CHAPTER 3

1747 Words
Keesokan harinya, Elina berangkat lebih awal hari ini. Pagi sekali Elina sudah berada di kelas, dan baru ada beberapa siswa saja yang sudah datang. Elina duduk sendirian di bangku kelas paling belakang dengan melamun. Tak lama kemudian Zidan datang dan memasuki  kelas. “Selamat pagi Elina.” Sapa Zidan. Tak ada jawaban dari Elina. “Elinaaaa.” Ucap Zidan sambil menepuk pundak Elina. “Aahhh… Zidan.” “Kau tak apa?” “Iya, aku nggak papa.” “Jujurlah.” “Jujur tentang apa Zidan?” “Heemmm… aku mengerti apa yang kau rasakan.” “Entahlah.. ini sangat menyakitkan.” Elina mengangis dan menundukkan kepalanya di meja. “Tidak apa-apa Lin, ada aku di sini.” Ucap Zidan menenangkan Elina dan mengusap-usap punggung Elina. Tak lama Zara, Syila, dan Leo pun datang. “Selamat pagi.” Sapa Zara. “Haiiii.” Balas Zidan. “Elinaaa?” Zara berlari menghampiri Elina saat melihat Elina sedang menangis. “Yaaa… Zidan!!! Kau apakan Elina?” “Sssstttttt…jangan berisik.” Ucap Zidan. “Ada apa? Elina kenapa?” Tanya Leo berbisik. “Aku tak apa, kalian jangan mengkhawatirkanku.” Ucap Elina masih menunduk menangis di meja. Tiba-tiba hidung Elina mengalirkan darah. “Aaahhhh…. Jangaann.” Ucap Elina dalam hati. Darah itu menetes ke lantai dan Elina berusaha menutupi itu dengan kakinya. Elina tidak ingin sampai teman-temannya mengetahuinya. “Zara, boleh aku meminta tissue?” Pinta Elina yang masih di posisi yang sama. “Ahhh…ini.” Zara memberikan sehelai tissue. Lalu Elina pun menghapus darah di hidungnya. “Selamat pagi semuaaa.” Sapa Aksa sambil tersenyum. “Haaaah…. Aksa?” Batin Elina. Elina dengan cepat membersihkan darah di hidungnya. “Selamat pagi.” Jawab semuanya kecuali Elina. “Ada apa ini?” Tanya Aksa. “Elina? Kau kenapa?” Lanjut Aksa. “Aaahhh… tidak apa-apa.” Jawab Elina. “Tapi kenapa kau terus menunduk?” Elina pun langsung mengangkat kepalanya dan menatap Aksa dengan wajah yang pucat dan mata sembab. “Selamat pagi Aksa.” Sapa Elina tersenyum. “Yaaaa… Kau pucat sekali? Apa kau sakit?” Aksa panik dan duduk di sebelah Elina. “Aaahhh… tidak. Aku tidak apa-apa.” “Zara, Syila, antar aku ke toilet yah?” Pinta Elina. “Siap.” Ucap Zara dan Syila barengan. “Aksa, aku ke toilet sebentar.” “Iya.” Saat Elina hendak berdiri, karena sakit di kepalanya membuat Elina sempoyongan hingga membuatnya terjatuh. Namun dengan sigap Aksa merangkul ELina. “Elina? Kau tidak apa-apa?” Tanya Aksa khawatir. “Ahhh… aku taka pa Sa… kepalaku hanya sedikit pusing.” Tak hanya Aksa yang mengkhawatirkan Elina, semua sahabatnya yang melihat ELina pun juga sangat khawatir dengan Elina. “Elina, apa kau benar-benar tidak papa?” Tanya Zidan. “Iya, kalian jangan berlebihan.” Jawab Elina tersenyum. “Zara, Syila.. ayo.” “Zara, tolong tuntun Elin.” Pinta Aksa karena merasa khawatir pada Elina. “Oke.” Zara dan Syila mengantar Elina ke toilet. Dengan pelan-pelan Elina berjalan di tuntun ke dua sahabatnya. “Sebentar ya Zara, Syila.” Ucap Elina yang hendak masuk ke toilet. “Iya, hati-hati Lin.” Ucap Zara da Syila. “Siap.” Elina pun masuk ke toilet. Dan di dalam toilet, tangis Elina pun pecah karena teringat Aksa dan Nana. Darah di hidungnya pun juga mengalir lagi. “Please.. jangan datang lagi. Aku mohon jangan datang sekarang.” Elina menagis dan membersihkan darah di hidungnya. Setelah beberapa menit di dalam toilet, Elina keluar dengan wajah yang sangat pucat. “Yaaaa…. Elina. Kau kenapa?” Zara khawatir melihat Elina keluar dari toilet dengan wajah yang tambah pucat. “Aku tak papa Zara, ayo kembali ke kelas.” Ucap Elina dengan nada terlihat lemas. “Kau benar-benar tidak apa?” Tanya Syila memastikan. “Iyaaaa, aku tak apa.” “Baiklah,… hati-hati Lin.” Mereka bertiga pun berjalan kembali menuju ke kelas.  “Aksa.” Panggil Zidan. “Iya.” “Heemmmm.. tidak jadi.” Di sisi lain, di dalam kelas Zidan sangat ingin mengatakan sesuatu dan memberi tahu kepada Aksa bahwa Elina tadi menangis. Namun saat Zidan menunduk, ia melihat darah di bawah tempat duduk Elina. “Hah? Darah?” Batin Zidan. Tak lama kemudian Elina, Zara, dan Syila sampai di depan kelas. Elina berhenti sejenak. Elina menatap Aksa, Zidan, dan Leo cukup lama dengan raut wajah yang menyedihkan. Setelah puas menatap, perlahan Elina berjalan masuk ke kelas dengan di tuntun oleh Zara dan Syila. “Pelan-pelan Lin.” Ucap Zara. Aksa, Zidan, dan Leo menatap ke arah Elina. “Elina?” Ucap Aksa terkejut yang melihat keadaan Elina yang terlihat sangat lemas. “Elin.” Kali ini Zidan. Aksa pun segera menghampiri Elina dan merangkulnya. “Kenapa kau pucat sekali? Hati-hati.” Ucap Aksa yang menuntun Elina jalan. “Aku tak apa Sa, kau tak perlu khawatir.” Jawab Elina dengan menatap Aksa dan tersenyum. “Elin, kau pasti sakit. Pulanglah? Istirahatlah?” Ucap Leo. “Tidak, itu tidak perlu Leo.” “Ayo pulang, biar aku yang antar.” Tawar Zidan. “Tidak, biar aku saja.” Sahut Aksa. “Heeeeiiiiiiiiiiiiiii… aku tak apa semuanya. Aku ingin tetap berada di sini.” Tolak Elina. “Elin?” Ucap Zidan dan menatap mata Elina. “Aku kuat Zidan.” Balas Elina sambil tersenyum. “Apa kau benar-benar kuat?” Tanya Aksa memastikan dan menatap Elina dengan penuh kekhawatiran. “Iya Aksa.” “Baiklah.” Akhirnya semua pun menyerah dengan keputusan Elina. Guru kelas pun datang, dan pelajaran segera dimulai. Masing-masing kembali duduk di bangkunya. Elina menatap Aksa dengan mata sayu. “Aksa.” Panggil Elina pelan. “Iya.” Jawab Aksa dan menatap Elina. “Kemarin kau tidak mengabariku sama sekali kenapa?” “Ahh.. Elina.. aku baru saja memulai mendekati Nana.” Jawab Aksa dengan senyum. “Ahh…” Ucap Elina dengan nada kecewa. “Kemarin aku mulai menghubunginya.” “Baiklah.” Kali ini Elina mencoba untuk menahan airmatanya. Elina mencoba untuk tetap tegar mendengar pernyataan Aksa, namun entah kenapa hatinya tidak mau diajak kompromi. Rasanya terlalu sakit bagi Elina. Akhirnya pembelajaran dan kelas hari ini pun selesai. Semua murid berhamburan keluar kelas dan akan pulang. “Elina, mau ku antar pulang?” Tanya Zidan. “Tak usah Zidan, aku sudah menelpon supirku.” “Kau taka pa?” “Heemmm.. tentu saja. Aku tidak apa.” “Ahhh.. itu supirku! Zidan, aku pulang dulu.” “Iya Lin, hati-hati. Dan segera istirahatlah.” “Oke, terimakasih.” Elina pun pergi terlebih dahulu meninggalkan Zidan yang masih menatap kepergian ELina. “Aku tahu kau tidak baik-baik saja Elina.” Gumam Zidan. Tak lama kemudian Elina pun sampai di kediamannya. “Mama.” Panggil Elina saat memasuki rumahnya. “Iya sayang, kau sudah pulang?” “Iya mama.” Jawab Elina yang sudah merasa sangat lemas. “Kenapa sayang? Kau tampak pucat sekali.” “Mama.” Elina pun memeluk mama Mika sambil menangis. “Kenapa sayang?” Tanya mama Mika merasa khawatir. “Elina takut ma.” “Takut apa lagi sayang? Apa ini sama seperti kemarin?” “Iya ma. Kepalaku tiba-tiba sangat sakit dan hidungku mengeluarkan darah seperti dulu.” Jelas Elina tentang kejadian saat di sekolah. “Apa? Apa kau memikirkan sesuatu yang membuatmu down?” Elina hanya menangis dan mengangguk. Mama Mika pun juga tak kuasa menahan tangisnya. “Yaaa…. Dokter kan sudah bilang. Kau jangan sampai memikirkan sesuatu yang sangat serius. Ini sudah lama tidak terjadi Elina.” Ucap mama Mika sambil memeluk Elina sangat erat. “Istirahatlah sayang, kau harus tenang.” “Iya ma.” Elina pun pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Sesampainya di kamar, Elina berbaring dan menangis sembari memandangi cincin pemberian Aksa. “Aksa, apa kau benar menyukai Nana? Apa kau benar-benar hanya menganggapku sebagai sahabat? Apa yang harus aku lakukan? Aku mencintaimu. Apakah mencintaimu harus sesakit ini? Aku sakit Sa. Sakit.” Gumam Elina sambil menangis dan memeluk cincin Aksa. Sementara papa Farzan yang baru saja memasuki rumah sehabis pulang kerja melihat istrinya yang duduk sendirian di ruang tamu dengan raut wajah yang sangat cemas. “Sayang.” Sapa papa Farzan. “Papa.” Mama Mika yang baru menyadari kehadiran suaminya langsung berlari memeluk papa Farzan. “Ada apa sayang?” “Elina, pa.” “Ada apa dengan Elina?” “Elina bilang ke mama kalau Elina merasakan pusing dan hidungnya berdarah lagi.” “Apa?” Papa Farzan merasa terkejut dan khawatir mendengar penjelasan mama Mika. Papa Farzan pun langsung berlari menghampiri Elina di kamarnya. Tok… tok… “Elina.. sayang?” Panggil papa Farzan. Elina yang mendengar suara papanya langsung menghapus air matanya, lalu membuka pintu kamarnya. “Papa.” Sapa ELina yang berusaha untuk tidak menangis. Papa Farzan langsung memeluk anak semata wayangnya itu. “Elina, apa itu benar?” “Papa.” Elina akhirnya tak kuat menahan tangisnya di depan papanya dan Elina pun mengangguk. “Sudah ya, jangan menangis lagi. Kamu anak kuat.” Papa Farzan berusaha menguatkan Elina, padahal sebenarnya  papa Farzan pun juga merasa sangat khawatir dan kasihan kepada anaknya itu. Elina hanya tersenyum dan mengangguk. “Kalau begitu istirahatlah sayang. Selamat malam.” “Selamat malam pa.” Papa Farzan meninggalkan kamar Elina. Sedangkan Elina kembali berbaring. Tiba-tiba ponsel Elina bordering. “Zidan?” Elina pun mengangkat panggilan masuk dari Zidan. “Halo Zidan.” Ucap Elina dengan suara yang lemah. “Halo, Elina.” “Ada apa Zidan? Apa kau merindukanku?” Elina mencoba untuk bercanda. “Tidak. Elin, jangan membohongiku dengan candaanmu.” Zidan mengetahui bahwa Elina sedang mencoba untuk terlihat baik-baik saja. “Aku tau, kau menangis saat ini. Benar?” Lanjut Zidan. “Tidak.” “Aku tau kau berbohong. Elina, aku tau kau tidak baik-baik saja mengenai Aksa dengan Nana.” Ucap Zidan to the point. Elina yang mendengar itu pun akhirnya menangis lagi. “Aku tau itu.” Ucap Zidan lagi. “Aku tidak papa Zidan. Aku hanya sahabatnya. Jika Nana adalah kebahagian Aksa, aku pun akan bahagia. Kita semua bersahabat, mendukung satu sama lain. Biarlah Aksa melakukan hal yang bisa membuatnya bahagia.” “Kau benar-benar tidak papa?” “Iya, aku tidak papa, Zidan.” “Baiklah, kalau begitu tidurlah. Selamat malam.” “Selamat malam juga.” Elina pun mematikan ponselnya. Elian mencoba untuk bersikap tegar dan berpikir positif, namun hatinya selalu tidak mau di ajak kompromi. TBC *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD