bc

Iridescent

book_age16+
961
FOLLOW
4.9K
READ
family
fated
arranged marriage
goodgirl
brave
drama
sweet
bxg
mystery
first love
like
intro-logo
Blurb

[15+]

Aafia, mahasiswi kalem yang hobi belajar dan ngemil, harus berhadapan dengan Rasi. Kedua orangtua Aafia mempercayakan putrinya pada seorang Rasi Arion Rajendra. Si pria kaku, dingin dan tak banyak ekspresi tetapi sangat baik dan perhatian.

Rasi adalah senior Aafia walaupun mereka berbeda jurusan. Mereka menikah dengan alasan yang berbeda-beda. Hidup berdua dengan Rasi membuat Aafia sadar bahwa pria yang menjadi suaminya itu sangat misterius dan banyak menyimpan rahasia yang tertutup rapat dibalik wajah malaikatnya.

Awalnya Aafia kira pernikahannya dengan Rasi akan berjalan normal-normal saja. Namun tidak, terlebih Rasi menyimpan sejuta rahasia yang tidak Aafia ketahui selama ini. Karena ternyata, suaminya itu… mengidap Post Traumatic Stress Disorder.

chap-preview
Free preview
01. Aafia Gamila Sullivan
“Aafia, habis kelas kamu langsung pulang ya, temani Mama ke butik,” ujar Irene, Mama Aafia. Wanita berumur empat puluhan tahun itu pun mendorong piring kecil yang berisi roti selai cokelat pada Aafia. Aafia yang sedang mengambil roti selai cokelat yang telah di buatkan oleh Irene pun mengangguk patuh. “Iya, Ma.” Irene tersenyum lembut menatap Aafia yang lahap memakan roti selai cokelat yang ia buat. “Kamu mau bawa bekal?” tanyanya. Anak perempuan itu tampak berpikir sebentar kemudian menggeleng. “Nanti cuma ada dua kelas, jadi pulangnya cepet. Nanti Fia bisa makan di kantin kalau lapar.” Irene pun mengangguk mengerti. “Jangan makan makanan sembarangan, ya.” Aafia hanya mengangguk sebagai jawaban dan kembali menggigit dan mengunyah rotinya. Tap... Tap... Tap... Suara derap langkah kaki yang berjalan menuju ruang makan pun terdengar di telinga Irene dan Aafia. “Good morning,” sapa David, Papa Aafia. Pria paruh baya itu meletakkan tas kerjanya di salah satu kursi dan mencium pipi Aafia seperti biasanya. Setelah itu ia memakan sarapan yang telah dibuat Sang istri. “Pagi, Pa.” Aafia menyahut dengan memberikan senyum cerahnya pada sang Papa. “Kamu mau tambah lagi, Fia?” tawar Irene. Aafia menggeleng. “Udah jam tujuh, Fia ada kelas pagi ini. Fia berangkat dulu.” “Dah Pa, Ma.” Anak perempuan itu pamit tak lupa mencium pipi kedua orangtuanya karena itu kebiasaan yang sudah sejak kecil ia lakukan. Aafia masuk ke dalam mobil nya dan mulai menstarter mobilnya. Beberapa menit kemudian mobil Aafia sudah melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Lima belas menit kemudian Aafia sampai di kampusnya dan ia dengan cepat mencari parkiran yang mulai dipadati oleh kendaraan mahasiswa lainnya. Gadis itu keluar dari mobilnya, ia mengambil tas ransel dan beberapa kertas tugas miliknya yang sengaja tidak ia masukkan ke dalam tas. Aafia berjalan dengan langkah pelan hingga suara seorang perempuan menyentaknya. “Lima menit lagi kelas mulai, Ayo Aafia!” seru Syakila, sahabat Aafia sejak masa SMA. Aafia mengangguk, ia berjalan cepat mendekati Syakila dan berjalan beriringan dengan sahabatnya itu menuju kelas. *** Srett... “Hey!” seru Syakila pada mobil hitam yang melaju dengan kencang, hampir saya ia terkena serempet mobil hitam itu. Ayolah, ini masih arena kampus! Tidak boleh mengebut! “Kamu gapapa, Sya?” tanya Aafia dengan raut wajah khawatir. Anak perempuan itu memang berjalan bersisihan dengan Syakila. Syakila menggeleng. “Gapapa, ya udah ayo!” Syakila menarik tangan Aafia agar mengikuti dirinya kembali, tujuan mereka sekarang ada kantin utama.  Kantin utama merupakan kantin yang paling besar di universitas mereka. Bukan mereka tidak mempunyai kantin yang lain, di setiap fakultas terdapat satu kantin. Namun hari ini Syakila akan mengajak Aafia ke kantin utama untuk bertemu dengan anak-anak dari jurusan lain. Aafia harus memiliki teman selain dirinya, dan mungkin kalau Aafia mendapat pacar boleh juga. ㅡbatin Syakila sambil terkekeh. “Di sini sangat ramai,” bisik Aafia menghentikan langkah kakinya. Syakila hanya tersenyum kecil. “Udah, ayo!” Ia menarik tangan Aafia agar lanjut berjalan. “Lo mau pesan apa?” tanya Syakila. “Samain aja sama kamu,” sahut Aafia. Syakila tertawa. “Kenapa ketawa?” tanya Aafia heran. “Lo itu polos sama lucu tau gak si?! Apalagi pakai bahasa aku-kamu—aduh berasa gimana gitu,” gemasnya masih disertai tawa pelan. “Biasa aja, udah sana pesan. Aku lapar,” sungut Aafia. Syakila terkekeh geli dan ia pun meninggalkan Aafia menuju stan makanan untuk membeli makanan. Aafia mengedarkan seluruh pandangannya di kantin utama ini, banyak mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menghabiskan waktu mereka untuk mengisi perut sambil bersenda gurau. Mereka tampak sangat akrab, Aafia jadi iri. Ia hanya memiliki satu teman, Syakila. Aafia ingin memiliki banyak teman juga tapi ia tidak bisa bergaul karena ia merupakan sosok yang pendiam dan tidak banyak bicara, kecuali dengan Syakila. “Hai! Gue boleh duduk di sini gak? Pada penuh nih mejanya,” ujar seorang cowok tiba-tiba membuat lamunan Aafia buyar. Aafia meneliti wajah cowok di depannya, tampan. Memiliki hidung yang mancung, mata hitam legam, dan rambut hitam yang acak-acakan, meskipun acak-acakan tetap terlihat tampan. Aafia menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir pemikirannya yang menilai cowok itu dari atas sampai bawah, dan gerak tubuh Aafia itu di sadari oleh cowok yang tidak diketahui namanya itu. Senyum cowok itu mengembang. “Boleh gak nih?” tanya cowok itu lagi sambil tersenyum membuat ketampanannya semakin terlihat jelas. Aafia mengangguk. “Duduk aja,” balasnya. Cowok yang tidak Aafia ketahui namanya itu pun langsung duduk tepat di hadapan Aafia. “Lo nggak makan?” Aafia sekali lagi mengangguk. “Lagi nunggu pesanan,” jawabnya. “Oiya, nama lo siapa?” tanya cowok itu lagi. “Aafia.” Lagi-lagi cowok itu tersenyum. “Gue Farrel, dari jurusan kedokteran.” “Aku juga jurusan kedokteran, tapi kenapa aku jarang ngeliat kamu ya?” gumam Aafia pelan, pada dirinya sendiri. Beruntung ucapan gadis itu di dengar oleh Farrel. “Gue sering ngeliat lo sama Syakila, mungkin lo aja yang jarang liat gue,” sahutnya. Aafia menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Mu-mungkin iya.” Dia menjawab dengan canggung. “Ramai banget gila, gue cuma bisa mesen nasi goreng, Fi,” celetuk Syakila sambil membawa nampan yang berisi dua porsi nasi goreng dan dua teh es. Aafia hanya tersenyum kecil melihat Syakila yang tampak kesal karena sudah mengantri lama. “Eh, ada Farrel ya?” cetus Syakila baru menyadari kehadiran Farrel di sana. Farrel hanya tersenyum dan mengangguk. Dalam hati Syakila tersenyum puas. Ini kali pertamanya membawa Aafia ke kantin utama universitas, dan sudah ada satu cowok yang mendekat. Kemajuan yang lumayan untuk seorang Aafia bukan? *** “Boleh gue minta nomor ponsel lo?” pinta Farrel sambil menyerahkan handphone nya. Aafia terdiam, terlihat menimang-nimang apakah ia harus memberi tahu nomornya pada Farrel.  Syakila yang berdiri tepat di sebelah Aafia pun menyikut pelan pinggang Aafia seraya bergumam. “Udah, kasih aja. Nambah temen di kontak lo yang cuma ada nama gue sama keluarga lo,” suruhnya. Aafia pun mengangguk setuju karena apa yang dikatakan Syakila mungkin benar, ia pun mengambil ponsel Farrel dan mengetik beberapa digit angka dan kemudian menyimpannya. Aafia mengembalikan ponsel ke pemiliknya sambil tersenyum samar. “Tadi udah aku misscall, nanti aku save nomor kamu,” ujarnya. Farrel mengangguk. “Thanks, gue pergi dulu. Bye!” Farrel pun berjalan meninggalkan Aafia dan Syakila yang masih berdiri menatap kepergian Cowok itu. “Nah sekarang lo udah punya satu teman baru, Fi,” celetuk Syakila. “Gue pulang dulu, yakin nih nggak mau ikut gue main?” tanya Syakila. Aafia menatap sahabatnya ragu, tapi sedetik kemudian menggeleng tegas. “Aku ada janji sama Mama.” “Oh ya udah kalau gitu, bye!” Syakila melenggang pergi meninggalkan Aafia yang masih berdiri di samping mobilnya. Aafia menghela napasnya dan kemudian membuka pintu mobilnya, ia masuk dan mulai menstarter mobilnya. Beberapa detik kemudian mobil Aafia sudah melaju membelah jalanan kota Jakarta yang sangat ramai. Sekitar sepuluh menit, Aafia tiba di sebuah butik bernama The Sullivan beautique, butik milik Mamanya. “Ma,” panggil Aafia dengan suara yang pelan namun dapat didengar oleh Irene. Irene menoleh sebentar menatap putrinya yang duduk di sofa ruangannya. “Kenapa, Fi?” tanyanya kembali fokus pada buku di depannya. “Mama kenapa nyuruh aku ke sini? Ada yang bisa Fia bantu?” tanya anak perempuan itu, mendekat ke meja sang Mama. Irene menepuk dahinya dan berseru, “Ya ampun Mama lupa, hari ini Mama mau ngajak kamu belanja.” Aafia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Belanja apa lagi Ma? Perasaan baru dua hari yang lalu kita belanja alias Shopping,” ujarnya. Irene hanya tersenyum. “Adalah, ya udah sekarang kita pergi. Ayo!” Irena menarik tangan Putrinya agar mengikuti dirinya, dan tak lama mereka tiba di depan mobil Irene. Irene pun menyuruh Aafia segera masuk dan begitu pula dirinya yang masuk dan duduk di balik kemudi. “Kita ke mana? Ke PIM lagi?” tanya Aafia. Irene dengan semangat mengangguk sebagai jawaban.  Sekitar lima belas menit di perjalanan, akhirnya Irene dan Aafia tiba di Pondok Indah Mal. Mereka berdua berjalan ke sana kemari, masuk ke beberapa toko dan keluar dengan menjinjing beberapa paper bag yang berisi belanjaan mereka. “Pulang sekarang ya Ma? Fia capek, udah sore juga,” pinta Aafia sedikit memelas. Irene menatap tidak tega pada Aafia, “Kita makan dulu ya? Abis itu baru pulang,” putusnya. Aafia mengangguk dan kembali mengikuti Irene yang berjalan ke sebuah tempat makan terdekat dari tempat mereka berdiri. “Lusa temen Papa datang, jadi kamu harus ada di rumah. Malamnya kamu nggak ada tugas atau rencana lainkan, Fi?” tanya Irene sambil menyeruput lemon tea miliknya. Aafia menggeleng sebagai jawaban dan kembali mengunyah steaknya. Irene tersenyum puas, rencana pertamanya telah berhasil. Aafia berhenti makan dan menatap Mamanya dengan mata yang memicing. “Memangnya siapa yang datang, Ma?” Irene hanya menyeringai, “Nanti kamu juga bakal tau,” sahutnya. “Oh iya, setelah ini kita beli dress buat kamu, hampir aja Mama lupa.” Irene kembali bersuara. “Tapi kata Mama langsung pulang,” protes Aafia tidak setuju. Irene menggeleng tegas. “Setelah baju kamu dapat, kita baru pulang.” Aafia pun hanya bisa diam, tidak protes lagi karena ucapan Mamanya sudah seperti perintah baginya. Dan ingat pasal satu, Mamanya selalu benar. Tidak boleh protes atau membantah ucapan Irene. Aafia hanya berharap ia segera mendapat dress yang bagus agar tidak perlu mengelilingi Mal ini lagi lebih lama.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.4K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook