Maheswati 12

801 Words
"Kakak mau ngomong apa?" Tadi pagi Hesa mendapat pesan singkat dari Sefia, isinya tentang ajakan berbicara empat mata. Gadis itupun tak keberatan. Kebetulan rumahnya memang sedang sepi, si kembar harus bimbel, sedangkan suaminya belum pulang dari kantor. Mereka akhirnya memilih taman belakang sebagai tempat yang pas. Entah apa lagi yang ingin perempuan ini sampaikan padanya, tapi sepertinya sangat penting. Tampak dari tatapan matanya yang serius. "Hmm, begini Hesa. Sebelumnya kakak mau minta maaf, yang pasti apa yang ingin kakak sampaikan ini tentu untuk kebaikan kamu dan keluarga ini. Kakak sangat menyayangimu. Kamu udah kakak anggap sebagai adek sendiri. Bagaimana dulu cara mbak Prisa memperlakukanmu, kakak pun turut serta mengikutinya. Jadi kakak merasa punya kewajiban untuk melindungimu setelah mbak Prisa pergi." Sesuatu sekeras batu seolah baru saja melesat di jantung Hesa. Menciptakan perasaan cemas dan debar gelisah. Akan kemana arah kalimat pembuka itu bermuara? Mungkinkah ... mungkinkah kak Sefia mengetahui ... ah nggak! Jangan sampai! Sungguh Hesa belum sanggup menanggung segala resiko bila itu terjadi. Perempuan itu menyimpan kedua tangan Hesa dalam genggaman yang erat. Lembut dan penuh sayang. Sama sekali tak terlihat mengintimidasi. "Seperti yang dikatakan mbak Prisa selama ini. Kamu anak baik, cantik dan pinter. Kakak pun berpikiran sama karena kakak mengenalmu sendiri. Tapi Hesa, jangan sampai kelebihanmu ini disalahgunakan. Masa depanmu masih panjang, Dek. Kamu bisa meraihnya dan sukses dengan cita-citamu." Seluruh tulang belulang di dalam tubuh Hesa rasanya lumpuh seketika, apa yang selama ini ia simpan rapat-rapat telah terbongkar percuma. "Dua hari ini kakak lihat kamu keluar dari kamar mas Hakim. Malam hari kamu mengunjungi kamarnya dan kembali ke kamarmu sebelum subuh. Di sini kakak bukan ingin menyalahkanmu, Hesa. Sungguh! Kamu masih dibawah umur harus mendapat perlakuan semacam itu dari orang yang menjadi tempat berlindungmu selama ini. Selama ini kakak sangat mengagumi sosoknya sebagai kakak ipar yang bertanggung jawab dan penuh perhatian pada keluarganya. Betapa kaget dan pilunya hati kakak mendapati kenyataan itu di depan mata. Kakak berharap semua yang kakak saksikan tadi pagi adalah salah. Kakak berharap sosok ipar yang selama ini kakak banggakan nggak seperti yang kakak saksikan. Tapi manusia bisa berubah. Selama mereka masih bernapas dan punya nafsu segalanya bisa terjadi." "Kak ...." "Hesa, please. Tugas perempuan itu harus bisa menjaga harga diri. Kakak tahu Om Hakim adalah satu-satunya orang yang kamu percaya di dunia ini. Kakak tahu dia adalah sandaranmu. Kakak paham Hesa. Tapi, apa yang kalian lakukan itu salah. Dosa Hes, dosa. Kamu mengerti maksud kakak kan?" Hesa menunduk pelan, dan menggeleng perih. "Kakak salah paham ...." "Kamu nggak sendiri Hesa. Masih ada kakak di samping kamu. Kakak janji akan melindungimu. Kalau perlu kamu tinggalin rumah ini, hidup sama kakak. Selain itu kakak juga memikirkan si kembar. Mereka masih sangat kecil untuk memahami tingkah buruk papanya. Dan kakak juga nggak akan biarkan keponakan kakak diasuh sama orang yang salah." Hesa tidak ingat kapan persisnya wanita tua itu datang, yang pasti kini tubuhnya sudah tersungkur di atas lantai marmer. Kepalanya terjengkang ke atas kala anak-anak surainya ditarik paksa. Lantas, wajah penuh amarah itu menyemburnya dengan caki maki yang menyakitkan. "Dasar anak nggak tahu diuntung! Benalu! Penggoda!" "Akh Nenek! Sakit Nek!" ringis Hesa berusaha melepaskan cengkeraman kuat itu. "Mama, tolong Ma, jangan kasar begini. Biarkan kita ngomong baik-baik dulu." Perempuan itu turut membantu usaha Hesa melepaskan diri. "Kenapa kamu malah membela benalu ini Sef! Jelas-jelas dia salah. Dia sudah ngancurin keluarga mbakmu! Dimana otakmu masih membela bocah sialan ini." Nek Warsih kembali menjangkau bahu Hesa dan mendorongnya. "Kalian salah paham, tolong dengerin aku dulu ...." "Apa yang terjadi Kak?" Si kembar tiba-tiba sudah berada diantara mereka. "Apa benar yang dikatakan Nenek? Kakak sudah mengkhianati Mama? Jawab Kak?!" Dengan air mata yang sudah membanjiri pipi, Hesa menggeleng pilu. "Nggak Han. Bukan begitu, kalian salah paham." "Omong kosong!" "Ma! Tolong jangan bikin suasana jadi runyam. Kita bisa ngomong baik-baik. Dan, Jinan, Jihan ... kalian ... lebih baik ke kamar. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Please, Tante mohon sekarang kalian ke kamar." Perempuan itu lalu menggiring sang ponakan meninggalkannya. "Usir dia Tante! Jihan nggak sudi lihat muka pengkhianat di rumah ini." "Dasar nggak tahu diri. Udah dikasih tumpangan malah nikung." Wanita tua itu masih terus berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk Hesa yang sudah terkapar nelangsa. "Mama, tolong Mama kendalikan emosi Mama," gumam Sefia menyongsong tubuh Hesa untuk kembali duduk di ayunan. "Hakim nggak mungkin tergoda kalo bukan dia yang kegatelan, Sef! Apa yang dilihat Hakim dari bocah kayak gini!" Seolah bukan hanya Hesa yang tersakiti, si tua ikut mengeluarkan air mata. "Duh Gusti, malang nasibmu Nduk. Malangnya Prisa nampung anak ular." "Ada apa ini?" Ah, yang Hesa tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Si penolong Hesa. Pria itu, belahan hatinya kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD