10 - Masalah rumit.

2023 Words
Setelah berada di kamar selama hampir 1 jam, Madeline memutuskan untuk ke luar dari kamar. Begitu keluar dari dalam lift, Madeline bertemu dengan Fiona yang baru saja akan memasuki lift. Madeline terkejut, begitu juga dengan Fiona. "Kamu mau ke mana?" Madeline terlebih dahulu menegur Fiona. "Aku mau ke kamar." Setelah menjawab pertanyaan Madeline, Fiona bergegas memasuki lift. Entah kenapa, Fiona selalu merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan Madeline. Madeline kembali melanjutkan langkahnya, mendekati sumber keributan yang terdengar dari arah ruang keluarga. "Ada apa sih? Rame banget." Madeline menggelengkan kepalanya begitu melihat Livy dan Ethan sedang bertengkar, lebih tepatnya, Livy yang sedang memukul Ethan dengan membabi buta. Madeline tahu kalau sebenarnya, Ethan bisa saja melawan Livy, tapi itu tak Ethan lakukan, karena jika Ethan melakukan hal tersebut, maka Livy akan semakin marah pada Ethan. Jadi yang sekarang bisa Ethan lakukan adalah pasrah, menerima semua luapan kemarahan dari Livy. "Apa yang terjadi? Kenapa Livy marah pada Ethan?" Madeline duduk di samping kanan Eden. Bagi Madeline, pemandangan yang tersaji di hadapannya sudah tidak terasa asing lagi. Dengan kata lain, ini bukan kali pertama Madeline melihat Livy dan Ethan bertengkar. Sebelumnya, saat mereka masih berada dalam 1 divisi yang sama, pertengkaran antara Ethan dan Livy selalu ia lihat setiap hari. "Ethan sudah melukai, Fiona, jadi Livy marah pada Ethan." Madeline menatap Eden dengan mata melotot. "Apa? Ethan melukai Fiona?" Eden mengangguk. "Iya, Ethan sudah melukai Fiona." "Jelaskan!" Titah tegas Madeline. Madeline ingin tahu, kenapa Ethan bisa melukai Fiona? Eden lalu menjelaskan apa yang sudah Ethan lakukan pada Fiona. "Oh, pantas saja Livy marah," gumam Madeline sesaat setelah mendengar penjelasan dari Eden. "Iya, semuanya memang salah Ethan." Madeline tiba-tiba berdiri. "Mau ke mana?" "Dapur, mau ambil minuman sama makanan." Madeline menjawab tanpa berbalik menghadap Eden. Atensi Eden kembali tertuju pada Livy yang masih terus memukul Ethan. Eden tahu jika Livy sudah lama tidak memukul Ethan, jadi sekarang Livy terlihat sekali sangat bersemangat. "Apa kalian berdua akan terus bertengkar?" gerutu Eden sambil memutar jengah bola matanya. Gerutuan Eden berhasil membuat Livy berhenti memukul Ethan. Livy memutuskan untuk duduk di sofa yang berbeda dengan Ethan. "Terima kasih, Eden," ucap Ethan sambil memberi Eden 2 jempol sebagai ucapan terima kasih karena Eden sudah membuat Livy berhenti memukulnya. Eden hanya mengangguk. Ethan langsung merapikan penampilannya yang terbilang cukup acak-acakan, terutama di bagian rambutnya. "Jadi bagaimana? Apa kamu setuju, Livy?" Eden ingin tahu apa jawaban Livy, setuju atau tidak? "Apa kita harus membahasnya sekarang juga?" "Kalau bukan sekarang lalu kapan lagi?" Giliran Ethan yang menyahut. "Baiklah, aku setuju." Livy akhirnya setuju dengan rencana Ethan dan Eden yang mau memasang alat pelacak di tubuh Fiona. Ethan dan Eden tersenyum lebar. Keduanya senang karena Livy menyetujui rencana mereka. Tadinya, jika Livy menolak, sebenarnya Ethan dan Eden akan tetap memasang alat pelacak di tubuh Fiona, tentu saja tanpa sepengetahuan Livy. "Eden, katakan pada Crelisa kalau kita akan datang ke sana sekarang juga." "Ok." Eden meraih ponselnya, lalu menghubungi Crelisa, memberitahu keponakannya itu jika ia akan datang sekarang juga. Perintah yang Ethan berikan pada Eden mengejutkan Livy. Livy menatap Ethan dan Eden dengan raut wajah shock. "Apa kita harus melakukannya sekarang juga?" "Tentu saja harus di lakukan sekarang juga, karena besok aku dan Eden akan pergi menjalankan misi." Misi yang besok akan Ethan dan Eden lakukan akan memakan waktu yang cukup lama, jadi Ethan mau alat pelacak tersebut sudah terpasang di tubuh Fiona sekarang juga. Lebih cepat lebih baik. "Bagaimana? Apa bisa?" tanya Ethan sesaat setelah melihat Eden selesai menghubungi Crelisa. "Bisa, Ethan." "Bagus, sekarang kita hanya perlu membuat Fiona tidak sadarkan diri." "Apa kita harus membuat Fiona tidak sadarkan diri?" "Tentu saja, Livy. Apa kamu pikir Fiona mau pergi bersama kita jika tahu akan ada alat pelacak yang di tanam di tubuhnya? Fiona tidak akan mau, dan Fiona juga tidak boleh tahu jika di dalam tubuhnya terpasang alat pelacak." "Ok, biar aku yang membius Fiona." Livy pergi ke ruang rahasia, tempat di mana dirinya menyimpan banyak sekali obat-obatan, dan setelah mengambil obat bius, barulah Livy pergi ke kamar Fiona. Ethan dan Eden mengikuti Livy, tapi keduany memutuskan untuk menunggu di luar kamar Fiona. Tak lama kemudian, pintu kamar Fiona terbuka. "Apa semuanya berjalan dengan lancar?" "Tentu saja, kita bisa membawanya sekarang juga." Livy mempersilakan Ethan memasuki kamar Fiona, untuk menggendong Fiona yang sudah tidak sadarkan diri. Madeline masih berada di dapur ketika Ethan, Eden, dan Livy membawa Fiona pergi. Sebelum pergi meninggalkan apartemen, Livy juga sudah mengunci kamar Fiona supaya Madeline tetap berpikir jik Fiona ada di dalam kamar. Ethan juga sudah memberitahu para penjaga, apa yang harus mereka katakan jika Madeline menanyakan mereka, dan mereka semua, Ethan larang untuk memberitahu Madeline jika Fiona pergi bersama mereka. Akhirnya Eden, Ethan, Livy, dan Fiona sampai di tempat Crelisa. Mobil yang Eden kemudikan baru saja terparkir tepat di depan rumah milik Crelisa. "Biar gue yang gendong, Fiona." "Lo tenang aja, gue enggak akan menyentuh Fiona." Ethan tidak menanggapi ucapan Eden. Ethan bergegas keluar dari mobil, lalu menggendong Fiona memasuki rumah Crelisa. "Baringkan dia di sana, Ethan." Crelisa memberitahu Ethan, di mana Ethan harus membaringkan wanita dalam gendongannya. Ethan membaringkan Fiona di tempat tidur, dan Livy langsung duduk di samping Fiona. Crelisa menghampiri tempat tidur, saat itulah ia bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang tadi Ethan gendong. "Jadi, siapa nama wanita cantik ini, guys?" "Fiona." Ethan yang menjawab pertanyaan Crelisa. "Fiona," gumam Crelisa sambil tersenyum lebar. "Namanya cantik, secantik pemilik namanya." "Ya, kamu benar, Crelisa," balas Ethan smabil tersenyum samar. "Apa bisa kita mulai sekarang?" "Tentu saja bisa, Ethan." "Elisa, ini aman kan?" "Tentu saja aman, Livy, tenanglah." Crelisa tahu apa yang Livy khawatirnya. Livy mengangguk, lalu beranjak dari duduknya, membiarkan Crelisa duduk di tempat yang tadi ia duduki. "Dia pingsan?" Awalnya Crelisa pikir kalau Fiona tertidur saat dalam perjalanan ke mari. "Iya, kita semua tidak mau kalau dia tahu jika di dalam tubuhnya ada alat pelacak, jadi kita terpaksa membiusnya." Kali ini giliran Livy yang menjawab pertanyaan Crelisa. "Oh begitu," gumam Crelisa sambil mengangguk, paham. Crelisa lalu mulai memasukkan alat pelacak ke dalam tubuh Fiona, dan tak butuh waktu lama untuk melakukan itu semua, hanya dalam hitungan menit. "Sudah?" tanya Livy memastikan. "Iya, sudah." "Jadi tidak harus melakukan operasi?" "Tentu saja tidak, Livy. Kita tidak benar-benar memasukkan alat ke dalam tubuh Fiona." "Stop, tidak usah di jelaskan, dia tidak akan mengerti." Ethan meminta supaya Crelisa tidak menjelaskan semuanya pada Livy, karena itu semua akan memakan waktu yang cukup lama. Livy menggerutu, tapi memilih untuk tidak memaksa Crelisa melanjutkan penjelasannya. Nanti, kapan-kapan, Livy akan meminta Crelisa menjelaskannya lagi. "Kapan pelacak itu bisa sepenuhnya bekerja, Crelisa?" "Langsung beroperasi setelah 24 jam di masukkan ke dalam tubuh. Setelah itu, kamu bisa memantau Fiona, Ethan." "Ok, terima kasih, Crelisa." "Sama-sama." Setelah itu, Eden, Ethan, dan Livy kembali membawa Fiona pulang ke apartemen. Saat mereka tiba di apartemen, Madeline tidak ada, dan itu membuat perasaan ketiga orang tersebut lega. Mereka bergegas membawa Fiona kembali ke kamar. Setelah memastikan jika Fiona berbaring dengan nyaman, Eden, dan Livy keluar dari kamar Fiona, meninggalkan Ethan bersama dengan Fiona. Ethan duduk di samping kanan Fiona. Ethan meraih tangan kanan Fiona, membelai punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. "Maaf, Fiona," lirih Ethan penuh kesedihan. Sebenarnya Ethan merasa bersalah karena sudah teramat sangat mengekang Fiona tanpa Fiona sadari, tapi Ethan tidak punya pilihan lain selain melakukan itu semua. Ethan mengecup punggung tangan Fiona, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Ethan menundukkan wajahnya, melabuhkan kecupan di kening Fiona. "Selamat tinggal, Fiona," ucap Ethan sesaat setelah mengecup kening Fiona. Ethan merapikan selimut yang menutupi tubuh Fiona, dan setelah itu bergegas pergi meninggalkan Fiona. Ethan menghampiri Eden, dan Livy yang saat ini ada di ruang keluarga. "Eden, kita pergi sekarang." "Ok." "Kalian tidak mau makan malam dulu?" Livy berharap jika Ethan dan Eden akan makan malam terlebih dahulu sebelum pergi. Eden dan Ethan sama-sama menolak tawaran Livy. "Gue duluan." Tanpa menunggu tanggapan dari Ethan dan Livy, Eden bergegas pergi meninggalkan keduanya. Ethan menghampiri Livy, memeluk erat sang kakak. Livy membalas pelukan Ethan dengan tak kalas eratnya. "Misi kali ini akan jauh lebih berbahaya, bukan?" gumam Livy dalam pelukan Ethan. Sebenarnya Livy ingin sekali melarang Ethan pergi, tapi Livy tahu jika itu percuma. Ethan pasti akan tetap pergi meskipun ia melarangnya. Ethan mengangguk. "Iya, misi kali ini akan jauh lebih berbahaya dari misi-misi sebelumnya." "Hati-hati, Ethan, dan berjanjilah kalau kamu akan kembali dengan selamat." Setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Ethan yang Livy punya, jadi Livy tidak mau kehilangan lagi anggota keluarganya. "Aku berjanji, Livy, aku pasti akan kembali." Ethan merenggangkan pelukannya, begitu juga dengan Livy. Ethan mengecup kening sang Kakak. "Aku pergi." Dengan berat hati, Livy mengangguk. Livy mengantar Ethan sampai di depan lift. Ethan memasuki lift, di mana Eden sudah menunggunya. Livy yang saat ini berdiri di depan lift melambaikan tangan kanannya pada kedua pria di hadapannya, tapi hanya Ethanlah yang membalas lambaian tangan Livy. Perlahan tapi pasti, pintu lift tertutup. Sebelum benar-benar tertutup, Eden dan Livy sempat melakukan kontak mata, saat itulah Livy sadar jika tatapan Eden padanya sudah berubah, tidak lagi sama seperti sebelumnya. Eden menatapnya dengan raut wajah datar, berbeda dari biasanya. Livy seharusnya senang, tapi justru ia merasakan hal yang sebaliknya. Ia sama sekali tidak bahagia, karena entah kenapa, hatinya malah terasa sangat sakit. "Eden." "Hm." "Kenapa tidak pamit pada Livy?" "Untuk apa?" "Misi kita kali ini sangat berbahaya dari misi-misi kita sebelumnya, dan kemungkinan kita untuk bisa kembali dengan selamat itu sangat kecil. Apa lo enggak mau mengucapkan kata perpisahan sama kakak gue?" "Dia pasti akan sangat bahagia kalau tahu gue enggak selamat, Ethan," lirih Eden sambil tersenyum tipis. "Ke–" "Bastian dan Livy memang cocok, Ethan." Eden langsung memotong ucapan Ethan. "Gue berharap kalau mereka berdua akan selalu bahagia," lanjutnya sambil tersenyum tipis. Jika ada yang bertanya, siapa wanita yang Eden cintai? Jawabannya adalah Livy. Ya, Eden mencintai Livy, wanita yang berstatus sebagai Kakak Ethan. Wanita yang sudah membuat Eden banyak melakukan hal-hal bodoh. Eden mencintai Livy, tapi sayangnya, Livy tidak mencintai Eden, karena pria yang Livy cintai adalah Bastian Elbert Maxwell, pria yang tak bukan adalah sahabat Eden juga Ethan. Ethan memutuskan untuk diam karena tak tahu harus mengatakan apa. "Ethan." "Iya." "Kita harus bisa menyelesaikan misi ini dengan baik, dan kembali hidup-hidup, karena ini adalah misi terakhir kita berdua." Ethan berbalik menghadap Eden, menatap Eden dengan raut wajah bingung. "Maksud lo apa?" "Jika kita berhasil menyelesaikan misi kali ini, maka gue akan berhenti dari pekerjaan ini, Ethan. Gue akan kembali ke London, dan menggantikan posisi Daddy sebagai CEO." Penjelasan Eden mengejutkan Ethan. Ethan tidak menyangka jika misi kali ini adalah misi terakhirnya dengan Eden. "Lo yakin, Eden?" "Tentu saja, Ethan." Eden sudah memikirkan semuanya secara matang-matang sejak beberapa bulan yang lalu, dan Eden yakin dengan keputusan yang sudah ia ambil. Dulu Eden ingin selalu berada di dekat Livy, tak peduli meskipun Livy tidak membalas perasaannya, saat itu yang ada dalam pikiran Eden adalah, yang terpenting dirinya bisa melihat Livy. Tapi semakin lama, Eden sadar, jika dirinya tidaklah setangguh yang ia bayangkan. Saat melihat betapa bahagianya Livy bersama Bastian, itu sangat melukai perasaannya. Hatinya sakit, sampai terkadang tanpa sadar, dirinya berpikir untuk merebut paksa Livy dari Bastian menggunakan cara kotor. Eden tidak mau jika ia benar-benar melakukan itu semua, jadi akan jauh lebih baik jika ia pergi menjauh dari kehidupan Livy untuk selama-lamanya. Dari pada ia terus menerus menyiksa dirinya sendiri, lebih baik ia berhenti, dan memulai hidup di negara dan kota yang baru. "Lo menyerah untuk memperjuangkan Kakak gue?" Jika Ethan boleh jujur, sebenarnya Ethan lebih setuju jika sang Kakak menjalin hubungan asmara dengan Eden ketimbang dengan Bastian, meskipun Bastian adalah sahabatnya sendiri. Tapi Ethan juga tidak mungkin memaksa Livy untuk bersama dengan Eden, jika Livy tidak mencintai Eden. "Ethan, gue bisa bersaing dengan banyak pria yang mencintai Livy. Tapi gue enggak akan pernah bisa bersaing dengan pria yang Livy cintai. Gue rasa, sekarang adalah waktu dan saat yang tepat buat gue berhenti mencintai Livy." "Lo benar," lirih Ethan sambil tersenyum masam. Ethan ingin sekali meminta supaya Eden tidak menyerah, tapi Ethan sadar, jika ia melakukan hal tersebut, maka ia sangat jahat. Lift terbuka, dan Eden memutuskan untuk keluar terlebih dahulu dari lift, di susul Ethan yang kini melangkah tepat di belakangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD