Askhara memasang kacamata sebelum keluar dari kamarnya. Tak lupa, ia berpesan pada Djenar untuk tetap tinggal diam di kamar sampai diberi instruksi lebih lanjut. Sejauh ini sih belum ada yang tau mengenai keberadaan Djenar selain Askhara dan Arhanif.
Askhara yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya itu turun ke bawah. Kedua adiknya--Aresta dan Ardhillo--Mama dan Papanya juga sudah super rapi, siap untuk berangkat menuju aktivitasnya masing-masing. Biasanya, Aresta dan Ardhilll berangkat bersama Mama dan Papa karena sekolah mereka searah dengan kantor. Sementara Askhara memilih naik sepeda atau kadang naik bus kalau kakinya sedang pegal. Sekolahnya memang beda arah. Dan Yang Mulia Arhanif--begitu Askhara mengejeknya--yang paling istimewa berangkat sendiri dengan mobil pribadinya.
Tapi kali ini, tiba-tiba Arhanif menawarkan diri, "Ma, Pa, Askha biar sama Arhan aja berangkatnya. Kan searah juga."
"Oh ... kamu kuliah pagi? Ya udah. Nggak mau anterin Ardhil sama Ares sekalian?" jawab Papa.
Jelas ada yang sudah direncanakan oleh Askhara dan Arhanif. Tentu perihal Djenar. Bisa hancur rencana kalau sampai Arhanif harus mengantarkan Aresta dan Ardhillo terlebih dulu.
"Kan beda arah, Pa," tolak Arhanif.
Papa tertawa. "Iya, iya, ya udah kita berangkat dulu ya."
Begitu mobil Papa menjauh--tak lagi terlihat oleh mata--Arhanif secepat kilat menyiapkan mobilnya sementara Askhara naik ke atas untuk memanggil Djenar.
Gadis itu tampak sedang terpaku di depan kaca kamar mandi. Ia menatap pantulan di kaca dengan tatapan yang tampak takut, takjub, heran, terkagum-kagum. Entahlah, pokoknya aneh di pandangan Askhara.
"Ayo pergi," katanya.
...
Dugaan Askhara cuma satu, ia rasa perempuan ini gila. Tidak ada lagi dugaan yang lebih masuk akal selain gila. Perempuan ini berpenampilan aneh, lusuh pula. Belum lagi tingkahnya yang juga aneh. Seolah ia berasal dari dimensi yang berbeda. Apa lagi namanya kalau bukan gila?
Ia takjub melihat cermin, tak mengerti ucapan Askhara dan Arhanif, terheran-heran dengan mobil, menyebut Askhara dan Arhanif sebagai penduduk langit, dan sekarang ia melongo saat sampai di rumah sakit.
"Tempat apa ini, Tuan?" tanya Djenar.
"Jangan panggil Tuan, nama gue Arhan." Arhanif mengulurkan tangannya. Tak disambut oleh Djenar karena ia tak mengerti. Beda dari Askhara yang merasa keki abis dengan kehadiran Djenar, Arhanif tampak lebih bersahabat. Mungkin juga karena dia lebih merasa bersalah. Bisa saja keanehan Djenar merupakan efek dari kecelakaan. Itulah mengapa Arhanif dan Askhara membawa Djenar ke rumah sakit.
Arhanif meminta pengecekan menyeluruh pada Djenar. Biayanya tidak sedikit, ia harus merelakan uang tabungannya. Salahnya sendiri. Ia harus bertanggung jawab.
Jangan lupa, ada Askhara yang juga mengorbankan sekolahnya. Ia jadi bolos karena masalah bodoh yang ditimbulkan kakaknya ini.
Askhara menunggu di luar selagi Arhanif dan Djenar berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf. Ya, ia tak tertarik. Ia cuma ingin masalah ini cepat selesai dan gadis aneh itu enyah dari hadapannya.
...
Kalau hasil tes mengatakan bahwa Djenar ini kelainan, maka semuanya akan jauh lebih mudah. Tapi masalahnya, sejak anamnesis pertama oleh dokter spesialis saraf hingga pemeriksaan radiologi, semuanya menunjukkan hasil yang normal-normal saja.
Padahal sudah jelas Djenar menunjukkan kekaguman yang luar biasa dengan apa saja yang ia temui hari ini. Aneh. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dokter sendiri keheranan. Sebelum pertanyaan Dokter makin banyak, Arhanif memutuskan untuk undur diri. Ia berniat membawa Djenar ke kantor polisi karena tampaknya tindakan itu adalah yang paling masuk akal.
"Mau kemana lagi?" tanya Askhara yang sudah mulai lelah.
"Kantor polisi."
"Mau nyerahin diri lo?" tanya Askhara kaget.
"Nggak, mau nyari identitas nih cewek."
Askhara menggeleng.
"Bukan ide yang bagus! Yang ada lo ditanya kenapa nih cewek bisa ada sama lo. Terus lo mau bilang kalo lo abis nabrak dia? Gila!"
"Terus gimana? Kasih solusi dong, jangan bacot doang!" ujar Arhanif frustasi.
"Gue punya temen yang bisa bantu."
...
Askhara bukan tipe cowok populer di sekolahnya. Orang-orang bahkan mungkin tidak akan mengenalnya kalau dia bukan adik dari seorang Arhanif.
Cuma beda satu tahun dan selalu satu sekolah dengan Arhanif jelas merupakan sebuah malapetaka buat Askhara. Arhanif selalu cemerlang sedari dulu, yang paling Askhara ingat adalah masa-masa SMA. Arhanif selalu dapat ranking satu paralel tiap tahunnya, jadi ketua OSIS, gitaris band sekolah yang selalu menang tiap lomba, doyan ikut olimpiade fisika, dan anggota tim basket pula. Semua orang ingin dekat dengan Arhanif. Sementara Askhara jelas cuma jadi bayangan kakaknya.
Arhanif dan Askhara cukup mirip sebenarnya. Sama-sama punya rambut ikal yang hitam pekat, sama-sama berhidung mancung, sama-sama berkacamata, bahkan tinggi mereka pun sama. Tapi semua orang hanya kenal Arhanif. Askhara bahkan kesal karena orang sering salah memanggilnya sebagai Arhanif, tapi tak pernah ada orang yang memanggil Arhanif sebagai Askhara. Dunia memang tidak adil.
Askhara memang tak pernah menonjol. Dia tidak bodoh, tapi juga tidak terlalu pintar, tidak aktif organisasi, tidak ikut olimpiade, juga tidak tertarik pada musik atau olahraga. Ya, orang-orang yang biasa saja dan cenderung ada di garis aman memang tidak begitu menarik. Askhara bahkan mungkin ada di strata paling bawah rantai makanan sekolah. Apalagi kalau tidak ada embel-embel 'adik Arhanif' pada dirinya. Ya memang sih Askhara juga ganteng. Tapi fitur fisik itu tak ada gunanya jika dibandingkan pesona Arhanif yang sudah memikat seisi sekolah kala itu.
Satu-satunya ekstrakurikuler yang Askhara ikuti di sekolah adalah klub seni rupa. Klub ekstrakurikuler paling pecundang di sekolahnya, SMA Tunggal Bangsa. Hanya anak-anak cupu pendiam yang bergabung di klub seni rupa. Tidak ada anggota klub seni rupa yang visualnya mampu mengguncangkan SMA Tunggal Bangsa. Itulah kenapa, meski klub seni rupa sering membawa kemenangan, tapi mereka tetap ada di strata paling bawah.
Tapi karena bergabung dengan klub seni rupa, Askhara jadi kenal seorang anak kelas sepuluh bernama Jonathan. Pemuda gendut yang kacamatanya doyan turun sampai ke hidung, tampak aneh, dan selalu membawa-bawa snack kentang bersamanya. Selain menggambar, Jonathan punya bakat di bidang IT. Deep web jadi makanan sehari-hari, kode-kode komputer juga dia kuasai meski masih SMA. Askhara percaya, Jonathan berguna di saat-saat seperti ini.
"Iya, 300 ribu gue transfer detik ini juga. 500 ribu sisanya gue bayar pas udah ketemu datanya. Gimana?" tanya Askhara pada Jonathan yang sedang terhubung dengannya di telepon.
"..."
"Oke. Entar kabarin aja begitu dapet."
Askhara menutup sambungan telepon itu lalu pandangannya beralih pada Arhanif yang sedang menatapnya kusut.
"Apa?" tanya Askhara sewot.
"Delapan ratus ribu? Nggak bisa lebih murah apa?"
Askhara menggidikkan bahunya. Seolah tak peduli bila kakaknya harus kehilangan uang begitu banyak.
"Lo pilih ngeluarin duit agak banyak atau ditangkap polisi?"
Arhanif kemudian menghela napas berat. Ia melirik Djenar yang sedang ada di area ruang tamu dan meraba apapun yang dilihatnya. Aneh.
"Djenar!" panggil Arhanif. Djenar menoleh. "Djenar kan nama lo?"
"Ada apa?"
"Lo nggak inget rumah lo dimana?" tanya Arhanif.
Djenar tampak bingung. Tak mengerti dengan ucapan Arhanif.
"Maaf, Tuan. Tapi saya tidak mengerti. Bahasa langit terdengar cepat dan banyak kata-kata asing," jawabnya.
Arhanif menggaruk kepalanya. Kemudian berinisiatif untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia.
"Oke, Bentar. Kamu ingat rumahmu dimana?" tanya Arhanif.
"Ingat, Tuan. Rumah saya di area Gunung Merapi."
"Ingat orang tua kamu?" tanya Arhanif.
"Ingat, Tuan. Ayahanda saya Raden Mas Adipura dan ibu saya Nyai Pahat."
Arhanif dan Askhara saling bertatapan. Nama yang terlampau kuno menurutnya.
"Jadi nih anak masih darah biru?" bisik Arhanif pada adiknya.
"Nggak mungkin."
Askhara menatap Djenar intens dari atas sampai bawah. Boleh dikatakan Askhara skeptis, tidak percaya kalau gadis selusuh ini masih anggota keluarga kerajaan. Lebih mirip orang gila menurutnya.
"Tanyain gih kenapa bisa nyasar di Jakarta," bisik Askhara.
"Kenapa kamu ada di Jakarta? Apa kamu terpisah dari keluargamu waktu liburan?"
"Ja ... kar ... ta?" Terdengar amat asing di telinga Djenar.
"Iya, tempat ini, Jakarta," jelas Arhanif.
"Oh ... jadi negeri langit ini namanya Jakarta?"
"Negeri langit? Kita masih di bumi. Jakarta ini bagian dari bumi. Sama seperti Gunung Merapi."
Djenar mengerutkan dahinya.
"Jadi saya belum mati? Tunggu, kalau ini bukan negeri langit, apa namanya? Mana ada tempat seperti ini di bumi! Kalau ada, wilayah apa ini? Siapa pemimpin tempat ini?"
Askhara muak. Drama yang disuguhkan oleh perempuan ini sungguh tak masuk akal buatnya.
"Dengar ya, tempat ini namanya Jakarta. Bagian dari Indonesia. Pemimpin nomer satunya ya Pak Jokowi. Lo jangan akting deh! Muak gue!" ujar Askhara. Sementara Arhanif berusaha menahannya.
"Dengerin dulu ah!"
Djenar membulatkan matanya. Segala penjelasan membuatnya pening. Dimana sebenarnya dia ini.
"Dimana Majapahit?" tanyanya tiba-tiba.
"Majapahit? Sudah runtuh."
Djenar makin bingung. Memangnya apa yang terjadi sampai-sampai Majapahit runtuh dalam sekejap malam?
Askhara tiba-tiba menyela, "Tunggu! Jadi maksudnya, lo mau bilang kalau lo berasal dari Majapahit?"
Kendati tak begitu mengerti, Djenar masih bisa menangkap pertanyaan Askhara. Ia mengangguk mantab. Membuat semuanya semakin runyam.