09 - Terluka karena Ethan.

1713 Words
Livy sedang berbincang santai dengan Madeline begitu mendengar suara lift terbuka. Kedua wanita tersebut langsung menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang yang baru saja datang. "Ethan." Livy tak bisa menyembunyikan keterkejutannya begitu melihat jika Ethan lah yang baru saja keluar dari dalam lift. Ethan tidak datang sendiri, tapi bersama dengan Eden, dan itu membuat Livy semakin terkejut. Bukan hanya Livy yang terkejut, tapi Madeline juga sama terkejutnya dengan Livy. Madeline semakin terkejut begitu melihat Ethan bersama Eden, teman yang sudah sejak lama tidak ia temui juga ia hubungi karena kesibukannya dalam bekerja. "Eden!" Madeline sontak berteriak histeris begitu melihat Eden. Teriakan Madeline mengejutkan Eden yang berjalan tepat di belakang Ethan. Ethan menyingkir dari hadapan Eden, dan saat itulah Eden bisa melihat Madeline yang sedang tersenyum lebar padanya. "Madeline," gumam Eden sambil memelototkan kedua matanya. Madeline berlari mendekati Eden, dan tanpa aba-aba memeluk Eden. Eden terkekeh, lalu membalas pelukan Madeline sama eratnya. Ethan memutar jengah bola matanya begitu melihat apa yang Madeline lakukan pada Eden. Ethan kembali melanjutkan langkahnya, lalu duduk di sofa yang ada di hadapan Livy, Kakaknya. "Kamu kenapa balik lagi ke sini?" Livy bersedekap sambil menatap Ethan dengan mata memicing penuh curiga. Livy yakin, pasti Ethan mempunyai tujuan karena itulah Ethan kembali lagi ke sini. Sekarang yang manjadi pertanyaannya adalah, apa tujuan Ethan kembali lagi ke apartemennya? "Loh memangnya kenapa? Enggak boleh?" Jika Livy bertanya dengan ketus, maka lain halnya dengan Ethan yang terlihat jauh lebih santai. "Tadi pagi kamu sendiri yang bilang kalau kamu memiliki urusan penting, jadi kamu pergi dan tidak akan kembali lagi ke sini, kan?" Livy kembali mengingatkan Ethan tentang apa yang tadi pagi sudah Ethan katakan. "Iya, itu kan tadi pagi, sekarang ada masalah yang jauh lebih mendesak lagi, makanya aku balik lagi ke sini." Madeline tahu jika Ethan, Livy, dan Eden membutuhkan privasi, karena itulah Madeline memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Setelah memastikan jika Madeline memasuki lift, Livy menatap intens Ethan. "Jadi ada apa?" tanyanya tidak sabaran. "Tolong jelasin dong." Ethan meminta supaya Eden menjelaskan alasan serta tujuan mereka datang kembali. Tanpa pikir panjang, Eden menggeleng, menolak permintaan Ethan. "Lo aja ah, gua males." Ethan melotot, lalu menatap tajam Eden, tapi Eden sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Ethan berikan. Eden malah membalas tatapan Ethan dengan tak kalah tajamnya. Reaksi yang Eden berikan membuat Ethan sangat kesal. "Mulai berani ya lo sama gue?" "Ya emangnya sejak kapan gue takut sama lo?" Eden menyahut dengan tak kalah ketus. "Lagian kenapa juga gue harus takut sama lo, seharusnya lo yang takut sama gue karena gue lebih tua dari lo," lanjutnya penuh kekesalan. Ethan memang atasan Eden, tapi sebenarnya usia Ethan jauh lebih muda 2 tahun dari Eden. "Sialan, lo!" Ethan mengumpati Eden, lalu memukul Eden menggunakan bantal sofa. Eden membalas pukulan Ethan dengan cara yang sama, yaitu memukul Ethan menggunakan bantal sofa. Kelakuan kedua pria tersebut membuat Livy yang duduk tepat di hadapan keduanya sangat kesal. "Stop!" Livy akhirnya berteriak, meminta agar Ethan dan Eden berhenti bertengkar. Teriakan Livy mengejutkan Ethan juga Eden. Kedua pria tersebut seketika berhenti saling pukul. Eden menatap tajam Ethan, begitu juga sebaliknya. "Ini semua gara-gara, lo," desis Ethan sambil memukul paha Eden. Eden tentu saja tidak terima karena Ethan baru saja menyalahkannya. Eden balas memukul paha Ethan, dan pukulannya jauh lebih kencang dari Ethan. "Enak aja, ini semua gara-gara lo, tahu. Bukan salah gue." Livy menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan, Livy melakukan hal tersebut bukan hanya 1 kali, tapi berkali-kali. Livy sedang mencoba menahan luapan emosinya yang sudah sangat membara. "Kalian berdua masih mau bertengkar?" tanya Livy penuh penekanan. Ethan dan Eden langsung diam, benar-benar diam, tidak lagi bersuara. "Apa yang akan kita bicarakan sangat penting?" Livy menatap Ethan dan Eden secara bergantian. Ethan dan Eden dengan kompak mengangguk. "Sebaiknya kita bicara di ruangan rahasia jika memang apa yang akan kita bicarakan sangat penting." Livy tidak mau ambil resiko, jadi lebih baik mereka berbicara di ruangan tempat di mana mereka biasanya membahas masalah penting. "Baiklah." Ethan setuju dengan saran yang baru saja Livy berikan. Eden, Ethan, dan Livy pun pergi menuju ruang rahasia. a Eden dan Ethan duduk berdampingan di sofa yang sama, berbeda dengan Livy yang memutuskan untuk duduk di sofa yang berbeda dari kedua pria tersebut. "Jadi ada apa?" "Ethan berencana untuk menanam alat pelacak di tubuh Fiona." Edenlah yang menjawab pertanyaan Livy, padahal Ethan baru saja berniat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ethan memutar jengah matanya, tak bisa menutupi rasa kesalnya begitu Eden baru saja menjawab pertanyaan sang Kakak. "Giliran tadi gue suruh buat jelasin aja enggak mau, tapi giliran gue enggak minta buat jelasin malah memberi penjelasan," gerutu Ethan pelan, tapi masih di dengar oleh Eden juga Livy. "Kamu bilang apa, Eden? Bisa di ulangi lagi?" Livy mengabaikan gerutuan Ethan karena ucapan Eden sebelumnya jauh lebih menarik perhatiannya. Eden akan menjawab pertanyaan Livy, tapi Ethan sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya sebagai pertanda jika Eden tidak harus menjawab pertanyaan Livy. Eden diam, dan mempersilakan Ethanlah yang menjawab pertanyaan Livy. Atensi Livy yang sebelumnya tertuju pada Eden seketika tertuju pada Ethan. "Aku berniat untuk memasang alat pelacak di tubuh Fiona." "Apa? Kamu berniat untuk memasang alat pelacak di tubuh Fiona?" Teriak histeris Livy sambil memelototkan matanya. Eden dan Ethan tahu jika reaksi yang Livy berikan akan seperti itu, jadi sebelum Livy berteriak, kedua pria tersebut sudah terlebih dahulu menutup telinga mereka menggunakan kedua telapak tangan mereka. "Aku enggak setuju!" Livy menggeleng, menolak mentah-mentah rencana Ethan. "Aku melakukan itu semua demi kebaikan kita semua, Livy." "Maksud kamu apa? Tolong jelaskan semuanya secara mendetail!" Livy ingin tahu, apa alasan Ethan mau memasang alat pelacak di tubuh Fiona. Siapa tahu setelah mendengar penjelasan serta alasannya, ia menyetujui rencana Ethan. Ethan mulai menjelaskan alasan kenapa dirinya ingin memasang alat pelacak di tubuh Fiona. "Jadi bagaimana? Setuju, kan?" Ethan bertanya sesaat setelah memberitahu Livy apa alasan dirinya mau memasang alat pelacak di tubuh Fiona. "Diam dulu, Ethan, aku sedang memikirkannya," keluh Livy sambil memijat keningnya yang tiba-tiba terasa sangat pusing. "Baiklah, kalau begitu aku keluar dulu, mau ambil minum, haus." Tanpa menunggu taggapan dari Livy juga Eden, Ethan keluar dari ruang rahasia, meninggalkan sang Kakak juga sahabatnya. Ethan memutuskan untuk turun ke lantai 1 menggunakan anak tangga, bukan lift. Begitu sampai di ambang pintu masuk dapur, Ethan tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan alasan Ethan menghentikan langkahnya karena melihat Fiona berada di dapur. Fiona tidak akan melihat kedatangan Ethan, mengingat posisi Fiona saat ini membelakangi Ethan. Ethan kembali melanjutkan langkahnya, tapi kali ini jauh lebih pelan dari sebelumnya. "Dor!" Ethan mengagetkan Fiona sambil menepuk ringan bahu Fiona menggunakan kedua tangannya. "Akh!" Fiona sontak menjerit, dan saking terkejutnya dengan apa yang baru saja Ethan lakukan, tanpa sengaja, Fiona menjatuhkan gelas yang di pegang tangan kanannya sampai akhirnya gelas tersebut pecah berkeping-keping. Sekarang bukan hanya Fiona yang terkejut, tapi Ethan juga terkejut. Ethan tidak tahu jika Fiona sedang memegang gelas. Fiona menunduk, menatap pecahan beling yang berserakan di lantai. Fiona berjongkok, memunguti setiap pecahan beling-beling tersebut. "Enggak usah dibersihin, biar aku panggilkan pelayan untuk membersihkannya." Ethan takut jika Fiona malah akan terluka, karena itulah ia melarang Fiona untuk membersihkan pecahan beling tersebut. "Enggak usah, biar aku bersihin sendiri!" Fiona menolak tegas saran yang Ethan berikan. "Aw!" Fiona meringis begitu jemari manis tangan kanannya terkena pecahan beling sampai akhirnya terluka. Ringisan kesakitan Fiona mengejutkan Ethan. Ethan berjongkok di hadapan Fiona, lalu meraih tangan kanan Fiona yang sudah mengeluarkan darah segar. "Kan sudah aku bilang, enggak usah di bersihin pecahan kacanya, biarin aja." "Ini semua enggak akan terjadi kalau Om tidak mengejutkan aku," balas ketus Fiona. Ethan tahu ia salah, karena itulah Ethan diam, tidak menanggapi ucapan Fiona. "Ayo berdiri!" Titah tegas Ethan. Fiona berdiri, lalu mengikuti langkah Ethan yang menuntunnya menuju wastafel. Fiona pikir, Ethan akan membasuh lukanya menggunakan air mengalir, tapi ternyata ia salah. "Eh," lirih Fiona dengan mata melotot. Fiona terkejut dengan apa yang Ethan lakukan, karena itulah, tanpa sadar, Fiona menarik jemari tangannya yang terluka dari dalam kuluman mulut Ethan, tapi tak bisa karena Ethan menghisapnya dengan cukup kuat. Fiona menatap jemarinya yang saat ini ada dalam mulut Ethan, lalu menatap Ethan yang menatap intens dirinya. Deg! Deg! Deg! Fiona bisa merasakan jika saat ini jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, dan itu semua karena Ethan. Fiona menunduk, menghindari tatapan intens dari Ethan. Fiona tidak sanggup jika harus terus menerus beradu pandang dengan Ethan. Ethan tersenyum tipis begitu melihat Fiona yang tampak salah tingkah. Ethan lalu membuang darah di mulutnya ke wastafel yang di aliri air. "Ayo, biar aku obati dulu." Tanpa menunggu balasan dari Fiona, Ethan menarik Fiona keluar dari dapur. "Sebenarnya enggak perlu diobati, kan lukanya enggak parah." "Lukanya harus tetap diobati supaya tidak terjadi infeksi di kemudian hari." Ethan tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Fiona, jadi lebih baik lukanya segera di obati meskipun lukanya kecil. Sekarang, Ethan dan Fiona sudah duduk di sofa ruang tamu. Ethan sedang mengobati luka di jemari tangan kanan Fiona. Tak lama kemudian, Eden dan Livy datang. Livy ingin tahu apa yang sedang Ethan dan Fiona lakukan, jadi Livy berlari mendekati keduanya. "Fiona kamu kenapa?" tanya Livy yang saat ini sudah berdiri menjulang di hadapan Ethan dan Fiona. "Jemari tangannya terluka karena terkena pecahan gelas." Livy bertanya pada Fiona, tapi Ethanlah yang menjawab pertanyaan Livy. "Apa? Kok bisa sih?" Livy seketika panik, takut jika luka di jemari tangannya cukup parah. "Apa lukanya parah?" "Livy, aku baik-baik saja, dan lukanya juga tidak parah kok." Fiona harap, jawaban yang ia berikan membuat Livy jauh lebih tenang dan tidak panik lagi. "Ethan, lukanya benar-benar tidak parah?" Livy akhirnya bertanya pada Ethan, hanya ingin memastikan jika memang luka di jemari Fiona tidak parah. "Iya, lukanya tidak parah." "Syukurlah kalau begitu," gumam Livy dengan perasaan lega. Livy duduk di samping Fiona yang baru saja selesai Ethan obati. "Jadi, kenapa tangan kamu bisa terluka?" Livy ingin tahu, kenapa Fiona bisa sampai terluka. "Ini semua gara-gara Om Ethan," desis Fiona sambil menatap tajam Ethan. "Ethan?" Ulang Livy dengan raut wajah bingung. Fiona lalu memberitahu Livy awal mula kenapa jemari tangan kanannya bisa terluka. Ethan akhirnya di marahi habis-habisan oleh Livy. Melihat Ethan di marahi oleh Livy memanglah keinginan Fiona. Fiona bahagia begitu melihat Ethan yang hanya bisa diam ketika mendapatkan amukan kemarahan dari sang Kakak. Bukan hanya Fiona yang bahagia, tapi Eden juga sangat bahagia begitu melihat Ethan di marahi Livy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD