Seraphine telah mengajarinya beberapa sihir yang berguna sebagai perlindungan diri. Ia pun cukup terkejut bahwa ia bisa melakukan sihir meski tidak sehebat Seraphine. Saat kecil ia pernah mendengar beberapa orang menyebut bahwa ibu kandungnya adalah seorang penyihir. Mungkin itu sebabnya ia bisa melakukan sihir. Salah satu dari semua sihir perlindungan yang pernah diajarkan Seraphine adalah sihir refleksi. Sebuah sihir yang mampu membuatnya melihat kejadian di luar dirinya melalui mantra yang diletakkan pada orang lain.
Iselin memiliki seekor burung gagak yang sudah ia gunakan untuk melihat berbagai macam hal di luar istana sejak lama. Melalui jendela kamarnya ia memanggil gagak itu dengan siulan yang khas. Hanya dalam beberapa detik saja gagak itu datang, terbang mendekatinya dan hinggap di tangannya yang terulur.
“Aku perlu bantuanmu,” ucapnya pada burung itu.
Mantra diucapkan. Ia perlu membuat gagak itu menatap matanya agar mantranya bisa bekerja. Setelah kedua mata gagak itu terpaku menatapnya dan samar-samar berubah warna menjadi agak keunguan, artinya mantranya telah berhasil.
“Pergilah ke jendela kamar Sang Raja. Menetaplah dan lihatlah ke dalamnya. Tapi jangan terlalu dekat.”
Iselin mengangkat tangannya ke atas untuk menerbangkan burung itu ke luar. Mantra refleksi hanya bekerja selama tiga menit. Ia perlu memerhatikan sebaik mungkin apa yang terjadi pada Seraphine di dalam sana. Ia duduk di tempat tidurnya, mengembuskan napas panjang sebelum mengucapkan mantra untuk mengaktifkan penglihatan mantra refleksi di matanya.
Burung gagak itu terbang melintas di atas tempat latihan para kstaria. Jauh di depannya terlihat ujung dari pepohonan di hutan yang berada di belakang istana. Burung itu berbelok sembilan puluh derajat ke kanan dan terbang turun. Ia hinggap di pinggiran atap yang ada di bangunan di samping kamar Raja.
Kekurangan dari mantra refleksi hanyalah tidak bisa mendengar apa yang dilihat. Tapi tentu saja alasan lainnya adalah karena burung itu berada di luar. Melalui penglihatan gagak itu ia melihat Seraphine sedang berbicara dengan Sang Raja. Amos dan Ophelia juga ada di sana. Ophelia selalu berada di samping Sang Raja semenjak datang ke sini karena ia telah banyak membantu Sang Raja melakukan penaklukan di wilayah lain dengan sihir hitam. Melihat dari ekspresi wajah yang ditunjukkan, Sang Raja berbicara dengan nada tinggi. Seraphine memperlihatkan ekspresi kesal seolah ia membantah perkataan Sang Raja. Sang Raja lalu melangkah mendekati cermin mewah yang selalu ingin dilihatnya dari dekat itu. Mulutnya bergerak, berbicara di depan cermin. Tak lama kemudian sebuah gerakan melingkar berwarna hitam muncul di sana dan membentuk sesosok makhluk hitam bertudung yang mirip hantu.
Sang Raja berbicara dengan makhluk mengerikan di dalam cermin itu. Andai ia bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena ia baru mengetahui bahwa itu adalah cermin sihir. Tapi tak lama kemudian, cermin itu membuat gerakan berputar lagi yang kali ini memperlihatkan gambar seseorang.
Itu dirinya. Sedang duduk di posisi yang sama persis dengan posisinya sekarang.
Keterkejutan mewarnai wajahnya. Namun gambaran yang ada di kamar Sang Raja itu segera berakhir karena batas waktu mantranya telah habis. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Pertanyaan besar muncul di dalam kepalanya.
Klek. Klek.
Suara itu berasal dari pintunya. Seseorang berusaha membuka pintu yang sudah ia kunci. Iselin bangkit dan segera mengambil belati pemberian Seraphine yang ia sembunyikan di bawah bantalnya. Ia mendekati pintu, menyeret meja kabinet di sampingnya dan menggunakannya sebagai penahan pintu. Pintu itu berhasil dibobol. Orang yang berada di luar mencoba mendorongnya sementara Iselin berusaha menahannya sekuat mungkin.
“Singkirkan ini, sialan!”
Iselin tak tahu siapa pria itu. Tapi mendengar dari suaranya sepertinya ada lebih dari satu orang. Orang-orang yang berada di luar mencoba mendorong pintu itu secara bersamaan. Iselin bisa merasakan bahwa dirinya sudah tak mampu menahannya lebih lama. Kekuatan yang tak sebanding membuatnya terjatuh ke belakang dan pintu berhasil dibuka.
“Dengar, wanita lusuh! Sebaiknya kau tetap diam atau aku akan melukaimu,” salah satu dari tiga pria mengancamnya dengan menodongkan pedang padanya.
Iselin merangkak mundur hingga ia tersudut oleh dinding. Ia begitu takut. Ia bisa melihat bagaimana tatapan ketiga pria itu memandangnya. Mereka mencoba mendekatinya, menyentuhnya dan menahan wajahnya. Salah satu dari mereka mencoba menciumnya. Belati yang masih ada di genggamannya terangkat dan mengayunkannya di depan wajahnya. Sebuah goresan besar terukir di wajah pria itu.
Jeritan kesakitan menggema di kamar tersebut. Pria itu memasang ekspresi ngeri saat mengetahui wajahnya terluka dan berlumuran darah. Dalam kesempatan itu Iselin bangkit dan berusaha berlari keluar. Namun dua pria yang tersisa berhasil menghentikannya dan menahannya ke tanah. Kini ia tak bisa bergerak sama sekali.
Ia menjerit, berteriak-teriak meminta pertolongan. Namun ia tahu bahwa pertolongan tidak akan datang untuknya karena kamarnya berada di paling belakang dan jauh dari kamar-kamar yang lain. Ia sendirian di tempat itu. Pria yang berhasil ia lukai wajahnya tadi berjalan mendekatinya dengan ekspresi siap menghabisinya. Rasa sakit, kesal, marah dan dendam tergambar di wajah yang terluka dan berlumuran darah itu. Pria itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, bersiap untuk menebasnya.
Namun sebelum pedang itu terayun padanya, sebuah suara yang familier terdengar di belakangnya. Suara itu mengucapkan mantra dan membuat ketiga pria di hadapannya terjatuh tak sadarkan diri.
“Iselin!”
Seraphine menghampirinya dengan menjalankan kursi rodanya begitu cepat. Rasa gugup dan ketakutan membuat tubuhnya tak seimbang sehingga ia terjatuh dari kursi rodanya. Melihat hal itu, Iselin segera berlari mendekati Seraphine.
“Apa Ibu baik-baik saja? Yang mana yang sakit?”
Seraphine mengangkat tangannya menghentikannya. “Lupakan soal aku. Pergilah dari sini. Bawa senjatamu sebagai perlindungan diri dan pergilah sejauh mungkin dari sini!”
Iselin masih tak mengerti. Namun wajah ibu tirinya terlihat begitu ketakutan.
“Untunglah aku mengambilnya terlebih dulu.” Seraphine menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hitam padanya. “Segera pergi dari sini! Raja sedang menuju kemari untuk membawamu. Dia ingin mengambil jantungmu! Pergi! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!”
Melihat wajah histeris Seraphine dan apa yang dikatakannya, Iselin terdiam sesaat sebelum pendengarannya menangkap suara keributan di luar. Seseorang menuju ke tempat mereka. Iselin berbalik untuk mengambil belatinya yang tergeletak dan segera pergi dari sana, meninggalkan Seraphine yang menangis sendirian mengetahui apa yang akan dilakukan Sang Raja padanya. Ia ingin sekali membawa Seraphine bersamanya, namun ia tak bisa melakukannya karena ia sudah mendengar keributan di belakangnya dan orang-orang itu sedang mengejarnya.
“Hentikan wanita itu!”
Ia berusaha menghindari orang-orang yang menghalanginya dan menghentikannya. Terlihat beberapa penjaga dan pelayan menghalanginya di depan sana. Ia menoleh ke sana kemari dengan gusar untuk menemukan jalan lain namun tidak melihatnya. Ia tersudut.
Seseorang menahan kedua lengannya dari belakang. Ia mencoba mengayunkan belatinya namun tangannya dipukul hingga membuat belati itu terjatuh dan disingkirkan. Kini ia tak bisa bergerak sama sekali dan terlihat Sang Raja, Amos beserta Ophelia datang menghampirinya.
Wajah Sang Raja dipenuhi kemarahan. “Dasar kurang ajar! Berani-beraninya kau lari!”
Ophelia terlihat tersenyum puas. Wanita itu menggerakkan kedua tangannya dan memunculkan gumpalan hitam pekat di sekitarnya dan mengarah padanya. Iselin bergerak-gerak cemas mencoba melepaskan diri. Ketika sihir hitam Ophelia hampir mengenainya, sebuah dinding tak kasat mata muncul di sekitarnya dan membuat gumpalan hitam itu terpental.
Ophelia terlihat terkejut. Wanita itu mencoba menyerangnya sekali lagi dan hal yang sama terjadi lagi. Ia merasakan sesuatu yang hangat di dalam sakunya. Ia menyadari bahwa sepertinya apa pun yang ada di dalam kotak kecil hitam pemberian Seraphine tadi lah yang melindunginya. Cengkeraman yang ada di kedua lengannya sedikit melonggar. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menarik kedua tangannya sekuat tenaga, berbalik dan berlari sekencang mungkin.
“Tangkap dia!” ia mendengar suara ayahnya di belakangnya.
Selama menggunakan burung gagaknya untuk melihat segala yang ada di luar dan di dalam istana, ia mengetahui beberapa jalan rahasia yang bisa ia gunakan untuk keluar dari sana. Meski termasuk jalan yang bisa dikatakan tidak terlalu aman, namun itu adalah satu-satunya jalan di mana tidak banyak orang yang akan menjaga di sana untuk menghalanginya. Jalan itu berada di bawah istana, tepatnya di penjara bawah tanah.
Penjara itu sangat lembab, memiliki bau darah yang tercampur dengan berbagai macam bau yang tidak sedap. Keadaannya juga cukup gelap, tapi beruntungnya ia sudah menghapalkan jalan untuk menuju ke pintu keluar itu melalui penglihatan gagak. Setelah berlari cukup lama, akhirnya ia melihat lubang tersebut yang mana adalah sebuah lubang ventilasi. Lubang itu berada di atas. Tidak terlalu tinggi namun ia perlu menaiki sesuatu untuk sampai ke sana.
“Berhenti kau!”
Orang-orang itu masih mengejarnya. Tak ada pilihan lain untuknya selain memanjat. Keadaan yang lembab membuat dinding di penjara bawah tanah itu basah dan licin dan membuatnya kesulitan. Tapi bagaimanapun juga ia harus bisa. Ia harus berhasil keluar dari istana terkutuk itu.
Setelah tangannya berhasil mencapai keluar, ia langsung mencengkeram rerumputan sebagai pegangan, menarik tubuhnya keluar dari sana dengan susah payah. Tetapi sebelum ia berhasil keluar sepenuhnya, kedua kakinya berhasil dicengkeram dan hampir membuatnya ditarik kembali masuk ke dalam kalau saja ia tak menggerak-gerakkan kedua kakinya dan menendang siapa pun itu yang memegangnya. Ia segera keluar dari sana dan berlari sekencang mungkin masuk ke dalam hutan.