Kata orang, hidup ini pilihan. Selalu ada pilihan di setiap masalah yang kita temui. Entah itu baik ataupun buruk, kita selalu dipaksa untuk memilih. Tapi Askhara tak merasakan hal serupa kali ini. Ia tak punya pilihan sama sekali sejak tadi, tepatnya sejak Arhanif memaksanya menemani pergi bermalam minggu.
Ke-tidak punya pilihan-nya tak berakhir sampai di situ, ketika Arhanif secara tidak bertanggung jawab menabrak sesuatu--seseorang--ia juga tak punya pilihan selain terlibat dalam kekacauan ini. Askhara ketar-ketir, terutama ketika ia harus memindahkan perempuan yang ditabrak Arhanif itu ke dalam mobil menggunakan kedua tangannya. Ia bimbang, ragu apakah yang dilakukannya ini merupakan sebuah tindak kejahatan.
Kekhawatiran dalam dadanya jadi semakin parah tatkala perempuan itu tak kunjung bangun, bahkan meski lima jam sudah berlalu.
"Kak, gue rasa ini salah! Harusnya kita bawa ke rumah sakit aja! Kalo dia mati gimana?!" ujar Askhara. Ia ingin sekali berteriak, namun suaranya tertahan karena kedua adiknya sudah terlelap.
"Nggak bisa lah! Kalau kita bawa dia ke rumah sakit, yang ada kita langsung digiring ke kantor polisi! Mau lo?" bantah Arhanif.
"Terus kalo kayak gini apa bedanya? Kalo dia mati lo mau apa? Nyuruh gue gali tanah di belakang rumah dan nguburin dia di sana? Terus berharap nggak akan ketahuan siapa-siapa? Gila lo!" seru Askhara.
"Hush! Sembarangan! Positive thinking coba!"
Positive thinking? Askhara hanya bisa memikirkan hal-hal negatif di kepalanya. Ia membayangkan bagaimana jika perempuan ini benar-benar tewas karena tidak dibawa ke rumah sakit. Arhanif mungkin akan memerintahnya untuk menguburkan perempuan ini di belakang rumah. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika benar seperti itu. Pertama, kejahatan mereka akan tertangkap suatu hari nanti dan harus mendekam di penjara, mungkin seumur hidup. Atau yang kedua, mereka tidak akan tertangkap, tapi akan dihantui oleh arwah perempuan ini, dihantui dosa-dosa juga.
Keduanya buruk. Askhara tak akan punya masa depan jika begitu ceritanya.
Askhara mengacak rambutnya frustasi. Seandainya dia menolak perintah Askhara untuk bermalam minggu, seandainya dia tetap persisten tidur di kamarnya, atau seandainya ia tidak berdebat dengan Arhanif yang mengakibatkan kecelakaan seperti ini. Seandainya.
Di tengah pemikiran kalut Askhara, Arhanif tiba-tiba berisik, "Eh, eh! Anu! Itu lihat! Dia gerak-gerak!"
Perempuan itu memang menggerakkan badannya. Agak kaku. Ia kemudian membuka matanya perlahan-lahan. Tangannya memegang kepala, mungkin terasa pening di seluruh penjurunya.
Askhara dengan cepat meringsek ke belakang kakaknya. Entah mengapa ia merasa takut. Ya, bisa saja kan kalau ternyata perempuan ini manusia jadi-jadian?
Perempuan itu mengerjakan matanya beberapa kali. Pandangan matanya kabur kian jelas. Ia melontarkan pandangan bingung namun beberapa detik kemudian ia menghela napas lega.
"Sudah mati rupanya aku," katanya.
Askhara dan Arhanif saling menatap di balik kacamatanya masing-masing, bingung.
"Enggak-enggak! Lo belom mati kok!" ujar Arhanif mengklarifikasi. "Tadi lo nggak sengaja kami tabrak. Tapi lo nggak kenapa-napa kok! Jadi gue harap jangan lapor polisi ya abis ini!"
Perempuan itu bingung, tak mengerti dengan perkataan dua pemuda di hadapannya.
Apa ini bahasa surga? Batinnya.
"Aku tak mengerti apa yang sebenarnya kalian bicarakan. Tapi sekiranya aku boleh bertanya, apakah kalian penghuni langit?"
Arhanif menggaruk kepalanya frustasi. Ia membisikkan sesuatu di telinga Askhara, "Kayaknya nih orang kebentur parah deh kepalanya."
Askhara berusaha tersenyum tegar, "Oke, oke. Mungkin otak lo lagi chaos dan nggak bisa nyerna apa yang kita omongin. Nggak papa. Lo tarik napas dulu."
"Hah?" perempuan itu mengernyitkan dahinya. "Sudah kubilang, aku tak mengerti."
"Gimana nih, Kak? Gara-gara lo sih! Pake nabrak orang segala."
"Ya udah mau gimana lagi? Kita nggak bisa suruh dia pergi sekarang dengan keadaan kayak gitu. Kita biarin aja dulu dia nginep semalem. Besok pagi kita anterin ke rumah sakit kalau keadaannya belum membaik juga," kata Arhanif.
"Mau suruh tidur mana? Bentar lagi Mama sama Papa pulang lho, Kak! Gila lo emang?"
Arhanif tanpa berpikir pun menjawab, "Ya kamar lo lah! Masa iya kamar gue? Udah gampang! Masalah Mama sama Papa biar gue yang urus. Udah sana, bawa ke kamar lo. Jagain ya, jangan sampe nih cewek makin parah. Ngerti lo?"
Baru saja Askhara hendak membuka mulutnya, tapi Arhanif sudah menghilang begitu saja. Lagi, ia tidak punya pilihan.
...
Askhara mau tidak mau membawa gadis itu ke kamarnya. Ia menekuk wajah seperti terkena gondok, cemberut karena merasa sebal. Ini pertama kalinya seorang perempuan--selain Mamanya--masuk ke kamarnya. Asing pula. Ia bahkan tak tau nama perempuan ini.
Belum lagi penampilannya yang aneh dengan kebaya dan kain lusuhnya. Askhara jadi makin berpersepsi negatif.
"Lo tidur di sini malem ini. Awas lo ya ngutil barang gue," ucap Askhara.
Bukannya merespon perempuan itu malah menatap Askhara dengan pandangan bingung. Dugaan Askhara sih, perempuan ini tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Askhara menghela napas berat. Jadi susah begini malamnya.
"Percuma gue ngoceh kalo lo nggak ngerti," gumamnya. "Nama lo siapa?"
Askhara menekankan sekali lagi, "NA-MA."
Berharap perempuan itu akan mengerti. Dan ya, perempuan itu melebarkan mata.
"Nama? Namaku Djenar, Tuan. Kalau nama Tuan sendiri siapa? Apa penghuni langit juga punya nama?