11 - Teka-teki.

2023 Words
Melamun, itulah yang akhir-akhir ini sering Livy lakukan. Tak terasa, 1 bulan sudah berlalu sejak Ethan dan Eden pergi menjalankan misi. Semenjak keduanya pergi, Livy tidak pernah lagi tahu kabar tentang keduanya. Sampai saat ini, baik Ethan ataupun Eden sama-sama tidak bisa di hubungi. "Mereka berdua baik-baik saja, kan?" gumam Livy dengan perasaan gelisah yang begitu mendominasi. Livy sudah sering bertanya pada Bastian, apa kekasihnya itu tahu kabar tentang keduanya? Dan Bastian mengatakan kalau Bastian tidak tahu kabar tentang keduanya, karena memang tak ada kabar dari Ethan ataupun Eden. Jika Livy sedang melamun memikirkan Ethan juga Eden, maka lain halnya dengan Marco yang sedang melakukan tugasnya. "Iya, ada apa?" tanya Marco begitu ada panggilan masuk dari Erik, penjaga lift di basement. "Big Boss baru saja memasuki lift." "Benarkah?" gumam Marco dengan raut wajah shock. "Iya, benar." "Ok, terima kasih." Tanpe menunggu balasan dari Erik, Marco bergegas berlari menuju ruang keluarga, tempat di mana Livy berada. "Nona Livy." Marco tidak mau membuat Livy terkejut, karena itulah Marco menegur Livy dengan penuh kehati-hatian. Teguran Marco berhasil membuat Livy sadar dari lamunannya. Livy lalu menoleh pada Marco yang berdiri di sisi samping kanannya. "Iya, Marco, ada apa?" "Tuan Ethan datang, Nona," ucap Marco sambil tersenyum lebar. Livy diam, mencoba mencerna jawaban Marco. "Ka-kamu barusan bilang apa, Marco?" tanyanya terbata. Senyum di wajah Marco semakin lebar. "Tuan Ethan akan segera datang, Nona." "Ethan?" gumam Livy dengan kedua mata melotot. "Iya, saat ini Tuan Ethan sudah menaiki lift, itu artinya, sebentar lagi Tuan Ethan akan datang." Livy berlari menuju lift, dan ucapan Marco terbukti benar. Begitu Livy sudah berdiri di dalam lift, lift terbuka, memperlihatkan Ethan yang datang bersama dengan Bastian, serta kedua pengawalnya. "Ethan," gumam Livy sambil tersenyum lebar di barengi dengan kedua matanya yang kini berkaca-kaca. Ethan tersenyum lebar, lalu memeluk Livy. Livy balas memeluk Ethan. "Syukurlah karena kamu baik-baik saja." Sekarang Livy benar-benar lega sekaligus juga bahagia. Sekarang, semua pikiran buruk yang sebelumnya sempat menghantui pikiran Livy sudah hilang. "Aw!" Ethan sontak meringis begitu luka di tubuhnya terkena tekanan yang cukup kuat dari pelukan Livy. Livy segera melepas pelukannya, menatap Ethan dengan mata melotot. "Kamu terluka, Ethan?" "Menjalankan misi tanpa terluka itu hampir mustahil, Livy." Ethan lalu mengangkat kaos hitam polos yang membalut tubuhnya, memperlihatkan luka-luka yang menghiasi tubuhnya. "Astaga! Apa kamu langsung datang ke sini?" "Tentu saja." Begitu sudah mendarat, Ethan langsung memerintahkan sang supir untuk membawanya ke apartemen Livy. Ethan tahu kalau Livy pasti sangat mengkhawatirkan dirinya. "Ayo duduk, kita obati dulu luka kamu." Livy membawa Ethan menuju ruang keluarga. Bastian mengikuti Ethan dan Livy, sementara kedua pengawal Ethan bergabung bersama dengan Marco. Livy mulai mengobati luka-luka yang terdapat di tubuh Ethan, terutama bagian perut, dan punggung. "Ba-bagaimana dengan Eden?" Sejak tadi, Livy ingin menanyakan Eden, tapi tak berani bertanya karena tadi masih ada Bastian, jadi begitu Bastian pergi ke dapur, Livy baru berani untuk menanyakan kabar tentang pria tersebut. Ethan tahu, cepat atau lambat, Livy pasti akan menanyakan Eden. Ethan juga sengaja tidak memberitahu Livy tentang Eden, karena Ethan memang sengaja melakukan hal tersebut. "Dia baik-baik saja, Livy." "Benarkah?" "Dia memang terluka, tapi lukanya tidak parah." "Ah, jadi sekarang dia ada di rumah sakit." Begitu mendengar jawaban Ethan jika Eden terluka, Livy seketika berpiki jika Eden berada di rumah sakit, itulah alasan kenapa Eden tidak datang ke sini bersama dengan Ethan. "Eden tidak di rumah sakit, Livy." Ethan tahu kalau Livy pasti bingung, kenapa Eden tidak ikut bersamanya. "Lalu? Kenapa dia tidak bersama kamu, Ethan." Ethan tersenyum tipis begitu mendengar pertanyaan yang pasti sudah sejak tadi ingin Livy ajukan padanya. "Kemarin adalah misi terakhir kita berdua." Jawaban Ethan mengejutkan Livy, saat itu juga, detak jentung Livy berpacu lebih cepat dari sebelumnya. "Maksud kamu apa, Ethan?" Livy sudah tahu, apa arti dari ucapan Ethan, tapi meskipun sudah tahu, Livy tetap bertanya. "Eden sudah berhenti dari pekerjaannya, dan sekarang dia pulang ke London." "Dia kembali ke London?" gumam Livy dengan raut wajah yang terlihat sekali sangat shock. "Iya, Eden akan mengambil alih tugas Ayahnya sebagai CEO." Livy tahu, seharusnya ia senang. Sekarang, pria yang selalu mengganggunya sudah tidak ada lagi. Tapi kenapa? Kenapa hatinya malah terasa sakit? "Ah, jadi begitu," gumam Livy sesaat setelah lama terdiam. Awalnya Ethan akan kembali membicarakan tentang Eden, tapi memutuskan untuk diam saat melihat kedatangan Bastian. Livy berlalu pergi meninggalkan Ethan dan Bastian setelah selesai mengobati luka-luka Ethan. Selang beberapa menit kemudian, Bastian pamit undur diri. Jadi sekarang, hanya ada Ethan di ruang keluarga. Ethan mengurungkan niatnya untuk berbaring di sofa begitu mendengar suara lift terbuka. "Fiona," gumam Ethan begitu tahu siapa orang yang baru saja keluar dari dalam lift. Fiona menghentikan langkahnya, saat melihat siapa pria yang saat ini sedang duduk di sofa. Pria yang sudah lama tidak Fiona lihat. Fiona melanjutkan langkahnya, melewati Ethan begitu saja. Ethan menatap Fiona dengan mata melotot, tak menyangka jika Fiona baru saja mengabaikannya. Awalnya Ethan berpikir jika Fiona akan menyapanya, tapi ternyata Fiona sama sekali tidak menyapanya. "Kenapa wanita itu benar-benar sangat menyebalkan sekali?" gerutu Ethan sambil menggeleng. Ethan tak habis pikir, bisa-bisanya Fiona mengabaikannya. Fiona tidak pergi ke kamar, tapi pergi ke dapur. Fiona menghampiri Livy yang saat ini sedang membuat minuman. Livy menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. "Bagaimana pelajaran hari ini?" "Jauh lebih menyenangkan dari pada kemarin," gumam Fiona. "Oh iya, kapan Ethan datang?" "Dia baru saja datang, Fiona." "Boleh aku bertanya tentang pria menyebalkan itu?" Livy terkekeh, lalu mengangguk. "Tentu saja boleh, kamu mau bertanya tentang apa?" "Sebenarnya apa pekerjaan Ethan? Apa dia seorang Mafia?" Livy tak kuasa menahan tawanya begitu mendengar pertanyaan yang baru saja Fiona berikan. "Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?" keluh Fiona sambil memanyunkan bibirnya. "Apa menurut kamu Ethan adalah seorang mafia, Fiona?" "Dia sangat cocok jika menjadi seorang mafia." "Kenapa bisa berpikir seperti itu?" "Itu karena dia sangat kejam." Lagi-lagi Livy tertawa. "Jangan terus tertawa, jawab pertanyaan aku, Livy," keluh Fiona penuh kekesalan. Fiona kesal karena sejak tadi, Livy terus tertawa, dan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Ethan bukan seorang mafia, Fiona." "Benarkah?" "Tentu saja." "Lalu apa pekerjaan dia?" Saat pertama kali mengenal Ethan, Fiona berpikir jika Ethan adalah seorang CEO. Tapi setelah Fiona selidiki secara mendalam, ternyata Ethan bukanlah seorang CEO. Fiona sudah mencari tahu tentang Ethan, tapi tidak ada berita ataupun artikel terkait tentang diri Ethan juga Livy. Itulah asalan kenapa Fiona berpikir jika Ethan adalah seorang mafia. "Sebaiknya kamu tanyakan sendiri pada Ethan, Fiona." Livy tidak akan memberitahu Fiona, apa pekerjaan Ethan sebenarnya, karena itulah Livy meminta supaya Fiona bertanya langsung pada Ethan. "Baiklah, aku akan bertanya langsung pada Ethan." Fiona sudah terlalu penasaran, jadi Fiona akan menuruti saran yang baru saja Livy berikan. Livy dan Fiona menghampiri Ethan yang sedang menonton televisi. "Kopinya, Ethan." Livy meletakkan gelas tersebut tepat di hadapan Ethan. "Terima kasih, Livy." "Sama-sama," balas Livy yang sekarang sudah duduk tepat di hadapan Ethan. "Ethan." "Apa?" Ethan menyahut ketus. Ethan masih kesal karena tadi Fiona mengabaikannya. Livy terkekeh, begitu mendengar betapa ketusnya Ethan ketika menanggapi panggilan dari Fiona. "Apakah kamu seorang mafia?" Fiona menatap lekat Ethan. "Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Ethan tersedak kopi yang baru saja di minumnya. Livy tertawa, lain halnya dengan Fiona yang seketika merasa bersalah karena sudah membuat Ethan tersedak. Fiona ingin meminta maaf, tapi gengsi. Jadi yang Fiona lakukan hanya diam, membiarkan Ethan kesakitan. "Kenapa kamu bisa berpikir kalau aku adalah seorang mafia?" Ethan menatap bingung Fiona. "Ka-karena kamu sangat kejam," lirih Fiona sambil menunduk, menghindari tatapan intens Ethan. "Kejam?" Ulang Ethan dengan kedua tangan bersedekap. "Iya, kejam." Ulang Fiona sambil mengangguk. "Apa kamu pernah melihat aku membunuh orang, Fiona?" Ethan bingung, kenapa Fiona bisa berpikir jika dirinya sangat kejam? Memang apa yang sudah ia lakukan? Pertanyaan Ethan seketika membungkam Fiona. Begitu mendengar kata membunuh, Fiona seketika mengingat peristiwa kebaran mansion yang sampai menewaskan sang Ayah, juga anak buahnya. Diamnya Fiona membuat Livy dan Ethan bingung. Livy menatap Ethan, begitu juga dengan Ethan yang menatap Livy. Melalui isyarat mata, Ethan meminta Livy untuk menegur Fiona. "Fiona!" Livy menegur Fiona sambil menyentuh bahu Fiona. "Ah, maaf," ucap Fiona tak enak hati karena malah melamun. "Tidak apa-apa," balas Livy sambil tersenyum tipis. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Fiona?" "Aku sedang memikirkan tentang kebakaran mansion Ayah," jawab lirih Fiona sambil tersenyum masam. Livy dan Ethan sama-sama terkejut begitu mendengar jawaban Fiona. Keduanya tidak menyangka jika Fiona sedang memikirkan kejadian kebakaran tersebut. "Maksud kamu apa, Fiona?" Livy ingin tahu, apa yang Fiona pikirkan tentang kejadian tersebut. "Aku berpikir jika mansion tersebut memang sengaja di bakar, bukan mengalami kebakaran karena konsleting arus listrik." Fiona sama sekali tidak percaya pada hasil penyelidikan yang sudah pihak kepolisian lakukan. Pihak kepolisian mengatakan jika mansion Ayahnya terbakar karena adanya konsleting arus listrik, tapi Fiona tidak akan mempercayai alasan tersebut. Terlalu banyak kejanggalan yang terjadi. Lagi-lagi jawaban Fiona mengejutkan Livy dan Ethan. "Aku ke kamar dulu ya." Tanpa menunggu jawaban Livy dan Ethan, Fiona bergegas pergi menuju kamarnya. Setelah memastikan jika Fiona pergi, atensi Livy sepenuhnya tertuju pada Ethan. "Ethan." "Iya." "Cepat atau lambat, Fiona akan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya. Itu artinya, dia akan tahu apa yang sudah kita lakukan pada Ayahnya." "Aku tahu, Livy." "Lalu apa yang harus kita lakukan jika sampai Fiona tahu tentang semuanya?" "Maka kita harus memberitahu Fiona, alasan kenapa kita membunuh Ayahnya." Menurut Ethan, hanya itulah pilihan yang mereka punya. "Apa Fiona akan percaya?" "Kenapa tidak? Kita juga akan memperlihatakan pada Fiona tentang kejahatan yang sudah Ayahnya lakukan, Livy." Ethan yakin jika Fiona akan percaya pada semua bukti-bukti yang saat ini ia miliki. "Tapi, Ethan, apa kamu tidak pernah berpikir, alasan kenapa Ayah Fiona membunuh orang tua kita?" Sejak dulu, Livy selalu bertanya-tanya, apa alasan Romanov membunuh kedua orang tuanya? Dan sampai saat ini, Livy belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. "Tentu saja karena Ayah sudah merugikan bisnisnya Romanov, Livy." "Apa benar hanya karena itu? Bagaimana jika ada alasan lain, Ethan?" Ucapan Livy benar-benar membuat bingung Ethan. "Maksud kamu apa, Livy?" "Sebaiknya, kamu cari tahu lagi, apa alasan sebenarnya Ayah Fiona membunuh orang tua kita?" "Apa kamu lupa? Dulu kamu sudah meminta aku untuk menyelidikinya, Livy, dan aku juga sudah memberitahu kamu, apa alasan Ayah Fiona membunuh orang tua kita? Ayah Fiona membunuh orang tua kita karena Ayah sudah merugikan bisnis Ayah Fiona." "Cari tahu lagi, Ethan, kali ini tanpa melibatkan atasan kamu. Cari tahu dari sumber yang berbeda." Entah kenapa, Livy merasa jika atasan Ethan berbohong. Livy merasa jika ada yang mereka sembunyikan darinya juga Ethan. "Apa yang kamu sembunyikan, Livy?" Ethan yakin, ada yang Livy sembunyikan darinya. Livy pasti memiliki alasan yang kuat kenapa memintanya untuk kembali mencari tahu alasan kenapa Ayah Fiona membunuh orang tuanya? "Sebenarnya, sebelum orang tua kita di bunuh oleh Ayah Fiona, beberapa tahun sebelumnya aku sempat mendengar Ayah sedang berbicara di telepon," lirih Livy. "Lalu?" "Ayah menyebutkan nama Lucy Anderson." "Lucy Anderson?" Ulang Ethan memperjelas. "Iya, Lucy Anderson, nama istri mendiang Mr Romanov, sekaligus Ibunya Fiona, Ethan." "Apalagi yang Ayah katakan?" "Ayah bilang, dia tidak bersalah dan aku menyesal karena sudah membunuhnya." "Livy, jangan bercanda!" Peringat Ethan penuh ketegasan. "Ethan, aku sama sekali tidak bercanda. Karena itulah, dulu aku meminta kamu untuk mencari tahu, apa alasan Mr Romanov membunuh orang tua kita?" Livy berkata dengan rasa frustrasi yang begitu besar. Ethan memeluk Livy yang terlihat sekali sangat frustasi. "Aku akan segera menyelidikinya, mulai dari awal lagi." "Ethan, bagaimana jika sebenarnya orang tua kitalah yang bersalah?" Livy tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai semua dugaannya benar. "Bagaimana jika sebenarnya, orang tua kita benar-benar sudah membunuh Ibu Fiona, karena itulah, Mr Romanov membalas kematian istrinya dengan cara membunuh orang yang sudah membunuh istri sekaligus Ibu dari anaknya, Fiona, dan orang tersebut adalah orang tua kita, Ethan," lanjutnya dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi wajahnya. "Tenanglah, Livy." "Aku tidak akan bisa tenang, sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ethan." "Aku tahu, karena itulah aku akan mencari tahunya lagi." "Jika sampai hal itu memang benar, maka kita adalah orang yang kejam sekaligus jahat, Ethan, karena kita sudah merenggut semua kebahagiaan Fiona." Orang tuanya membunuh Ibu Fiona, lalu dirinya dan Ethan sudah membunuh satu-satunya keluarga yang Fiona miliki, yaitu Ayahnya. "Itu semua belum tentu benar, Livy." Ethan terus menenangkan Livy yang sekarang sudah menangis sesegukan dalam pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD