Di belakang ruang perpustakaan di bagian gedung Ilmu Kesehatan Billa bergerak gelisah menunggu kedatangan Fakhri. Tadi pagi dia sudah mengirimkan pesan kepada laki-laki itu untuk menemuinya di sini tepat di jam 11 siang, dan sekarang sudah jam 11 lebih 20 menit namun laki-laki itu belum juga nampak.
Sekali lagi, Billa mengecek ponselnya memastikan bahwa laki-laki itu mengabarinya, mungkin sedikit terlambat atau kabar apapun itu yang bisa mengurangi kecemasan yang saat ini dirasakannya. Namun Billa harus menelan kekecewaan ketika tidak ada satupun notifikasi dari laki-laki yang sudah resmi menjadi kekasihnya selama satu tahun ini.
“Heei, nunggu lama ?”
Billa sedikit lega mendapati wajah Fakhri muncul di hadapannya.
“Belum, belum lama”
Ada nada gugup dan cemas yang bisa ditangkap di pendengaran fakhri.
“ Ada apa ? ” Laki-laki itu menggenggam tangan Billa, menatap kekasihnya dengan lekat.
“Aku hamil”
Tiba-tiba genggaman tangannya terurai, ekspresi laki-laki itu berhenti sejenak, tatapannya masih sama, memandang mata Billa. Namun tatapan fakhri kali ini berubah, Billa mencoba menerka tetapi sulit mengira-ira apa yang dipikirkan kekasihnya itu.
“Jangan bercanda”
“Aku serius, aku sudah merasa beberapa hari ini ada yang tidak beres dengan diriku, dan aku mencoba..”
Kalimat Billa terhenti ketika laki-laki itu menyentak tangannya dengan kuat, membalikkan badannya menghindari tatapan mata Billa.
Billa menahan nafasnya, berharap laki-laki itu tetap menjadi fakhri yang selama ini ia kenal, Fakhri yang selalu berada di sisinya menjadi tumpuannya.
Billa bisa merasakan ke-frustasian yang dirasakan Fakhri meskipun laki-laki itu tidak berhadapannya dengannya. Ia menyugar rambutnya dengan kuat, sangat kuat membuat Billa takut tindakan fakhri akan menyakiti dirinya sendiri.
“Mas..”
“Kita gugurkan kandunganmu”
“Tidak”
“Billa jangan bodoh, anak ini akan merusak masa depan kita”
Billa memeluk perutnya ketika tiba-tiba merasa fakhri berubah menjadi monster menyeramkan yang siap menyakiti dirinya dan juga anaknya. Dia memang bodoh, tetapi dia tidak mau menjadi orang yang menyesal seumur hidupnya karena menggugurkan darah kandungnya sendiri. Bukankah dia akan menjadi orang yang jahat ketika tidak memberikan kesempatan kepada anaknya sendiri untuk menikmati dunia ? Dan ia semakin mengeratkan pelukannya.
“Kita bisa membesarkan anak ini bersama”
“Aku yakin kamu akan menarik kata-katamu ini ketika mengetahui kehidupan pernikahan yang jauh dari kata sempurna, apalagi untuk kita !!”
“Apa ini adalah kata lain dari kamu tidak mau mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan ?”
“Bukan begitu maksudku”
“Terus?”
“Terserah bagaimana tanggapanmu yang jelas aku tidak mau ada anak ini didalam hidupku !!”
Seperti muncul lubang menganga yang menyakitkan di hati Billa ketika fakhri dengan lantang mengucapkan tidak menginginkan anak ini. Tetesan air mata tak kuasa lagi dibendungnya, hidupnya hancur, hatinya hancur, dunianya hancur !!
Tidak, laki-laki ini adalah laki-laki yang sangat bertanggung jawab ! Mungkin Fakhri hanya butuh waktu untuk menerima keadaan ini, dan sementara Billa bisa mengurus segalanya sendiri, sampai laki-laki itu bisa menerimanya.
“Aku harap mas fakhri bisa memikirkan ulang apa yang mas fakhri ucapkan”
Laki-laki itu hanya menatapnya sekilas, dengan tatapan yang sangat sulit Billa pahami.
“Aku pergi”
Ucapnya berlalu, meninggalkan laki-laki itu dalam pemikirannya sendiri.
***
Tepat setelah seminggu sejak pertemuan mereka di belakang perpustakaan fakhri menghubunginya kembali untuk bertemu. Setelah perkuliahan mereka bertemu di parkiran kampus, fakhri ingin mengajak Billa ke suatu tempat yang tidak laki-laki itu sebutkan.
Mereka berboncengan menggunakan motor fakhri membelah jalanan Surabaya di sore hari, melewati jalanan aspal yang luas dan ramai kemudian semakin lama semakin sepi. Jalanan yang sebelumnya aspal kali ini mereka melewati jalan yang sempit dan berliku, menandakan mereka sudah sampai di area pedesaan yang Billa kurang ketahui.
Kurang lebih 1 jam mereka sampai di tempat tujuan dengan selamat. Mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah berwarna hijau yang asri dengan halaman luas. Rumah disini memiliki tetangga yang berjarak jauh, kurang lebih 500 meter membuat pemandangan di daerah sini terlihat lapang.
“Kita mau ngapain mas?”
“Nanti kamu juga tau”
Mereka berjalan bersama memasuki rumah itu, tidak seperti biasanya, kali ini wajah fakhri terlihat muram.
“Assalamualaikum”
Tok tok tok
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”
Di salam ke 2 mereka mendapatkan balasan dari dalam, dan sedetik kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang ibu-ibu paruh baya sekita 50tahunan atau lebih, dengan senyum ramah yang tersungging di wajahnya.
“Cari siapa nak?”
“Saya teman agus bu”
“Ooo, masuk nak”
Mereka duduk di kursi ruang tamu yang hanya berisi 4 tempat duduk dengan 1 meja tamu. Ibu itu mempersilahkan mereka duduk sambil menawarkan air mineral cup yang berada di meja.
“Oh ini anaknya ? ”
Billa sedikit bingung ketika ibu itu menanyakan sesuatu yang Billa kurang pahami arah pembicaraannya, dia hanya membalas pertanyaan ibu itu dengan senyuman sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah fakhri yang masih tetap mempertahankan kebisuan dan ekspresi anehnya.
“Sudah siap ?”
“Sudah siap apanya ya bu”
“Untuk kuret kan”
Tuhan demi apapun itu Billa tidak rela jika anaknya harus direnggut secara paksa. Dia mencintai anaknya, walaupun belum pernah bertemu dengannya, anggap saja ia sudah jatuh cinta kepada anaknya sebelum mereka bertemu.
Dia memilih beranjak pergi dengan kasar, tanpa basa basi atau sopan santun kepada ibu itu. Ia bergegas keluar dari rumah ini, di sepanjang perjalanan mengarah ke motor fakhri pikirannya berkecamuk mencari cara untuk keluar dari sini. Fakhri sudah jelas tidak menginginkan bayinya, selama seminggu dia menjauh dari laki-laki itu berharap agar dia bisa mempertimbangkan untuk merawat anak ini bersama, tetapi justru laki-laki itu mempersiapkan bagaimana cara membunuh anaknya.
Lengannya tersentak dengan kuat dari belakang tubuhnya, memaksanya untuk berhenti menghadap fakhri.
“Jangan melawan Billa”
“Aku sudah menemukan seseorang untuk bisa menggugurkan kandungan ini”
“Apa maksudmu?” Kali ini cengkeraman fakhri mengendur, dengan tatapan yang sedikit berubah dari sebelumnya.
“Kamu benar, kita tidak akan mampu merawat anak ini, dan aku sudah menemukan seseorang yang bisa membantu kita untuk menggugurkannya”
“Disini juga bisa”
“Disini terlihat bukan dari orang kesehatan mas, aku takut nanti berpengaruh ke kondisi tubuhku”
Hanya jawaban itu yang terlintas cepat di pikirannya,dia terpaksa berlagak mencoba mengamati rumah itu dari luar.
“Aku punya kenalan orang medis yang bisa menggugurkan anak ini” Tambah Billa mencoba meyakinkan ide nya.
Billa merasa kali ini dia sudah berhasil membohongi fakhri, terlihat laki-laki itu berfikir sejenak.
“Tetapi kita tetap harus pamit dengan bu esti, tadi kita sudah bertamu dengan baik”
Billa hanya menganggukkan wajahnya, mengikuti fakhri memasuki rumah yang baru Billa ketahui dengan nama bu esti.
Setelah berpamitan dengan sopan mereka kembali berboncengan untuk kembali ke Surabaya. Dalam perjalanan, Billa memeluk fakhri dengan sangat kuat, mencoba menguatkan hatinya. Ia sudah mengambil keputusan yang mungkin bisa menghancurkan dirinya. Tetapi demi anak ini ? Ia rela menyerahkan seluruhnya termasuk mimpinya untuk menjadi seorang sarjana.
Sekali lagi, Billa menguatkan pelukannya, mencium punggung laki-laki itu dari jaket kulit yang membungkusnya. Fakhri membalas ggenggaman tautan tangan Billa dengan kuat, seolah-olah itu adalah terakhir kalinya tangan mereka saling menggenggam.
Karena selanjutnya, Billa memilih untuk berjalan tanpa pegangan, berjalan tanpa genggaman tangan fakhri yang menguatkannya.
Hari itu adalah hari terakhir mereka bertemu karena Nabilla memilih untuk pergi dari kehidupan fakhri untuk melahirkan dan membesarkan anaknya seorang diri.