Heh, jangan bicara sembarangan ya. Kenyataan kalau anakmu mati bunuh diri!" balas Ibu dengan wajah ditekuk. "Ibu, ibu kenapa? Bukankah bagus kalau jasad ini bukan Tari. Apa benar seperti dugaan keluarga Tari kalau Ibu ingin Tari tiada?" tanya ku dengan heran melihat sikap Ibu. "Langit, kamu maksud apa bicara begitu? Kamu udah nuduh Ibu yang bukan-bukan!" kata Ibuku dengan wajah ketus. Sejurus kemudian datanglah petugas yang geram dengan pertikaian kami. "Ada apa ini? Kenapa kalian malah ribut-ribut didepan mayat. Jadi bagaimana kalau ingin mengambil jasad ini silahkan urus administrasinya!" kata petugas itu dengan wajah datarnya. "Maaf, Pak. Apakah anda salah memberi jasad? Dia bukan Mentari. Di mana jasad Tari yang sebenarnya?" tanya Ibuku dengan penasaran. Petugas itu mengernyitkan dahinya merasa heran karena dia sama sekali tidak merasa salah memberi jasad. "Tidak, karena hari itu yang datang hanya jasad ini. Jasad wanita yang viral itu, 'kan? Selain itu tidak ada jasad wanita. Yang ada jasad pria dan anak-anak," kata petugas itu. "Artinya anak saya masih hidup, Pak. Karena ini bukanlah anak saya," ucap Ibunya Tari. Wajah petugas itu menjadi bingung. "Saya gak tahu. Tetapi bila kalian bilang kalau ini bukan keluarga kalian. Artinya jasad ini tidak jadi diserahkan pada kalian," kata petugas itu lagi. "Baiklah Pak, terima kasih," ucapku mengakhiri. Petugas itu pun menyuruh kami keluar setelah memastikan kalau jasad itu bukan Mentari. "Langit, di mana Tari. Di mana anak saya?" tanya Bu Rita Ibunya Tari mengguncang tubuhku saat kami sudah berada diluar ruangan. Aku tak melawan seakan pasrah karena akupun gak tahu dimana istriku kini. "Saya gak tahu, Bu," lirihku dengan suara parau. "Bagaimana bisa gak tahu, kamu ke manakan adikku?" Kali ini Halim menimpali. "Udah gak usah ribut dan salahin anak saya. Tari sudah dicerai Langit. Kami kira dia pulang ke rumah kalian!" kata Ibuku dengan cibiran nya. Bu Rita semakin meradang. "Apa maksudmu, Langit? Apa salah Tari dan mengapa dia tak pulang ke rumahnya saya saat kamu menyakitinya? Huhuhu .... Nyesal aku kawinkan dia sama kamu. Padahal dulu ada juragan tanah kaya raya yang mau sama dia." Ibu Rita histeris. Aku merasa bersalah sekali. Tari dulu memang pernah cerita kalau dia mau dijadikan istri ketiga oleh juragan tanah atas desakan Ibunya. Oh Tuhan, sampai se-pelik ini masalah yang ku hadapi. Aku tak tahu kalau Tari menanggung sendiri penderitaannya. Suami apa diriku ini? "Maafkan aku, Bu. Bang Halim. Aku tahu sangat salah sebagai suami. Aku berjanji akan mencari Tari sampai ketemu dan kita akan berkumpul lagi dengannya," kataku dengan suara bergetar. Bang Halim sudah kalap dan kerah bajuku diambilnya. "Laki-laki b******k! Kamu pikir adikku boneka mu. Suka disayang tak suka ditendang!" ucapnya marah. "Heh, jangan sakiti anak saya. Salahkan si Tari kenapa dia jadi perempuan mandul. Makanya dicerai sama anak saya!" ucap Ibuku lagi yang kembali menyulut emosi mereka. "Awas kalian kalau anakku kenapa napa. Lihat pembalasannya." Bu Rita mengancam kami dengan mata berkilat amarah. ** "Heh, Bro kenapa muke lu ditekuk terus?" tanya Raka teman satu pekerjaanku. Aku adalah kepala bagian marketing disebuah perusahaan. Dan Raka sendiri kepala bagian di bidang keuangan. Kami duduk disalah satu kafe untuk beristirahat. "Istriku, dia ...." Ku hentikan bicaraku karena aku bingung mau berbicara apa. "Istri lu ngulah lagi?" tanya Raka lagi. Aku melihatnya heran. Bagaimana bisa Raka yang sama denganku punya hubungan yang harmonis dengan istrinya sementara aku selalu dirundung masalah dengan Tari? "Aku bingung, Raka. Aku menceraikan dia atas desakan Ibu kalau dia mandul dan dia hanya orang lain untukku. Sejenak aku berpikir ada benarnya juga karena Tari hanya di rumah dan tak bekerja apa-apa. Namun, setelah ku cerai dia seakan semua dikatakan Ibu adalah bohong," ucapku kesal. Aku kesal dengan diriku sendiri. "Sudah berapa kali aku bilang kalau mertua dan menantu tidak bisa tinggal dalam satu atap. Kenapa kamu gak pernah mau membangun rumah tangga sendiri dan mandiri tanpa diatur Ibumu?" tanya Raka menimpali. Ku tatap wajahnya yang terlihat serius. "Aku tak bisa pergi karena Ibu melarang. Dia berkata kalau lebih baik uangnya buat ditabung dan bayar sekolah adikku. Sejak ayahku meninggal, akulah tulang punggung keluarga. Apalagi Mira sudah dicerai suaminya karena suaminya malas kerja dan selingkuh. Aku yang harus biayain juga anak dari adikku," balasku dengan desahan. "Terus, bagaimana nasib istrimu? Maksudku bagaimana kamu membagi uang buat istrimu?" "Uang belanja dipegang Ibu karena kami tinggal dirumahnya. Setengah kuberikan pada Ibuku dan sebagian ku simpan buat tabungan. Sementara Tari hanya aku beri seratus lima puluh ribu seminggu hanya buat kebutuhan dia saja. Karena kalau kuberi banyak-banyak Ibu bisa marah sama aku," jawabku lagi. Ada rasa bersalah dalam hati. Aku pun heran. Ibu Tari juga selalu memaksa Tari mengiriminya uang tetapi aku marah dan menolak, saat itu Tari menangis. Aku memaki diriku sendiri gaji ku berkisar 25-30 juta sebulan namun dengan Tega kuberi Tari seratus lima puluh ribu seminggu karena hasutan Ibu. Bagaimana cara Tari mengirimi Ibunya uang aku juga tak tahu. Karena aku kelewat sibuk sekali. "Kamu terlalu patuh sama Ibumu. Anak laki-laki memang milik Ibunya. Namun seorang Ibu yang baik tidak akan menghancurkan rumah tangga anaknya. Maaf, Langit, aku rasa keluargamu ada andil sehingga kamu bercerai. Kamu harus tegas mulai sekarang. Jangan mau terlalu diatur. Kamu pasti mengerti kalau kamu bisa selesaikan masalahmu tanpa diatur. Aku tak habis pikir sama kamu. Aku memang baru sekali bertemu istrimu. Tetapi, kamu sering cerita masalahmu. Kulihat dia wanita yang baik sedangkan berkali-kali aku bertemu Ibumu dan adik-adikmu. Aku saja bisa melihat bagaimana mereka." Perkataan Raka bagaikan pukulan telak buatku. Sungguh berdosa nya diriku. Tari pasti menderita bersuamikan aku. Dia berharap bahagia setelah Ibunya juga pemarah dan banyak menuntut. Tetapi, bersama keluargaku dia malah menjadi semakin susah. "Apa yang harus aku lakukan, Raka? Tari sekarang hilang bagai ditelan bumi," keluhku lagi. "Langit, aku sepertinya melihat istrimu di pelabuhan deh. Saat Tante ku datang dari Sumatera naik kapal. Tak sengaja aku lihat dia," ucap Raka mengernyitkan dahinya. Ucapannya bagai angin yang begitu segar untukku. "Raka, pasti Tari masih di sana," kataku hendak beranjak ke pelabuhan. "Eh Langit." Raka masih memanggil tetapi panggilannya tak ku hiraukan. Tari aku akan temukan kamu. Aku minta maaf, Tari. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD