“Lagi pula, jika pun Raja Orion tidak mencelakai istrinya. Belum tentu Cleosana tidak,” bisiknya lagi.
“Cleosana?” tanya Lettasya. “Siapa itu?”
“Hei kalian berdua!” seru seorang prajurit dengar suara nyaring kepada mereka. “Cepat maju!”
Seketika wanita tadi membungkam mulutnya dan mengikuti perintah dalam diam. Begitu pun dengan Lettasya. Hanya tersisa sekitar lima orang lagi sebelum dirinya sendiri yang diperiksa. Namun tidak sedikitpun Lettasya gentar, dia sudah kehilangan segalanya dan apa bila ini adalah satu-satuny jalan yang harus ia lalui untuk menemukan kembali adiknya. Dia akan tetap maju.
Satu langkah kembali diambil Lettasya ketika jubahnya mendadak terasa berat. Begitu ia menoleh, ternyata seorang bocah laki-laki yang menariknya sambil menangis memanggil ibunya. Hati Lettasya tergugah. Ia pun berjongkok untuk mensejajarkan tubuh sebelum kemudian mengusap lembut pipi gemuk anak itu untuk menghapus air matanya, lalu memberi sebuah pelukan sambil berbisik.
“Jangan menangis lagi, ya! Ibumu pasti akan menemukanmu,” ujarnya sambil mengelus punggung bocah laki-laki itu agar tenang.
Namun, ketika Lettasya berusaha mengurai pelukan mereka anak itu memeluknya erat seolah tidak mau lepas.
“Kau tahu rumahmu di mana?”
Bocah tersebut menggeleng.
“Kau tahu siapa nama orang tuamu?”
Dia kembali menggeleng.
“Hei kau! Jangan berjongkok di sana! Maju.”
Untuk ke sekian kalinya prajurit yang sama memberi bentakan. Wanita yang sebelumnya berbincang dengan Lettasya sudah berhasil melewati perbatasan, sepertinya ia lolos pemeriksaaan. Maka Lettasya pun akirnya bergerak bangkit membawa serta bocah laki-laki itu ke dalam gendongannya. Lettasya memahami bagaimana rasanya menghilang sendirian dan ia pun yakin mungkin anak ini seperti dirinya. Berharap ada siapa pun yang bisa membawa ia kembali ke rumah.
“Kau sudah mempunyai anak rupanya,” ujar pria lain yang seharusnya memeriksa punggung Lettasya.
“Jalan!” titahnya.
Dan begitu saja Lettasya sudah lolos dari pemerikasaan. Tidak ada yang memeriksa bahunya. Maka dengan senang hati, ia pun mengambil langkah pertamanya memasuki wilayah ibu kota sambil menimang bocah dalam gendongannya yang mana tangisannya sudah mulai mereda.
Beberapa langkah di depan banyak sekali pedagang yang menjajakan barang jualannya sebagaimana layaknya pusat wilayah seperti di negara Lettasya.
“Hei, kau bisa mendengarku? Di mana rumahmu?”
Bocah itu hanya menggeleng lemah. Kedua tangannya memeluk Lettasya dengan erat hingga ia terlalu iba untuk meninggalkannya. Lettasya bukan termasuk golongan orang yang menyukai anak kecil, lagi pula siapa yang bisa ia ajak bermain selain Theona?
“Apa kau haus?”
Kali ini bocah tersebut mengangguk.
*****
“Siapa namamu?” tanya Lettasya yang berjongkok memperhatikan bocah laki-laki yang makan begitu lahap di depannya. Namun, dia masih belum mendapat jawaban.
Apakah mungkin anak ini bisu? Atau tidak mendengar? gumaamnya dalam hati.
“Orang tuamu sekarang pasti sedang kalut mencarimu.”
Beberapa waktu kemudian roti gandum kedua sudah dihabiskan oleh si bocah. Beruntung Lettasya mengambil beberapa keping koin emas yang masih tersisa di istanannya. Lettasya baru menyadari jika bocah di depannya ini terlalu kurus untuk anak seusianya, mungkin ia memang telah berpisah dengan keluarganya begitu lama hingga kesulitan menemukan makanan. Meski begitu matanya tampak berbinar senang.
“Apa kau masih lapar”
Bocah itu mengangguk. Lettasya yakin anak ini tidak tuli. Dengan lembut Lettasya mengelus kepalanya sambil tersenyum.
“Kalau begitu, kau tunggu di sini. Aku akan membelikanmu satu lagi.”
Maka Lettasya pun kembali mendatangi penjual roti. Ia mengeluarkan kantung uang dan menatap kepingan yang tersisa. Lettasya tidak yakin apakah uang yang ia punya cukup sampai dirinya menemukan Theona, tapi ia juga tidak mungkin membiarkan anak itu kelaparan.
Baru saja 3 keping perak milik Lettasya berpindah tangan, terdengar kegaduhan. Hingga jeritan beberapa orang di sana. Gadis itu terkesiap saat ia menoleh dan mendapati bocah laki-laki yang semula duduk menunggunya tergeletak di tanah dengan beberapa luka. Secepat mungkin Lettasya menghampiri anak tersebut.
“Hei, bangun.”
Tak jauh dari tempat bocah laki-laki itu tergeletak dua ekor kuda yang membawa barang yang juga tampak berjatuhan.
“Apakah dia anakmu? Seharusnya kau menjaganya dengan benar.”
Alih-alih meminta maaf dan mengkhawatirkan anak kecil yang terluka oleh kereta kuda, pria bertumbuh gempal dengan kumis dan janggut panjang di dalam kereta itu melongok sambil bersungut-sungut.
Barang kali Lettasya memang putri kerajaan yang lahir dan tumbuh di istana, tapi dia juga pernah hidup di dunia luar dan gadis itu sama sekali tidak merasa gentar dengan siapa pun yang ada di dalam kereta. Mata hazelnya menatap nyalang seolah menantang.
“Sekarang kau bahkan berani menatapku dengan pandangan seperti itu?”
Pria tua itu akhirnya turun, dengan wajah yang masih emosi dia melemparkan cacian pada Lettasya.
“Kau perempuan rendahan! Pergi dan bawa anak harammu itu.” Dia lalu tertawa mengejek. “Aku yakin anak ini tidak memiliki ayah karena kau terlalu murah untuk dijadikan istri.”
Perut buncit pria itu bergoyang seiring langkahnya mendekati Lettasya. Pakaiannya yang tampak mewah serta tertutup seakan menjadi pertanda sudah sewajarnya orang berkedudukan sepertinya mendapatkan kesopanan dari semua yang ada di sana.
“Lihat! Hanya orang rendahan yang mempunyai tatapan seperti ini.”
Dia lalu menarik rambut Lettasya kasar hingga mendongak. Smeentara gadis itu masih bergeming. Tidak ada ucapan yang keluar, tapi juga tetap memberi tatapan tajam. “Baik. Aku akan mengajarimu tentang kesopanan terhadap bangsawan di negeri ini.”
Satu tangan pria itu telah terangkat ke udara dan mungkin cukup untuk meninggalkan bekas kemerahan di pipi Lettasya jika saja bukan gadis itu sendiri tidak menahannya pada waktu yang tepat. Pria tua berperut buncit itu tampak tak mengira jika Lettasya berani melakukan ini. begitu juga dengan orang-orang yang memperhatikan mereka ikut terkesiap. Mungkin berpikir Lettasya bisa saja mendapat hukuman cambuk atau yang terburuk digantung di pusat kota. Namun, Lettasya sudah diberi keyakinan jika ia tidak akan mati sebelum menemukan adiknya dan membalas dendam orang tuanya.
“Kau benar-benar harus dihukum wanita kurang ajar!” geram pria itu sambil berusaha melepaskan gengaman tangan Lettasya yang semakin menguat. “Lepas!”
“Pengawal!” teriak si Pria Buncit sambil menoleh ke belakang untuk mencari bantuan hingga tidak menyadari kedua mata Lettasya berubah hitam semua.
Tepat saat bala bantuan datang Lettasya melepaskan cengkramannya hingga membuat si Pria Buncit itu terjungkal. Mata hitamnya kembali berwarna hazel. Beberapa orang yang menyaksikan harus menyembunyikan tawa mereka dan hal itu semakin membuatnya meradang.
“Ada apa ini?” Suara itu bukan berasalah dari warga yang menyaksikan sejak tadi, bukan pula dari salah seorang prajurit yang berada di belakang Pria Buncit.
Melainkan dari sesosok pria dengan rambut cokelat kemerahan serta warna mata senada. Bahana suara tawa sebelumnya seketika terhenti. Seorang anak kecil yang masih tertawa pun dibekap oleh ibunya.
*****
To Be Continue….
Halo dreamer! Sudah berapa lama waktu berlalu?
Aku kembali untuk melanjutkan cerita ini dan bersiaplah untuk memasuki dunia fantasi pada zaman Yunani Kuno! Jangan lupa untuk tap love, komen, dan follow akunku biar aku up semakin semangat. Terima kasih.