“Ada apa ini?” tanya Antares ketika melihat kerumunan yang terjadi saat ia hendak menuju gapura perbatasan untuk memeriksa perkembangan pencarian. Kepalanya masih sedikit pening akibat pesta minum semalam dan kini sudah ada kejadian yang melibatkan seorang bangsawan. Antares yakin perkara ini tidak akan selesai dengan cepat.
Dia mendapat kabar bahwa banyak sekali orang-orang yang secara mendadak memasuki ibu kota. Bahana suara tawa sebelumnya seketika terhenti. Para prajurit yang Antares duga sebagai pengawal salah satu bangsawan menoleh serta menundukan kepala ke arah Antares.
“Antares, kau harus menghukumnya!” Seorang bangsawan berperut buncit yang ia tidak ingat namanya itu menghampiri Antares saat baru turun dari kuda.
“Dia telah kurang ajar padaku,” lanjutnya menggebu-gebu.
Antares menoleh mendapati seorang wanita berjubah cokelat dengan seorang anak kecil di pangkuannya. Wanita itu menatap tajam pada bangsawan yang terus mengoceh pada Antares untuk membelanya.
“Kau tahu kan? Sebagai bangsawan di negeri ini aku begitu sibuk dengan banyak hal. Wanita rendahan ini bersama dengan anak haramnya tel—” ucapannya terhenti saat Antares turut memberi lirikan tajam.
Seolah menghindari tatapan Antares, Pria Buncit itu kembali mengoceh mengomeli wanita di jalan. “Kau akan menghukumnya bukan?”
Yang menyita perhatian Antares adalah, wanita itu sama sekali tidak terusik atau bahkan membela diri. Dia barang kali tidak mahir dalam menilai orang, tapi Antares tahu betul tingkah para bangsawan di negeri ini; sombong, egois, merasa paling berkuasa. Sehingga merak tidak akan terima dengan sikap wanita yang alih-alih ketakutan Antares jusru melihat sorot mata hitamnya seolah sedang menatang.
Akan tetapi, Antares juga selalu diberi perintah untuk selalu menyenangkan hati para bangsawan karena dari situlah pajak negara didapat. Antares menghembuskan napas. “Saya mengerti.”
Setelah mengucapkan dua kata tersebut, Antares memberi isyarat para prajurit yang ikut bersamanya untuk membawa wanita itu bersama dengan anaknya. Tidak ada perlawanan, seakan ia bisu. Begitu pula dengan anak kecil yang tidak sadarkan diri itu.
Bangsawan berperut buncit tertawa penuh kemenangan, mungkin merasa sudah bangga dengan pengaruhnya dan secara tidak langsung menunjukan jika ia berkuasa di depan para rakyat yang sejak tadi masih memperhatikan mereka.
“Sekarang kau tidak akan selamat.” Bangsawan itu menunjuk wanita yang sudah dicekal oleh kedua prajuritnya. “Akan aku pastikan, aku melihat bagaimana kau digantung besok.”
Setelah mendapat ancaman itu, lagi-lagi Antares tidak mengerti bagaimana wanita ini masih bisa diam. Mungkinkah ia benar-benar tidak dapat bicara?
Bangsawan tadi berbalik, tampak puas dan bersiap kembali ke kereta miliknya untuk melanjutkan perjalanan. Namun, ketika satu kakinya baru menginjak kereta. Tubuh pria itu membeku, suaranya terdengar memekik kesakitan dan dia memegangi dadda kirinya sebelum limbung dan terjatuh.
Sontak terdengar kesiap terkejut dari banyak orang, juga bagimana para pengawalnya panik ketika melihat bangsawan itu kejang-kejang. Dan apa bila Antares tidak salah, ia bisa melihat di balik tudung cokelat satu sudut bibir wanita tadi terangkat sedikit dan sorot mata tajamnya menatap puas pada keadaan bangsawan yang mulai tidak sadarkan diri.
*****
Tangan wanita itu terikat dengan ujung tali yang dipegang oleh prajurit di atas kuda, sementara sebagai tawanan ia harus berjalan—bahkan berlari agar tidak terseret. Sedangkan bocah yang masih tidak sadarkan diri itu juga diikat dan ditaruh di belakang kuda layaknya sebuah karung. Katakanlah wanita dan anak ini memiliki nasib yang beruntung, sehingga dibanding membawanya ke penjara tawanan sebagaimana mestinya Antares justru membawa mereka ke kediaman lelaki itu.
Bukan tanpa alasan, tapi Antares merasa wanita berambut hitam ini bukan orang sembarangan. Hanya saja jika ia mampu melewati pemeriksaan berarti wanita ini bukanlah perempuan yang sedang dicari. Lagi pula … dia bukanlah seorang gadis, dia telah memiliki satu anak. Begitulah pemikiran Antares.
“Kalian boleh pergi!” titah Antares ketika prajuritnya telah melepas ikatan wanita ini, lalu membiarkan dia menggendong anaknya.
Antares membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu setinggi d**a orang dewasa. “Masuklah!”
Tanpa banyak bicara wanita itu melangkah dengan sedikit kesulitan. Antares dengan sigap menangkapnya sebelum mereka jatuh ke tanah. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu dan Antares berasa bingung. Sebelumnya ia yakin warna mata wanita ini adalah hitam, tapi sekarang berubah menjadi hazel.
“Biar aku saja.” Antares akhirnya mengambil alih untuk menggendong bocah tersebut dan berjalan lebih dulu. Wanita dengan jubah cokelat berambut hitam itu mengikutinya.
Ketika mereka sampai di depan pintu ia berhenti hingga Antares bisa merasakan punggungnya terbentur kepala dan menoleh pada wanita itu yang disambut dengan raut wajah kebingungan.
“Pintunya.”
“Oh.” Akhirnya sepatah kata meluncur.
Segera setelah pintu terbuka Antares menuju satu-satunya kamar yang ada dan membaringkan anak itu. Sementara ibunya hanya berdiri di depan kamar. Dengan kedua tangan yang saling menggenggam. Memandangi –barangkali—putra semata wayangnya.
“Kau bisa menemaninya tidur di sini untuk sementara waktu.” Antares membuka suara lebih dulu.
Ibunya masih menatap bocah tersebut dengan pandangan tak terbaca sebelum mengalihkan perhatiannya pada Antares.
“Terima kasih.” Dua kata pertama yang meluncur dari bibir itu. Setidaknya kini Antares tahu bahwa wanita ini tidak lah bisu.
“Siapa namamu?” tanya Antares penasaran.
“Lettasya, Tuan.”
“Nama yang … bagus.”
“Terima kasih.”
“Aku Antares.”
Kemudian hening. Mungkin ia tidak perlu memperkenalkan diri pada rakyat yang tinggal di ibu kota. Hampir semua mengenalnya. Namun, Lettasya bukan berasal dari ini.
Antares mengelus belakang telinganya sendiri. “Kau bisa tidur di sini menemaninya.”
Kau sudah mengatakan itu, gerutunya dalam hati.
“Dan kau tidak perlu membayar.”
Wanita itu mencoba tersenyum seraya menanggalkan jubahnya. “Ya … terima kasih.”
Lelaki itu mengangguk pelan lalu meninggalkannya.
“Apakah….” Satu kata dari Lettasya menghentikan langkah Antares.
“Apakah kami akan mendapat hukuman?” tanya Lettasya.
Alih-alih menjawab, Antares hanya melirik dari balik bahunya untuk sesaat sebelum berlalu untuk mengganti pakaian. Sejujurnya Antares tidak berniat memberi hukuman. Dia senang dengan apa yang terjadi pada bangsawan tadi dan lebih senang bila pria buncit itu meninggal. Orang-orang seperti mereka … selain harta, tidak ada lagi hal yang berguna yang mereka miliki.
Ini memang bukan pertama kali bagi Antares membawa anak kecil ke rumahnya, tapi ini pertama kalinya Antares membawa serta anak dan ibunya ke sini. Memang tidak akan ada yang berani melaporkan atau membicarakannya. Sekali pun ada, ia tidak akan peduli. Bukan hal baru bagi Antares. Para penebar gossip dan isu akan selalu ada dan menyebarkan apa pun yang mereka mau entah kebenaran atau hanya spekulasi mereka.
*****
Ruangan itu tampak luas. Tidak mewah. Hanya satu ranjang berukuran sedang yang lumayan empuk mengingat telah lama Lettasya tidak merasakan tidur dengan alas yang layak. Namun, seharusnya ia tidak terbuai. Tujuannya berada di ibu kota adalah untuk Theona. Mungkin akan lebih baik jika dirinya melarikan diri sebelum mendapat hukuman. Hanya saja Lettasya tidak bisa membiarkan bocah yang datang bersamanya ini tertinggal. Bagaimana jika anak ini juga mendapat hukumana lebih buruk karena dirinya yang kabur?
Dipandanginya bocah dengan rambut ikal yang masih tidak sadarkan diri, barulah saat itu Lettasya menyadari jika ada beberapa luka di wajah serta memar di tubuh anak ini. Dengan penasaran Lettasya membuka pakaian atas bocah tersebut semakin pula Lettasya dibuat terperangah. Seolah lupa di mana dirinya berada, gadis itu keluar kamar dan mencari pemilik rumah.
“Tuan,” panggilnya.
Antares tercengang sesaat, persis ketika lelaki itu baru saja membuka pakaiannya saat itu Lettasya masuk. Barang kali lelaki itu terlampau terkejut oleh kemunculan Lettasya yang tiba-tiba. Hebatnya, Lettasya sama sekali tidak merasa canggung. Hal itu karena keadaan bocah tersebut lebih genting, lagi pula ini memang bukan pertama kali Lettasya melihat tubuh lelaki. Meski bila harus dibandingkan Lettasya mengakui jika dari sekian banyak pria yang dia tolong untuk diobati selama dia tersesat dulu, bentuk tubuh Antares yang paling indah.
“Di mana kah saya bisa menemukan bunga Arnica juga daun Plantain?”
Antares menanggalakan pakaiannya dengan terburu.
“Siapa yang mengalami memar? Apa kau terluka?” tanya Antares.
Lettasya menduga jika Antares tahu tentang kasiat dua tumbuhan tersebut. Sedangkan Antares tidak menyangka jika Lettasya juga memiliki pengetahuan yang sama. Lelaki itu dengan segera mengenakan kembali pakaiannya. “Apakah anakmu?”
Ada keinginan untuk menyangkal dan menjelaskan, tetapi Lettasya pikir itu akan ia lakukan lain kali karena saat ini tidak ada yang lebih penting dari menyembuhkan bocah laki-laki tersebut.
“Ikut aku!” Antares berjalan lebih dulu dan Lettasya mengekorinya.
Keduanya menuju pekarangan belakang rumah. Di sana tampak luas dengan beraneka macam jenis tumbuhan. Bahkan Lettasya sempat terbuai sesaat. Tempat ini laksana surga bagi pecinta tanaman dan seorang peramu seperti dirinya.
Masing-masing tanaman memiliki luas yang cukup dan Lettasya yakin apa bila seluruh tanaman di sini digunaan untuk mengobati penduduk yang ada di ibu kota sekali pun tidak akan habis dalam kurun waktu satu tahun. Ada pertanyaan di benak Lettasya bagaimana seorang lelaki seperti Antares terpikat dengan semua tanaman ini. Karena jika menilik dari penilaianya ketika Lettasya pertama kali melihatnya, Antares adalah sosok pria yang mengandalakan otot serta kekuasaannya sebagai prajurit yang lebih tinggi.
Entahlah … Lettasya tidak tahu pangkat yang dimiliki Antares, tapi mengingat dirinya membawa banyak pasukan di belakang serta dikenali oleh seorang bangsawan, itu cukup menjadi bukti bahwa Antares bukan prajurit biasa.
“Ini.” Antares lalu menunjukan tanaman yang dicari oleh Lettasya.
Bunga Arnica dengan kelopak kecil berwarna putih dengan tangkai kecil yang kuat. Sedikit sulit menemukan bunga seperti ini, karena kebanyakan dari penduduk tidak mengetahui khasiatnya dan lagi tidak terlalu menyukai tanaman mengingat menamam bunga dapat mengurangi wibawa serta eksistensi sebagai mahluk maskulin di jaman ini.
“Daun Plantainnya ada di sana.” Antares menunjuk ke arah yang dituju. Sedikit memutar karena harus melewati jajarana tanaman lain. Juga jalan setapak yang cukup sempit jika tidak ingin menginjak tanaman-tanaman luar biasa ini.
Maka dari itu, kali ini Lettasya berbalik dan berjalan lebih dulu diiringi petunjuk dari Antares. Secara tidak langsung hal itu membuat Antares dapat memperhatikan dengan jelas bagaimana beberapa helai rambut yang terurai sedikit menyapu sedikit leher putih jenjang wanita itu terpampang jelas. Antares harus melempar pandangannya ke bawah dan melihat ujung doric chiton putih yakni pakaian yang dikenakan Lettasya menyapu tanah.
Aroma yang khas dari daun Plantain terhidu pekat. Sayangnya mereka lupa untuk membawa alat lain karena memetik daun plantain tidak boleh sembarangan jika tidak ingin jari dan kulit mengalami iritasi. Oleh karena itu Antares dengan segera kembali ke rumahnya untuk mengambil alat yang dibutuhkan, sementara Lettasya memperhatikan bagaimana tumbuhan langka tersebut bisa tumbuh dengan baik di sana.
Sesaat setelah Antares menghilang dari pandangannya, sebuah desisan mencapai pendengaran Lettasya. Suara aneh itu seolah dipahami olehnya, hingga Lettasya yang semula berjongkok pun bergerak bangkit. Kakinya mulai melangkah menuju sumber. Suara tersebut kian jelas dan Lettasya yakin, berasal dari balik pintu besi yang menutupi sebuah ruangan unik berbentuk kubah. Suara-suara itu berbicara dan memanggilnya mendekat. Persis ketika tangannya telah siap menarik pintu di depannya untuk memastikan, ada tangan lain yang terulur dari belakang melewati sisi wajahnya sehingga mendorong kembali pintu tersebut. Lettasya menoleh dan mendapati mata Antares tengah menatapnya tajam sebagai peringatan.
*****
To be Continue….