Meski ia tahu seperti apa di dalam hutan tersebut, nyatanya ia tidak benar-benar mengetahui apa yang ada di dalam hutan itu karena selama ini ia hanya melihatnya melalui mata gagaknya, bukan memasukinya secara langsung. Penglihatan burung dan manusia berbeda. Ketika ia memasuki hutan itu secara langsung ia benar-benar tidak tahu ke mana harus pergi. Hutan itu terlihat berbeda di matanya. Semua jalan dan arah yang sudah ia hapalkan di dalam kepalanya sama sekali tak berguna sekarang.
“Iselin! Keluarlah sekarang. Hutan itu sangat berbahaya!”
Itu suara Ophelia. Selir terakhir Raja itu tak pernah berbicara dengan lembut padanya. Kalaupun ia melakukannya, pasti ada sesuatu yang tidak menyenangkan datang menghampirinya. Mereka masih mengejarnya sampai hutan. Ia sudah tak peduli lagi arah mana yang ia tuju untuk bisa keluar dari hutan itu. Ia hanya ingin menjauh dari mereka secepat mungkin.
Ada satu pohon yang ia kenali di sana saat menggunakan mata gagak. Pohon itu lebih kurus dari pohon-pohon yang lain dan memiliki bentuk seperti manusia yang sedang merentangkan kedua tangannya ke atas. Ia mengenali bahwa jalan di samping pohon itu adalah jalan menuju sebuah rumah kecil yang indah. Ia segera menuju jalan tersebut.
“Iselin…”
Suara Ophelia masih memanggilnya. Suaranya tidak terdengar jauh, namun juga tidak begitu dekat. Wanita itu sangat berbahaya. Apa pun yang terjadi ia harus menjauh dari Ophelia. Namun apa yang dilihat di depannya membuatnya hampir tak bergerak.
Pepohonan yang ada di depannya tiba-tiba bergerak menghalangi jalannya dan mengelilinginya. Dahan-dahannya yang kurus tiba-tiba bergerak meliuk-liuk seperti ular dan memanjang. Mereka semua bergerak ke arahnya, mengelilingi tubuhnya seperti sekumpulan ular yang melilitnya sampai mati. Iselin yang begitu ketakutan dan merasa jijik begitu histeris dan segera menyingkirkan ular-ular itu dari tubuhnya. Ia mencoba berlari namun kedua kakinya terasa sangat berat.
Ia sudah berdiri di tengah-tengah lumpur yang mencoba mengisapnya. Ia berusaha mengangkat kedua kakinya keluar dari sana dengan sekuat tenaga dan mencengkeram rerumputan saat ia berhasil sampai di pinggiran. Lumpur itu sudah mengisapnya sampai setengah badan. Ia menancapkan kuku-kukunya ke tanah, mencoba mengeluarkan tubuhnya dari lumpur itu. Ketika ia hampir berhasil menarik salah satu kakinya, sebuah dahan pohon tiba-tiba muncul dari dalam sana dan menariknya.
Saat ia hampir tenggelam sepenuhnya ke dalam lumpur itu, kotak pemberian Seraphine yang ada di dalam sakunya bersinar dan tiba-tiba lumpur yang ada di sekelilingnya menghilang dan pemandangan di sekitarnya berubah menjadi hutan yang sebelumnya dengan ia yang tertidur di tanah. Apa yang ia lihat hanyalah ilusi. Tidak ada dahan-dahan yang seperti ular atau lumpur isap. Semua hanyalah sihir ilusi yang dibuat oleh Ophelia.
Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera berlari sejauh mungkin sebelum Ophelia kembali menggunakan sihir ilusinya. Namun tidak lama setelah ia berlari, ilusi itu kembali lagi dan kini ia hampir terjatuh ke dalam danau yang dipenuhi dengan ular di dalamnya. Pohon-pohon di sana kini tidak lagi memiliki dahan-dahan yang seperti ular, tetapi mereka menyatu satu sama lain mengelilinginya dan membentuk sebuah kurungan untuknya.
“Aku akan membunuhmu!” suara Ophelia terdengar menghampirinya.
Ia bergerak mundur. Ia lupa bahwa di belakangnya ada danau berisi ular dan ia jatuh ke dalamnya. Ular-ular besar itu mengelilinginya, melilitnya dan mencekiknya hingga ia hampir kehabisan napas kalau saja cahaya dari kotak itu tidak kembali bersinar dan menghilangkan ilusi yang ada di sekelilingnya.
Itu bukanlah danau melainkan kubangan air yang dangkal. Iselin segera keluar dari sana sambil terbatuk-batuk dan terjatuh ke tanah.
“Kumohon berhenti! Kumohon…”
Ia memohon-mohon sambil menangis. Sihir ilusi Ophelia benar-benar mengerikan hingga membuatnya benar-benar bisa merasakan kematian yang mendekat. Ia terletang di tanah sambil menatap langit yang tidak begitu cerah dan pepohonan meranggas yang menatapnya dalam kebisuan. Benar-benar tidak ada apa pun di hutan itu yang membahayakan dirinya.
Tangannya merogoh sakunya untuk mengambil kotak tersebut. Ia ingin tahu apa yang ada di dalam sana yang melindunginya beberapa kali dari sihir Ophelia. Setelah membuka kotak tersebut, ia melihat sebuah kalung dengan permata Rubi.
Iselin kembali terisak dan mendekatkan kalung itu ke dadanya. Kalung dengan permata hijau yang pernah diberikan ibunya enam belas tahun yang lalu sudah hancur karena ibu tirinya pernah hampir menghabisinya yang ada di bawah kendali sihir. Kalung itu melindunginya hingga hancur berkeping-keping dan Seraphine terluka karenanya.
Iselin tak tahu bagaimana keadaan Seraphine sekarang. Ia hanya berharap ibu tirinya akan baik-baik saja sampai ia datang untuk menjemputnya. Tapi untuk sekarang ia perlu keluar dari hutan itu sebelum malam tiba.
***
Akhirnya ia menemukan rumah kecil yang pernah dilihatnya dalam mata gagak itu. Rumah itu terlihat begitu nyaman dan hangat. Iselin ingin memasukinya semenjak ia pertama kali melihatnya. Rumah itu dibangun di bawah tanah yang tinggi dan memiliki sebuah pintu berbentuk lingkaran. Pemilik rumah itu membuat kebun di depan rumahnya yang ditanami dengan berbagai macam sayuran. Ia mengenali beberapa sayuran yang ditanam seperti wortel, kentang, kubis, tomat, terong dan semacamnya yang bisa dimakan. Sebagian lagi ia tak mengenalinya. Iselin membuka pagar kayu yang ada di depannya dan berjalan mendekati rumah tersebut.
Ia mengetuk pintunya dan berucap, “Permisi.”
Namun tidak ada jawaban. Ia mengetuknya sekali lagi dan hasilnya tetap sama. Iselin mencoba menengok melalui jendela yang ada di sampingnya. Isi dari rumah itu membuatnya terpana.
Interiornya tidaklah mewah, namun terlihat rapi, nyaman dan begitu hangat. Ia yakin rumah kecil itu dapat membuatnya lebih hangat di saat musim dingin dibandingkan istana Raja yang besar. Itu adalah sebuah ruang tamu yang kosong. Tidak ada siapa pun di dalam sana.
Iselin kembali ke pintu. Ia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata pintunya tidak terkunci. Ia tahu ini tidak sopan dengan memasuki rumah seseorang tanpa permisi. Tetapi ia butuh tempat untuk beristirahat sejenak karena hari sudah sore dan tidak mungkin ia berlarian di hutan di malam hari. Ia hanya akan menginap semalam saja dan besok paginya ia akan pergi. Ia masuk ke dalam rumah tersebut.
Tidak seperti luarnya yang terlihat kecil, dalamnya terlihat lebih luas dari yang ia kira. Langit-langit atapnya juga lebih tinggi dari pintunya yang membuatnya harus menunduk saat masuk tadi. Bahkan seorang pria masih bisa berdiri tegak di dalam sana. Sesuai dugaannya bahwa rumah itu terasa hangat. Entah karena dibangun di dalam tanah atau karena ada sihir penghangat. Namun yang membuatnya penasaran adalah berapa lama rumah itu ditinggalkan karena lantainya terlihat berdebu dan ada sarang laba-laba yang menghiasi beberapa tempat di sudut.
Ada tangga yang menuju ke lantai atas. Iselin menaiki tangga tersebut dan melihat ada tujuh pintu yang ada di sana. Ia membuka pintu yang ada di tengah dan memasukinya. Itu adalah sebuah kamar.
Iselin memandangi sekeliling kamar itu untuk sesaat. Meski tidak luas kamar itu terlihat sangat nyaman. Tempat tidurnya seukuran tempat tidur miliknya di istana yang hanya bisa ditempati seorang saja. Namun dibandingkan tempat tidur lamanya, tempat tidur itu jauh lebih bagus dan nyaman. Dan benar saja, saat ia duduk di sana kasurnya terasa sangat empuk seolah ia duduk di atas gumpalan kapas. Ia merebahkan diri di sana dan menatap langit-langit atap.
Hari ini ia telah melewati banyak hal. Dari beberapa ksatria yang hampir melakukan sesuatu yang buruk padanya, melarikan diri dari istana dan kejaran Sang Raja, lalu menghindari tipuan ilusi Ophelia yang mengerikan di hutan. Tubuhnya terasa remuk dan otot serta tulang-tulangnya seakan menjerit meminta untuk beristirahat. Ia perlu tahu kabar Seraphine apakah ia aman setelah meninggalkannya sendirian di sana. Tapi untuk saat ini, ia perlu memejamkan matanya dan mengistirahatkan tubuhnya yang begitu lelah.