03. Hari Pertama di Kantor

1473 Words
"Kalian semua pasti bertanya-tanya kenapa saya mengumpulkan kalian di sini, bukan?" kata Ryan menatap seluruh karyawan perusahaannya yang ia kumpulkan di aula perusahaan. Seruan 'Iya Pak' memenuhi ruangan aula itu. "Saya ingin memperkenalkan penerus perusahaan ini, Putra saya, Rasi Arion Rajendra," ujar Ryan dengan senyuman lebar. Rasi dengan santai berjalan ke depan, tepat Papanya. Masih dengan raut wajah datar ia memperhatikan seksama seluruh pegawai yang dikumpulkan Papanya. "Rasi akan mulai masuk ke kantor hari ini, jangan karena Rasi masih muda kalian meragukan keterampilannya dalam memimpin perusahaan ini kalian jadi bersantai dalam bekerja," peringat Ryan. Ryan mundur satu langkah dan membiarkan Rasi mengambil alih podium aula. "Saya harap kita semua dapat bekerja sama, saya tidak suka dengan pagawai yang suka malas-malasan," kata Rasi datar. "Siap, Pak Rasi!" seru mereka serempak. "Baiklah, semuanya kembali ke ruangan masing-masing dan lanjutkan pekerjaan kalian," titah Ryan. Dengan patuh mereka semua membubarkan diri dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Perlahan aula menjadi sepi, Rasi berjalan beriringan dengan Papanya yang diikuti oleh Aldino yang berjalan di belakang. Setibanya di ruangan kerja milik Ryan yang kini sudah menjadi milik Rasi, Ryan tak banyak bicara begitu pula dengan Rasi. "Papa harap kamu bisa membuat perusahaan kita semakin sukses dan besar, tetap fokus pada kuliahmu dan perusahaan. Kamu juga Dino," ujar Ryan, memberi nasihat pada putranya dan Aldino, keponakannya. "Siap, Om!" sahut Aldino semangat. Berbeda dengan Rasi yang hanya menanggapi dengan anggukan kecil. "Ya udah, Papa pergi dulu." Ryan pun berlalu keluar dari ruangan Rasi dengan langkah santai. "Hati-hati, Om! Dino titip salam sama Tante Malika!" seru Aldino dengan suara yang lumayan keras. Ryan hanya membalas dengan acungan jempol kanannya dan kembali berjalan keluar. "Anak durhaka lo, dasar!" cibir Aldino pada Rasi. Rasi hanya menatap Aldino datar. "Kerjain aja tugas lo, jangan ikut campur!" ketusnya. Aldino bersungut-sungut. "Terserah lu dah." Aldino pun keluar dari ruangan Rasi dan mulai menyelesaikan tugasnya yang baru ia dapat hari ini, hari pertamanya bekerja. Lama terdiam, Rasi akhirnya menghembuskan napas berat. Cowok itu berdiri dan berpindah duduk ke kursinya, ia menatap setumpuk map yang lumayan banyak di meja. Entah kenapa Rasi merasa Papanya terlalu buru-buru memutuskan memperkenalkannya sebagai pengganti sang Papa. Rasi tidak menyesal, dari beberapa tahun lalu dia juga sudah di siapkan dengan hal ini. Memimpin perusahaan, hanya saja ini masih terlalu cepat untuknya. Menghela napas lagi, Rasi mengambil satu laporan dan mulai memeriksa laporan itu. Aktivitas itu ia lakukan berulang-ulang dengan laporan yang berbeda. Rasi hanya bisa berharap tugasnya di hari pertama ini dapat selesai dengan cepat agar ia bisa menyelesaikan skripsinya di apartemen. *** Hari ini Aafia izin untuk tidak datang ke kampus karena badannya yang tiba-tiba panas. Malam tadi, sekitar hampir jam dua belas keringat dingin terus keluar dari tubuh gadis itu. Erangan dan gumamannya terdengar jelas hingga ke kamar kedua orangtuanya yang berjarak dua kamar dari kamarnya. Jam kini sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Aafia masih bergelung di dalam selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Setelah mengelap tubuhnya dengan air hangat pagi tadi, Aafia kembali tidur karena ia merasa badannya sangat lemas. Cklek! Irene dengan langkah pelan masuk ke kamar Aafia, wanita paruh baya itu masih terlihat cantik walau usianya tidak lagi muda itu pun mendekati ranjang queen size Aafia. Irene meraba-raba kening Aafia, suhu badan putrinya sudah berangsur menghilang. "Aafia, bangun dulu. Kamu belum minum obat," ujar Irene sambil menepuk pelan bahu Aafia. Aafia mengerang ia berubah posisi menjadi menghadap Mamanya, matanya perlahan terbuka dan menatap Irene dengan sayu. "Obatnya pahit," keluhnya lalu menggeleng. Irene terkekeh geli. "Obat memang pahit, kalau nggak pahit bukan obat namanya, Fi." "Lagian kamu calon dokter, masa takut sama obat," lanjut Irene kemudian terbahak. "Nggak ada hubungannya, Ma," sahut Aafia sebal. "Ada dong!" Aafia menghela napasnya dan kemudian mengubah posisinya menjadi duduk, lelah berdebat dengan Irene. Gadis itu mengambil tablet obat yang diberikan Irene, dengan cepat ia menelan obat itu dan langsung meneguk air putih banyak-banyak. Irene hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Aafia yang minum obat seperti anak kecil. "Demam kamu sudah mulai turun, istirahat lagi gih, biar besok badan kamu fit kamu nggak lupa kan acara makan malam besok?" ujar dan Irene panjang lebar. Aafia hanya mengangguk sebagai jawaban. "Fia ingat." "Bagus," gumam Irene. Irene pun merapikan letak bantal Aafia dan mengelus rambut Aafia dengan sayang. "Istirahatlah." Aafia mengangguk kecil. Irene pun berjalan keluar kamar Aafia, wanita berumur empat puluhan itu berjalan ke ruang kerja suaminya, David. "Ada apa, Ma?" tanya David yang melihat kedatangan sang istri ke ruang kerjanya. Irene menghela napas. "Mama takut Aafia bakal nolak," ujar Irene, wanita itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Menghela napas, David melepaskan kacamata yang ia pakai dan menatap Irene. "Dia pasti mengerti," balasnya. "Bagaimana kehidupannya nanti? Aafia belum bekerja, begitu juga dengan dia," kata Irene cemas. "Tenang saja, hari ini putra Ryan sudah mengambil alih perusahaan keluarganya, dan dengan itu ia pasti sudah bisa membiayai kehidupannya dan Aafia setelah menikah," sahut David santai. Irene menghela napas, "Aku berharap Aafia dapat bahagia nantinya." "Pastinya." "Aku tidak bisa bayangkan jika Aafia mengalami hal seperti Dalia," ujar Irene. Wanita itu bergidik ngeri dengan apa yang ia pikirkan sekarang. "Aku pastikan hal itu tidak akan terjadi," sahut David, menenangkan. *** "Etdah, baru hari pertama kerjaannya udah numpuk banget. Nyesel gue nerima tawaran bokap lo, Si," keluh Aldino pada Rasi yang masih terfokus pada laptop di depannya. "Nanti juga terbiasa," sahut Rasi acuh tak acuh. Aldino berdecak kemudian melirik arlojinya di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam satu siang, istirahat sudah sejak satu jam yang lalu dan ia baru sadar kalau dirinya dan Rasi belum makan siang. "Jam makan siang udah lewat, tapi gue mau makan. Lo ikut nggak?" tanya Aldino menatap Rasi menunggu jawaban. "Eng-" "Alah, sok nolak lu. Perut lu udah bunyi dari tadi tuh," seloroh Aldino cepat. Aldino berjalan ke samping meja Rasi, kemudian mematikan laptop putih itu. Pria berumur dua puluh empat tahun itu pun menarik Rasi dan menyeret sepupunya itu keluar. "Nggak usah ditarik juga!" cetus Rasi, ia menepis tangan Aldino dengan kasar. "Iya Pak iya, yodah ayo!" Aldino berseru dan berjalan ke kantin perusahaan lebih dulu. Menghela napas sejenak, Rasi pun melanjutkan kembali langkahnya menuju kantin perusahaan. "Eh Pak Rasi, bapak mau makan siang ya?" pertanyaan ramah itu keluar dari mulut Naila. Naila yang kemarin masih menjabat menjadi sekretaris Ryan pun terpaksa berpindah tempat menjadi asisten wakil direktur. Sedangkan posisi sekretaris sekaligus asisten Rasi digantikan oleh Aldino, sepupunya sendiri. Rasi menatap Naila, hanya senyum singkat yang ia keluarkan. "Lain kali panggil saya Rasi aja, jangan Pak. Saya nggak setua itu, mbak Nai," ucapnya. Naila pun mengangguk kaku, "Kalau begitu saya permisi, Rasi." Wanita berumur dua puluh lima tahun itu pun berlalu meninggalkan Rasi dan Aldino yang masih berdiri di depan pintu masuk kantin perusahaan. "Baru tau gue ada yang bening di sini, namanya siapa?" tanya Aldino penasaran. Mata pria itu terus menatap punggung Naila yang kian menjauh. "Naila," sahut Rasi. Rasi kembali berjalan masuk ke kantin dan diikuti oleh Aldino. "Dia bagian mana?" tanya Aldino lagi. "Asisten wakil direktur, Pak Gilang," jawab Rasi sambil mengambil piring yang akan ia isi dengan nasi dan lauk. "Lah kok di-" "Sekali lagi lo nanya sama gue, gue lempar nih piring ke wajah lo!" sentak Rasi kesal. Aldino nyengir, "Lo ada nomor hpnya nggak?" Rasi menatap Aldino tajam, ia melirik piring di tangannya dan kemudian menatap Aldino, menatap bergantian seakan mengancam Aldino. "Oke gue diem." Aldino pura-pura fokus mengambil makanan untuk dirinya dan tidak mempedulikan Rasi lagi. Setelah mengambil makanan masing-masing Rasi dan Aldino pun melahap makan siang mereka diselingi beberapa topik mengenai skripsi Rasi dan juga masalah pekerjaan. *** S. Aurora. Lo kemana, Fi? Kok ngga masuk? Kira-kira begitulah isi pesan dari Syakila, sahabatnya itu menanyakan dirinya yang tiba-tiba tidak masuk kelas hari ini. Bukankah ia sudah memberi kabar? Ah iya, dia hanya memberikan kabar pada dosennya. Aafia pun menggelengkan kepalanya. Aafia G. Sullivan. Sakit. S. Aurora. Sakit apa? Tumben ada penyakit yang hinggap di badan lo :v Aafia G. Sullivan. -_- S. Aurora. Btw, tadi Farrel nanyain lo, gue bilang lo ga masuk. Terus tampangnya kecewa gitu, Fi. Alis Aafia terangkat naik melihat pesan Syakila barusan, Farrel mencarinya? Kenapa? Aafia G. Sullivan. Udah dulu ya, hp gue lowbatt. Tanpa menunggu jawaban dari Syakila Aafia segera mematikan data seluler hpnya dan menutup aplikasi w******p-nya. Ia sengaja menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak masuk akal, yang mungkin akan Syakila tanyakan sebentar lagi. Jujur, Aafia merasa sedikit seram. Selain karena ia baru mengenal Farrel beberapa menit, ia juga ngerasa ada yang aneh dengan Farrel saat menatap dirinya di kantin kemarin. Aafia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan setiap pikiran buruk yang menghampiri dirinya. Mungkin saja itu tidak akan terjadi, berpikirlah positif Aafia! ㅡbatin Aafia. *** jangan lupa tap love dan komen banyak² biar aku semangat ya! ♡ follow akun dreame dan ** ku agar mendapatkan info ttg semua ceritaku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD