9- Kencan

1354 Words
Usai melakukan pekerjaan paruh waktu di toko buku, Dihyan segera pergi dari sana. Ia berniat untuk menemui Fredella yang kebetulan sudah selesai kuliah. Ya, wanita itu memang sering sekali selesai kuliah di malam hari. Tak jarang dia pulang saat menjelang pagi. Tak lain karena kuliahnya yang padat serta praktikum- praktikum yang sudah pasti sangat melelahkan itu. Untunglah Dihyan memang tak berminat menjadi dokter. Karena selain biayanya yang besar, ia juga merasa lelah jika belajar terlalu keras. Selama ini ia belajar karena menyukainya, tapi jika hampir dua puluh empat jam waktunya digunakan untuk belajar... entahlah. Ia tidak bisa membayangkannya. Dihyan melewati trotoar yang kotor dengan para tuna wisma yang tertidur beralaskan karpet atau kardus seadanya. Aroma yang tak sedap sudah menjadi aroma khas ketika melewati tempat ini. Sayangnya tidak ada jalan lain yang lebih baik. Ada lagi jalan yang melewati lorong gelap dengan para pemabuk di sekitarnya, jelas ia tidak mau ambil resiko. Belum lagi pengemis- pengemis di sini yang terkesan memaksa. Serba salah. Jika diberi uang pun, teman- temannya pasti akan mengejar Dihyan hingga dia juga memberikan mereka uang seperti kawan mereka yang sebelumnya. Sulit memang hidup di Ceredia. Setelah melewati trotoar yang tak indah itu, Dihyan akhirnya sampai di apartemen milik Fredella. Ia melihat Fredella dan Zhafira yang sedang menunggu di lobby utama. “ Nah! Ini orangnya datang. Aku pergi dulu ya. Ada makan malam sama keluarga soalnya,” ucap Zhafira yang lebih dulu beranjak. Fredella mengangguk. “ Hati- hati. Kau tidak mengendarai sendirian, kan?” tanyanya dengan nada cemas. “ Tenang saja.” Zhafira menggelengkan kepalanya. “ Aku sama supir kok. Kalian bersenang- senang ya! Jangan baca buku terus. Pegangan tangan kek, apa kek,” canda gadis itu sebelum pergi. Fredella berdecih begitu sahabatnya pergi sembari melambaikan tangannya. Ia lalu menghampiri Dihyan yang masih berdiri di dekat pintu masuk. “ Kita mau kemana?” “ Ada cafe book di sekitar sini. Mau coba ke sana? Sekalian makan malam.” “ Ah, cafe? Kau tahu aku tidak suka tempat seperti itu,” ucap Fredella sembari memainkan ujung sepatunya, pertanda jika dirinya gugup. Dihyan hampir saja lupa jika Fredella tidak terlalu suka dengan kafe. Katanya dia tidak suka dengan tatapan pengunjung di sana ketika dirinya memasuki kafe, seolah mereka sedang mengintimidasinya. “ Baiklah. Bagaimana kalo street food?” “ Kau baru dapat uang saku dari kampus ya?” selidik Fredella. Biasanya Dihyan lebih suka memintanya untuk memasak. Mereka memang tidak terlalu sering makan di luar. Dihyan tersenyum geli. “ Tidak kok. Daripada hanya di apartemenmu berdua, itu kan tidak baik,” ucapnya sembari tersenyum manis. Inilah yang Fredella suka dari Dihyan. Dia adalah pria yang sopan dan sangat menghargai wanitanya. Tidak seperti pria jaman sekarang yang baru pacaran sebentar saja sudah minta jatah ‘ ngamar’ segala. Selain padanya, Dihyan juga selalu melindungi Zhafira. Kata Dihyan, mereka berdua adalah wanita terpenting di dalam hidupnya dan perlu dilindungi. Mereka bertiga telah bersama sedari kecil. Apalagi Dihyan dan Fredella yang bahkan berteman sejak ibu mereka masih sama- sama mengandung mereka berdua. Lalu Zhafira datang saat mereka berumur lima tahun. Zhafira dengan keluarganya yang paling kaya se- Abadher. Membuat siapapun akan melihat ulang ketika melewati rumah mereka yang paling besar dan dipenuhi batu alam yang cantik. Belum marmer- marmer yang indah di lantainya, membuat siapapun akan mengaguminya. ........................ “ Ayah. Aku tidak suka di sini. Kenapa kita harus pindah ke sini sih?” tanya Zhafira kecil dengan dress violetnya yang cantik serta rambut indahnya yang dikepang. Ia memeluk boneka kelinci kesayangannya sembari menatap jalan di depannya yang beberapa tempat dipenuhi lumpur. Belum lagi hewan- hewan ternak yang sering ditemuinya di jalan. “ Di sini... bau.” “ Kau akan menyukainya, sayang,” ucap Amir berusaha memberi pengertian pada anak perempuannya. “ Kau akan menyukai tempat ini. Di sini jauh lebih dingin dan tenang. Bukankah kamu butuh tempat yang tenang? Kau suka kupu- kupu, kan? Di sini banyak loh.” Zhafira mengerucutkan bibirnya, meski begitu ia tidak protes lagi. Ia pun memilih untuk berjalan di halaman depan rumahnya sembari melihat area perkebunan yang tak jauh dari rumahnya. Di sini banyak kebun sayur dan buah, hal yang sangat jarang dilihatnya saat masih tinggal di kota. Zhafira tertarik melihat dua anak kecil yang mungkin seumuran dengannya sedang asik mencabuti beberapa kentang di kebun. Lalu mereka meletakkan kentang- kentang itu di sebuah keranjang besar. Tampaknya mereka sedang membantu orang tua mereka yang terlihat sedang melakukan hal yang sama. Tiba- tiba kedua anak itu menatap balik Zhafira dan melambaikan tangannya, seolah mengajaknya untuk bergabung. Zhafira tentu masih malu untuk bergabung dengan mereka, ia memilih berlari ke dalam rumahnya lagi. Walau sebenarnya ia ingin berteman dengan dua anak kecil itu. .................... “ Ini.” Dihyan meletakkan kebab sayuran pesanan Fredella dan segelas teh jahe, membuat ingatan gadis itu soal masa kecil mereka berakhir. “ Terima kasih.” Fredella menerima kebab sayuran miliknya. Ia memang tidak makan daging selain daging ayam. Biasanya kebab akan berisi daging sapi atau daging kambing. Ia merasa tidak tega memakan kedua hewan yang juga dipelihara orang tuanya di Abadher itu. Mereka terlalu menggemaskan untuk dijadikan makanan. Tapi Fredella sangat menyukai s**u sapi. Setiap minggu orang tuanya selalu mengiriminya beberapa liter s**u segar ke apartemennya. s**u yang selalu mengingatkan dirinya akan kampung halaman. Dihyan menikmati kebab daging sapi kesukaannya. Ia menambahkan saus yang banyak di dalam kebabnya. Tidak seperti Fredella yang tidak terlalu suka makanan pedas. Kebab pesanannya saja hanya diberi mayonaise dan saus tomat yang tentunya tidak pedas. “ Enak, kan?” Fredella mengangguk. “ Setelah ini kita pulang, kan? Aku khawatir jika kau pulang kemalaman.” Dihyan mengangguk sembari tersenyum tipis. “ Tentu saja. Aku hanya mencoba meluangkan waktu untuk kita. Rasanya semakin kita dewasa, waktu yang kita miliki semakin berkurang. Benar, kan?” Kali ini Fredella mengangguk setuju. Ia pun merasakan hal yang sama. Berbeda saat masih sekolah dengan jadwal yang itu- itu saja. Namun saat kuliah, ternyata pelajarannya sangat padat. Belum lagi praktikum yang jam selesainya tidak bisa dipastikan. Rasanya dua puluh empat jam dalam sehari saja seperti kurang. “ Masa sekolah dan kuliah sangat berbeda.” “ Oh ya. Dua minggu lagi aku akan ke Green Golden Mountain.” Dihyan tiba- tiba teringat akan acara yang dibuat para seniornya. “ Itu di kampung halaman kita, kan? Mau ngapain?” “ Acara kampus. Biasalah. Untuk pendekatan antara junior dan senior.” “ Semacam OSPEK?” selidik Fredella dengan kening berkerut. Dihyan mengedikkan bahunya. “ Tapi tidak ada agenda aneh kok. Aku kan panitianya juga.” “ Bagaimana bisa junior sepertimu menjadi panitia, Dihyan?” Fredella memperlihatkan keraguan di wajahnya. “ Karena hanya aku yang berasal dari Abadher, dan mereka membutuhkanku,” ucap Dihyan dengan senyum angkuhnya. Seolah ia merasa sangat dibutuhkan. Fredella akhirnya tersenyum tipis dan merasa senang. Tampaknya Dihyan sudah terbiasa dengan kehidupan kampusnya. Pria ini memang mudah bergaul walau ia sendiri sempat takut Dihyan akan kesulitan berteman dengan teman- teman di kampusnya yang kebanyakan berasal dari kota. Tapi untunglah semua kekhawatirannya sudah terpatahkan. “ Syukurlah. Aku senang mendengarnya.” “ Kapan terakhir kali kita ke sana ya?” Dihyan mencoba mengingat- ingat kenangan saat masih di Abadher. “ Mungkin sebelum ujian sekolah. Kau mengatakan perlu penjernihan otak dulu, jadi kita bertiga ke sana dan memburu sunrise.” Senyum Dihyan mengembang, mengingat sunrise yang sangat indah dalam ingatannya. Zhafira sempat mengabadikan momen itu di kamera ponselnya, kebetulan hanya ponsel gadis itu yang sudah punya kamera yang cukup bagus. Sementara ponsel Dihyan sendiri hanya bisa berkirim pesan ataupun menelpon, itupun jarang digunakannya. “ Ya, sunrise yang indah.” “ Kau pasti bisa bersenang- senang dengan teman barumu, Dihyan.” Dihyan mengangguk. “ Aku harap begitu. Kupikir orang di kota akan memperlakukan orang sepertiku dengan buruk, ternyata mereka jauh lebih baik dari dugaanku.” “ Makanya jangan terlalu berpikiran negatif dengan orang yang tidak kau kenal. Di kota ini, kita bisa membuat kenangan baru yang indah, seperti di kampung halaman kita.” “ Kau benar. Bagaimana kuliahmu?” Fredella mengedikkan bahunya. “ Seperti yang kupikirkan. Sangat sibuk dan cukup sulit. Aku harus menghapal organ tubuh manusia dan mempelajarinya. Anatomi tubuh manusia.” Ia menjelaskan. “ Tentu saja. Kau kan calon dokter.” “ Dan kau... calon insinyur.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD