bc

Dear, Mas Bucin

book_age18+
328
FOLLOW
1.4K
READ
family
HE
fated
dominant
sensitive
drama
sweet
bxg
first love
twink
like
intro-logo
Blurb

"Lintang posisinya di atas Banyu Segara, jadi Segara cuma bisa mendapatkan bayangan Lintang itu sendiri."

New Adult, Romance.

"Ayolah, lo bisa berhenti dari pekerjaan ini biar lo bisa istirahat, gue nggak pernah tenang mikirinnya, terutama setiap kali sikap lo biasa aja kalau lihat gue sama cewek lain. Gue bisa kasih semua yang lo mau."

"Napas? Apa lo bisa kasih gue napas lo itu?"

Seketika laki-laki itu mengatupkan bibir, mungkin sudah seribu kali ia memperingatkan agar Lintang berhenti dari pekerjaan paruh waktu yang hampir setiap hari Lintang lakoni, ia bisa temukan Lintang di mana pun termasuk hotel dan bar, tapi Lintang bukan gadis yang mudah menyerahkan diri. Ia hidup untuknya sendiri, dan jika Segara tak mengalah—maka Segara yang kalah. Lintang tak pernah memintanya datang, menolong hari itu dan menjadikannya sebuah alasan untuk sebuah kebersamaan.

©aprilwriters.

chap-preview
Free preview
1. Baik-baik saja, kan?
“Kamu sibuk melindungi saat aku justru kian gencar menyakiti.” *** Aneka pastry tengah ditata rapi oleh salah satu pramusaji hotel yang kini membungkuk di balik meja, ia mengenakan setelan kemeja putih serta rok lipit hitam yang dipadukan dengan rompi warna senada, jika pekerja perempuan lain sibuk merias wajah serta menata rambut mereka seanggun mungkin agar terlihat menarik di mata orang-orang terutama kalangan kelas atas—yang biasanya melangsungkan acara di hotel megah bintang lima, beda halnya dengan Lintang yang justru mengenakan topi hitam untuk menutupi sebagian wajahnya, ia seperti bersembunyi dan waspada dari seseorang. Bola matanya sesekali menelisik keadaan sekitar saat sepasang tangannya sibuk menata pastry jenis cupcakes serta warna-warni macaroons di permukaan meja khusus pastry. Teman-teman Lintang justru tampak menonjolkan diri mereka pada semua tamu undangan, Lintang bisa menemukan perempuan seusianya berbincang dengan pria yang lebih tua di sudut-sudut ruangan itu, terlihat sok akrab saat mereka berharap hal lain, bahkan Lintang pernah memergoki salah satu temannya masuk ke kamar hotel usai acara semacamnya berakhir beberapa bulan silam bersama salah satu pengunjung acara alias om-om hidung belang kelas tante sosialita yang butuh belaian. Sayangnya, bukan hal semacam itu yang Lintang khawatirkan saat ini, ia tengah mengawasi gerak-gerik seseorang, Lintang sudah sangat waspada ketika tak sengaja melihatnya keluar dari mobil di area parkir. Saat itulah Lintang lari pontang-panting memasuki hotel seraya merapal doa semoga ia tak ketahuan malam ini agar tak perlu mendengar omelan ala ibu kos sepanjang hari—jika saja ia menunggak bayar kontrakan selama tiga bulan. "Ehem." Dehaman itu membuat Lintang cukup terkejut, fokusnya memperhatikan satu manusia di antara banyaknya populasi sama di sana jadi terganggu, gadis itu meletakan macaroons terakhir di tumpukan paling atas, ia berdiri tegak sebelum menoleh menatap pria berkumis tipis yang kini memperhatikannya dari ujung kaki hingga kepala. Oh, ayolah! Lintang seringkali ditatap seperti itu, mungkin tatapan khas predator kelas kakap. Lagipula dedek gemes seperti Lintang tak ubahnya bunglon, ia bisa mempersiapkan diri untuk segala hal sekalipun yang terburuk. "Ada yang bisa saya bantu, Pak? Mau macaroons atau cupcakes, kebetulan cupcakes malam ini ada yang spesial," tutur Lintang selembut mungkin, ia tak lupa memamerkan senyum, kesopanan adalah nilai plus dalam setiap pekerjaannya meski ia harus melayani buaya darat serta kadal buntung sekalipun. "Macaroon boleh, tapi yang paling manis, ya?" Pria itu masih memperhatikan Lintang dengan tatapan tertariknya. "Ini, Pak. Semuanya manis kok, kalau macaroon pahit nanti beda lagi namanya." Lintang meraih salah satu macaroon warna cokelat dan mengulurkannya pada pria itu, tapi bukan macaroon yang diraihnya—melainkan pergelangan Lintang. "Kamu lebih manis dari semua macaroon di sini, bisa kita ketemu lagi setelah acara ini selesai?" Oke, usaha pertama dimulai. "Eum, hah?" Lintang masih menyungging senyum saat ia berusaha keras melepaskan cekalan pria b******k itu. "Maaf, Pak. Saya masih banyak pekerjaan lain, meja sebelah sana juga masih kosong." Ia menunjuk meja-meja lain. "Kalau gitu, nomor teleponnya dulu bisa?" Usaha kedua, mungkinkah fail juga? "Saya nggak punya hape." Lintang tersenyum canggung, ia tarik begitu saja tangannya dengan kasar hingga macaroon yang sempat digenggam akhirnya menyentuh selasar. Buru-buru Lintang membungkuk meraihnya, ia meletakan makanan itu pada permukaan troli. "Oh gitu? Saya bisa kok belikan kamu sepuluh, mau yang bagaimana?" Sepertinya kadal yang satu ini adalah jenis T-rex, begitu gigih dan penuh usaha. "Nggak perlu, Pak. Nggak penting buat saya kok, permisi, ya." Lintang mendorong trolinya menjauh dari pria yang semakin dibuat terpesona saat menatap langkah Lintang, gadis itu menunduk seraya meluruhkan posisi topi agar sosok yang ia awasi tak mengenalinya meski Lintang sendiri tak menyadari jika ia juga diawasi balik, terlebih saat sang kadal menggodanya tadi. Lintang masuk dapur dengan perasaan lega, sayangnya ia harus kembali mendorong troli berisi pastry untuk meja-meja lain meski keadaan di ruangan megah yang disewa untuk acara pembukaan sebuah kantor baru itu sangatlah ramai. Namun, menyerah seperti tak masuk dalam kamus milik Lintang, ia terlalu gigih dalam urusan mencari uang, terlebih Lintang adalah mahasiswi semester akhir. Ia harus segera menyiapkan skripsinya. Lintang kembali keluar dapur, menyusuri lorong terlebih dulu sebelum membuka pintu dan masuk ke ruangan megah yang didominasi orang-orang berjas serta wanita dengan gaun-gaun mahal mereka. Ia memasok udara sebanyak-banyaknya saat sepasang kaki menapak lagi lantai tempat itu, Lintang masih terus mendorong troli dengan lihai di antara banyaknya orang-orang seraya menunduk. "Permisi, Tuan, Nyonya," sapa Lintang saat ia melewati mereka semua, tampak salah satu teman yang baru dilewatinya memberikan nomor ponsel pada p****************g, kebanyakan dari mereka pasti mengharapkan uang tip lebih, tapi bukan cara segila itu yang Lintang harapkan. Ia hanya bisa menggeleng tanpa ingin berkomentar, toh untuk apa mengurusi kehidupan orang lain jika hidupnya saja sudah sangat kesusahan. "Kalau jalan lihat-lihat." Suara dingin itu baru saja terdengar tepat saat Lintang tak sengaja menubruk seseorang di depannya menggunakan troli, tapi Lintang kikuk dalam sekejap, ia tak mampu mengangkat wajah dan tersenyum seperti saat menghadapi pria berkumis tipis tadi. Syaraf motorik Lintang seperti kaku, mati rasa dalam sekedip mata. Ia masih menunduk bersamaan tangan mengepal kuat. "Segara! Aku cari-cari kamu di sini?" Suara kedua muncul, Lintang hanya sanggup menatap sepasang pantofel hitam yang dikenakan pemilik suara dingin tadi, lantas kini sepasang heels turut berdiri di sebelah pemilik pantofel. "Kamu kenapa, Gar? Kok kayak bete gitu?" Tampak tangannya menggandeng lengan si laki-laki. "Kenapa diam aja." Suara dingin itu kembali terdengar, tampak mengintimidasi Lintang yang hanya diam bak patung, alhasil keberanian dalam benaknya membuat Lintang perlahan mengangkat wajah menatap si pemilik suara dingin tadi. Mereka bertukar pandang dalam satu jarak lurus tepat ketika Lintang menengadah menemukannya. "Lo? Lo bukannya Lintang anak jurusan bisnis, kan?" Rara—perempuan pemilik heels itu menunjuk Lintang, ia terhenyak mendapati salah satu mahasiswi yang satu kampus dengannya bekerja di sebuah hotel. "Ya," sahut Lintang datar, ia beralih menatap Rara. "Maaf karena nggak sengaja tabrak pacar lo tadi, nggak ada yang perlu diganti rugi, kan?" "Omo! Jadi, Segara kesal karena habis ditabrak troli makanan ini tadi?" Rara menyentuh sisi pipi Segara. "Kamu nggak apa-apa, kan?" "Ya jelas muka dia nggak bakal kenapa-kenapa kali, yang ketabrak kan bagian perutnya. Coba cek perutnya siapa tahu kena luka dalam," ejek Lintang seraya melirik Segara yang tak henti mengalihkan tatapannya pada Lintang barang sedetik saja, ekspresi dingin itu mulai membuat Lintang terbiasa. "Lo nggak usah ngomong kayak gitu, deh! Kerja yang benar biar nggak dipecat!" hardik Rara tak suka meski setelahnya ia tersenyum miring seraya memperhatikan sekitar. "Mending lo deketin om-om kaya raya di sini biar dapat duit lebih gede, kalau cuma berharap gaji dari kerjaan kayak gini sih lo nggak bakal kaya tujuh turunan. Tadi gue lihat banyak pramusaji kayak lo dibooking sama om-om di sini, lo udah belum? Berapa banyak yang booking?" Lintang bersidekap, senyum miringnya muncul. "Gue? Gue udah dapat berapa pesanan ya tadi." Ia mengangkat kesepuluh jarinya. "Dua tangan juga nggak cukup, mungkin karena gue terlalu cantik." Ia benar-benar memperlihatkan sisi angkuhnya, jika Rara tak datang mungkin sisi angkuh Lintang takkan naik ke permukaan. "Gue pamit, ya. Masih banyak kerjaan." Lintang mendorong trolinya menjauh dari sana, tapi ia menoleh saat baru beberapa langkah—tepat ketika Segara juga menoleh, memperlihatkan sebuah kilatan di matanya, Lintang lekas beralih dan bergerak lebih cepat menjauh dari mereka. *** Kegaduhan berlangsung saat acara telah usai—tepat ketika orang-orang keluar dari ruangan itu, seorang pria muda secara membabi buta memukuli tamu lain yang usianya jauh lebih dewasa, ia menang telak tanpa perlawanan, tapi masih tak puas meski sang lawan sudah babak belur hingga darah mengucur dari lubang hidung serta mulutnya. Jika saja pihak keamanan serta orang-orang tak melerai mereka mungkin pria dewasa tadi sudah terbang ke alam baka. Beberapa pramusaji ikut mengintip dari balik pintu belakang termasuk Lintang yang harus ikhlas berdiri di bagian paling tak menguntungkan, bagian belakang. Lintang tak bisa melihat jelas siapa dengan siapa para sosok yang berkelahi di dalam sana, ia hanya menatap punggung berbalutkan jas hitam yang begitu tegap saat si pemilik melenggang meninggalkan korbannya usai ditarik paksa oleh bagian keamanan hotel. Kini pramusaji sudah leluasa membereskan tempat itu setelah seluruh tamu undangan keluar, Lintang mulai menata piring-piring kotor serta gelas berisi sisa cocktail di permukaan troli. Kali ini ia tak lagi mengenakan topi hitam tadi saat seseorang yang diawasinya sudah pergi, Lintang mencepol rambutnya tinggi. Gadis itu melirik arloji yang memperlihatkan pukul sepuluh malam, tak ada rasa khawatir menghampiri, ia bahkan pernah pulang saat pagi buta menjelang semasa bekerja di bar. Lintang terbiasa sampai di tempat kost kala pekat kian merangkak. Tanpa basa-basi Lintang meraih sepotong macaroon utuh dari meja yang sedang ia bersihkan, ia gigit begitu saja sebelum tersenyum merasakan manis meluruh melewati kerongkongannya. Kalau menurut orang Jawa, sesuatu yang paling pahit adalah brotowali, ia adalah jenis tanaman untuk jamu, tapi mungkin manisnya macaroon bisa menghilangkan pahitnya brotowali. Dering ponsel dari saku kemeja membuat Lintang segera mengeluarkannya, ia mengernyit menanggapi nomor seseorang di sana, sebuah chat masuk Lintang baca dalam hati. Namun, satu macaroon utuh sepertinya meluruh sempurna menuju lambung Lintang saat ia terhenyak menanggapi isi chat yang baru saja diterima. Tangan Lintang seperti bergetar menanggapinya. Setelah ini lo yang bakal habis sama gue, tunggu aja. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook