BAB 10

1012 Words
Hari ini rumah yang biasa sepi sedikit ramai karena kedatangan tamu agung, keluarga Bagaskara. Papa dan Mama Hana tiba-tiba berkabar akan datang ke rumah untuk mengatur rencana pernikahan yang mungkin akan diadakan seminggu lagi, sangat cepat bukan ? Ya, tetapi jika orangtua sudah bertitah Billa tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Tepat pukul satu siang papa dan mama sampai, dengan ramah bapak dan mbah menerima keluarga itu, bahkan bapak rela menyewa tukang masak terbaik di kampung untuk menyuguhkan makan siang yang enak untuk mereka. "Monggo monggo, selamat datang di kediaman kami di Jogjakarta bapak dan ibu" "Terima kasih pak, maaf kita ngabarinnya mendadak" "Yaa yaa gapapa, silahkan duduk " Kedatangan keluarga Bagaskara tentu saja menjadi perhatian penduduk kampung yang hanya berada di gang sempit seperti rumahku. Bahkan mobil keluarga Bagaskara yang mewah dan berjejer harus di parkir di jalan depan karena tidak bisa masuk langsung di depan rumah. Mereka berjalan dengan didampingi pengawal yang memayungi keduanya, berjalan beriringan dengan barang barang mewah yang jelas menimbulkan desas desus dari tetanggaku. Mungkin bapak bisa berbangga setelah ini, ketika anaknya dipersunting keluarga kaya raya dari Jakarta. Aku membantu membawakan beberapa jajan pasar kualitas terbaik, menyuguhkan ke hadapan papa dan mama, sedikit aneh dengan sebutan itu ? Aku juga berfikiran sama, tetapi itu adalah permintaan mama Nita, aku harus memanggilnya mama dan tuan bagaskara dengan sebutan papa. "Emm, calon menantukuuu" mama nita menyambutku, membawaku kedalam pelukannya. "Sehat ma ?" "Sehat energik pokoknya mama sangat bersemangat" "Alhamdulillah" Aku langsung ditarik untuk duduk disebelah mama Nita, kemudian mereka membahas rencana pernikahan tanpa melibatkan diriku didalamnya. Ketidakhadiran calon suamiku pasti sudah menjadi pertanda bahwa ia pun tidak menginginkan pernikahan ini. Sama sepertiku, kita sama sama terjebak dengan paksaan orangtua. Aku yakin orang seperti calon suamiku pastilah memiliki seorang kekasih atau beberapa wanita di sisinya, dan kenapa ia mau menerima perjodohan mendadak seperti sekarang ? Aku hanya berharap hidupku akan baik-baik saja kedepannya. Aku hanya menimpali setiap obrolan rencana pernikahan dengan tersenyum palsu, apakah aku bisa berharap bahwa pernikahanku akan baik-baik saja ? Atau sekali lagi, takdir akan mempermainkan hidupku ? "Pernikahan nanti akan diadakan hari Minggu di Bogor ! Billa, Abbas dan keluarga bisa datang ke Bogor hari kamis nya ya pak untuk persiapan" "Oh siap bu" "Nak Billa nanti setelah acara pernikahan mau bulan madu kemana ?" Hah ? Bulan Madu ? "Ahhmmm, apa itu harus ?" "Tentu saja, aku ingin segera menimang adek nya Abbas, ya kan pa ?" Ucapnya bertanya kepada tuan Bagaskara. "Udaah Ma! Biar Billa dan Bara sendiri yang nentuin ma, kita ga usah ikut campur masalah itu" "Hahaha" Gelak tawa di ruang tamu begitu renyah, semua orang yang berada disini sedang berbahagia, kecuali calon pengantin, Nabilla Saraswati. Perbincangan siang ini cukup lama dan lancar karena memang sepenuhnya acara diatur oleh keluarga Bagaskara khususnya mama Nita. Jadi keluarga Nabilla hanya cukup datang dan mengikuti acara akad nikah hingga resepsi. Itu saja. "Nabilla saya baru saja kirim nomoe hape Bara, kamu bisa coba hubungi dulu biar lebih dekat" "Ya Ma" Tidak ada penolakan, Nabilla hanya menurut perintah kedua orangtua. Nabilla menyimpan nomor telfon calon suaminya, namin tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk. - -Ting-- Pesan masuk : Mas Fakhri : Aku ingin bertemu dengan Abbas sebagai ayah, apa bisa ? Me : Tentu, di kebun binatang bagaimana ? Abbas sangat menyukai belajar binatang. Mas Fakhri : Setuju Me: Hari minggu jam sepuluh ya mas Mas Fakhri : Tentu, aku akan sangat menunggu hari Minggu Billa tersenyum dalam hati, jika hidupnya sudah berantakan bolehkah ia berharap untuk hidup Abbas yang akan menjadi sempurna dengan kedatangan Fakhri, ayah kandungnya. *** Lucy meletakkan kepalanya di sisi ranjang bed perawatan sedangkan abangnya tergeletak lemas di sisinya. Mereka memutuskan membawa Alex ke rumah sakit terdekat, ketika laki-laki itu mengeluhkan sakit di antara tulang rusuknya yang kemungkinan patah akibat tendangan preman bang Karno. Lucy merasakan sentuhan lembut tangan abangnya di kepalanya, sedangkan dirinya sedang berada dalam lamunan, tiba-tiba beberapa peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya kembali terputar seperti kaset-kaset usang, menampilkan adegan-adegan menyakitkan yang harus ia alami. "Apa kamu tidur?" Pertanyaan abangnya lirih terdengar "Heemm" Lucy bersuara, menunjukkan kepada abangnya bahwa ia masih tersadar. "Apa kamu membenciku?" "Tidak, aku hanya membenci takdirku" Abangnya masih terus mengusap pelan kepala Lucy, terasa ringan dan lembut yang membuat Lucy merasa nyaman diperlakukan seperti gadis kecil yang sangat di sayangi oleh abangnya. "Bang.." "Heemm" "Apa Rani berhak bahagia?" Rani adalah panggilan kecil Lucy, didalam keluarganya semua memanggilnya dengan sebutan Rani. Alex yang ditanya hanya menatap nanar atap rumah sakit yang didominasi warna putih, ia bingung menjawab pertanyaan adiknya yang sangat ia sayangi tetapi justru ia merasa gagal untuk membahagiakannya. Ingin sekali ia memeluk adiknya yang sudah cukup menderita selama ini, mencoba memberikan kekuatan kepada adiknya yang seharusnya dia lindungi tapi justru menjadi tameng ketololannya. Ia sudah berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, mencoba untuk bisnis mobil-mobil bekas yang sudah berjalan cukup stabil, hingga ia berani berhutang kepada bang Karno dengan cicilan dan bunga yang besar. Dan lagi lagi, takdir memang tidak pernah berpihak padanya, ia tertipu oleh temannya sendiri yang menggelapkan uang, dan adiknya selalu ada untuk menjadi tameng dalam setiap kegagalan yang dia lakukan. "Aku minta maaf" "Untuk?" "Karena tidak bisa menjadi abang yang baik untukmu" Lucy membiarkan aliran air mata nya jatuh mengalir di pipinya, dia sudah cukup untuk berpura-pura tegar. Berpura-pura kuat malah semakin membuatnya menjadi rapuh, sama saja dengan kita menipu diri sendiri untuk menganggap semua yang terjadi adalah hal biasa, padahal nyatanya hati kita sudah lah hancur. Dia tergugu dengan tangan Alex yang masih setia mengelus puncak kepalanya dengan sayang. "Aku berjanji, sekali lagi aku berjanji akan segera menjadi kakak terbaik untukmu" Kedua tangan Alex ia paksa untuk membawa wajah adiknya menatapnya. Ia ingin Lucy melihat kesungguhannya untuk merubah nasib. "Aku berjanji Rani, kebahagiaan untuk kita akan segera datang!" Lucy mengangguk, dengan tetap menahan agar ia tidak menangis. Selama hidupnya, Lucy sangat menyayangi kakaknya. Melihat kehidupan kakaknya yang berantakan, dan hidupnya yang tidak lebih baik dari kakaknya membuat Lucy bersedih. Bolehkah ia berharap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik ? "Aku yakin sama Abang, Rani yakin suatu saat Abang akan berhasil dan membahagiaakan Rani"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD