2. Malam Minggu Pembawa Bencana

774 Words
Dor! Dor! Dor! Dor! Tidak ada yang lebih enak daripada tidur di malam minggu, untuk jomlo tentunya. Di kala semua orang yang berpasang-pasangan menghabiskan malam--menghabiskan uang juga--bersama, maka si jomblo jelas cuma punya diri sendiri. Tidur adalah pilihan paling tepat. Pemuda berambut hitam pekat itu juga merasakan hal serupa. Ya, sebelum pintunya digedor secara tidak manusiawi. Dor! Dor! Dor! "Kak Askha, bangun! Dipanggil Kak Arhan noh! Diajak malming!" Dor! Dor! Dor! Pemuda itu makin tenggelam dalam selimutnya. Ia berusaha menutup telinga erat-erat dengan bantal. Tapi gedoran di pintu jadi semakin brutal. Dor! Dor! Dor! Ia menendang-nendang selimut karena kesal lalu membuka pintu secepat kilat agar suara gedoran tak mengenakkan itu berhenti. Matanya menatap nyalang bocah lelaki yang sedang berdiri di depan pintunya sambil memainkan ponsel di tangannya. Tersangka. "Apaan sih, Res? Nggak tau orang tidur apa?" protesnya. Bocah itu menggidikan bahunya lalu berkata dingin, "Protes sama Kak Askha aja. Jangan sama Ares!" Setelahnya ia berlalu, berjalan menuruni tangga, dan pergi entah kemana. Sementara pemuda itu--Askhara namanya--merasa berapi-api. Amarahnya sampai ke ubun-ubun. Ia melangkah tergesa, berjalan menuju ruang tengah. "Apaan sih?" tanyanya sensi pada seorang pemuda yang sedang membenarkan kancing lengan kemejanya. "Ikut gue ayo!" "Ogah ah! Lo aja sana udah!" Pemuda itu menggelengkan kepala tegas. Pertanda bahwa dia tak ingin perintahnya dibantah. "Lo mau gue telponin Mama?" Askhara berdecak sebal. Ia tak punya pilihan selain menuruti perintah kakaknya. Ya, kakaknya, Arhanif alias Arhan. ... Bagi sebagian orang, punya saudara benar-benar pengalaman luar biasa. Buat Askhara juga, luar biasa s**l tepatnya. Baginya, saudara orang lain diciptakan untuk saling melindungi dan menyayangi. Tapi saudara-saudaranya? Askhara merasa seperti Tuhan sedang menjebaknya dalam malapetaka dunia. Terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara membuat Askhara merasa tidak terlalu istimewa. Ia tak bisa bermanja-manja karena adiknya yang paling bungsu--Ardhillo--sudah manja minta ampun. Ia tak bisa mendapat perhatian penuh dari orang-orang di rumah karena anak ketiga--Aresta--sudah menarik seluruh perhatian dengan tingkah dingin dan keras kepalanya. Dan yang paling parah, ia tak bisa jadi figur kakak teladan karena ia punya kakak--Arhanif--yang pencitraan 24/7 di depan orang tuanya. Rasanya seperti semua peran bagus di muka bumi ini sudah diambil oleh orang lain. Satu-satunya peran yang tersisa untuk Askhara cuma si aneh yang serba salah. Malam ini contohnya, ia terjebak dalam situasi serba salahnya. Ketika ia terjebak dengan Arhanif dan teman-temannya di sebuah restoran bertema Italia. Berujung jadi bahan olokan Arhanif yang memang sengaja membawanya ke sini biar dirinya sendiri terlihat bersinar. "Ya gitu, dia ini nggak pernah keluar tiap malam minggu. Mama gue sampai capek nyuruh dia keluar tau nggak. Kerjaannya di rumah mulu, kayak nggak ada temen! Jones pula! Lengkap kan?" papar Arhanif. Askhara terpaksa tertawa hambar sembari membenarkan kacamatanya yang sedikit turun. Sudah cukup sebal sebenarnya. Kalau tidak ingat bahwa Arhanif ini kakaknya, mungkin sudah dia tikam dengan garpu sekarang. "Sekarang sih nggak papa. Tapi nanti ... waktu lo kuliah, Lo harus ekspansi pertemanan sebanyak-banyaknya. Relasi gitu. Biar ntar setelah kuliah gampang cari kerja," sahut teman Arhanif. Askhara cuma mengangguk dan tersenyum tipis. Sekadar bersikap sopan agar tidak semakin dikritik. Ya, memang apa lagi yang bisa dia lakukan? ... Askhara bisa bernapas lega ketika berhasil mendudukkan pantatnya di mobil. Arhanif yang melihat aksi buang napas beratnya itu menggeleng-geleng. "Capek lo? Cuma perlu duduk, makan, dan ngobrol-ngobrol kayak tadi aja capek? Lo bener-bener se-nggak suka itu ya sama kegiatan sosial?" Askhara cuma diam. Memilih tak menjawab. "Mama tuh khawatir banget. Takut kalo lo sosiopath." Askhara masih diam. Ia sudah tau. Mama memang sudah mengatakannya berkali-kali. Askhara rasanya tak perlu dengan lagi dari orang lain. "Lo tuh juga seorang kakak, Kha. Gimana Ares sama Ardhil bersikap nanti kalau lo ansos gini? Kalau mereka niru gimana?" "Iya ...," jawab Askhara. Nada bicaranya menunjukkan kalau ia jengah. Tak mau mendengar lebih lanjut lagi. "Tuh kan kalo dibilangin selalu gitu." Arhanif mengalihkan pandangannya pada Askhara sejenak. "Iya ... Salah mulu gue peras-EH! EH ITU ADA ORANG WOI! WOI!" Arhanif tersentak. Citttt! Ia mengerem mendadak dan melihat ke arah depan, dimana tampak seorang perempuan sudah tergeletak lemas di jalan. "Mati gue!" ujar Arhanif. "Itu ... kita yang nabrak?" Askhara melebarkan matanya horor. "Kita? Lo aja! Kan lo yang nyetir! Jangan bawa-bawa gue!" Askhara jadi menyesali keputusannya menuruti perintah kakak--terkutuk--nya ini. Coba saja kalau dia mengikuti insting jomlo nya dan tidur nyenyak di rumah, pasti tidak begini kejadiannya. "Turun gih! Pastiin itu cewek beneran apa jadi-jadian!" perintah Arhanif. "Ogah! Lo aja! Lo yang nabrak!" "Ya udah barengan!" Arhanif memutuskan sepihak. Askhara berdecak sebal, tak terima namun tetap ikut turun. Mereka mendekati sesosok perempuan yang memang tergeletak lemah di jalanan nan sepi ini. Kulitnya pucat dibalut kebaya warna cokelat dengan buntalan kain yang ia pegang erat. "Kita musti ngapain?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD