Tak Kenal Kata Menyerah

1199 Words
Aisyah masuk ke dalam ruang istirahatnya dengan wajah merah padam. Dia tidak malu, bukan. Bukan karena itu, saat ini yang dia rasakan hanya kesal. Dia tidak menyangka seorang panglima perang macam Ageron dapat bermulut manis dan terkesan mempermainkannya tadi. Rasanya ingin sekali dia menampar wajah itu saat mengatakan hal murahan seperti tadi. Tapi dia berpikir lagi, untuk apa dia melakukan hal tak terpuji seperti itu. Jika ada yang melihatnya sudah pasti nama baiknya yang akan tercoreng. Jadi dia memutuskan untuk meninggalkan Ageron begitu saja.   “Dasar laki-laki! Semuanya sama saja! Selalu mudah mengatakan hal-hal murahan seperti itu. Apa dia tidak sadar posisinya saat ini?” gerutu Aisyah sambal melepaskan sneli dokter yang dia pakai. Jas putih itu dia sampirkan ke gantungan yang ada di sampingnya berdiri.   “Siapa yang kau umpat laki-laki murahan, dokter?” Tanya suara yang entah dating darimana. Dan itu sukses membuat dokter Aisyah terkesiap.   “Hah? Bukan siapa-siapa.” Jawab dokter Aisyah salah tingkah. Dilihatnya koleganya sesame dokter memasuki ruang istirahat itu.   “Apakah kau sudah selesai di sini? Mau pulang?” Tanya dokter Fatma.   “Ah, kebetulan aku akan berjaga hari ini. Jadi aku hanya ingin istirahat saja.”   “Oh, begitu. Baiklah, aku duluan ya. Hati-hati di sini banyak srigala lapar!” ujar dokter Fatma sambal mengedipkan satu matanya. Dia menggoda dokter Aisyah.   Dokter Fatma melihat saat dokter Aisyah berlari meninggalkan Ageron. Dia yakin terjadi sesuatu diantara mereka tadi. Tapi entah apa, dia tidak ada niatan mencari tahu hal-hal receh seperti itu. Lagi pula itu bukan urusannya. Hidupnya saja sudah cukup rumit, jadi dia tidak tertarik untuk ikut campur urusan hidup orang lain.   Tak lama dari kepergian dokter Fatma, ada seorang anak kecil yang mendatangi dokter Aisyah. Dan ternyata itu Sahid. Dokter Aisyah sudah berburuk sangka dengan anak kecil yang menggemaskan ini. Dia mulai waspada kalau-kalau nanti akan muncul Ageron sanga yah angkat.   “Dokter, apakah anda bisa membantuku?” Tanya Sahid hati-hati. Mendengar itu dokter Aisyah langsung berjongkok agar tinggi mereka sejajar.   “Membantu apa Sahid? Jika bisa akan aku lakukan.” Jawab Aisyah ramah.   “Perutku di sebelah sini sakit sekali.” Tunjuk Sahid ke perut bagian bawahnya.   “Apakah di tengah sini?” Tanya dokter Aisyah, dan Sahid pun menganggung. “apakah kau sudah makan?” tanyanya lagi. Dan Sahid menggelengkan kepalanya. “Loh, kenapa kau tidak meminta makanan dengan orang yang bertanggung jawab di camp ini?” lanjtnya lagi.   Mendengar dokter Aisyah yang mulai meninggikan suaranya Sahid pun mundur dua langkah. Dia terlihat takut saat ini. Menyadari jika dia membuat Sahid takut, dokter Aisyah pun melembutkan suaranya lagi.   “Maafkan aku jika aku membuatmu takut, tapi seharusnya kau makan sesuatu, Sahid. Perutmu sakit karena kau belum makan.” Jelas dokter Aisyah perlahan. “mau roti?” Tanya dokter Aisyah dan Sahid pun menganggukkan kepalanya.   Dokter Aisyah berdiri dan berjalan menuju mejanya dan mengambil satu bungkus roti yang tadi dia bawa dari rumah serta satu kotak s**u. Seharusnya dua makanan itu merupakan bekalnya untuk mala mini. Dia sadar betul, di tempat ini sering terjadi hal-hal yang tidak terduga, terkadang mereka tidak bisa makan sama sekali. Tapi dengan membawa makanan praktis seperti ini mereka akan sedikit terbantu.   Dokter Aisyah memberikan makan itu kepada Sahid dan mengajaknya duduk di kursinya. Dia memperhatikan cara Sahid makan. Sepertinya dia belum makan apapun sedari tadi. Dan hal itu membuatnya geram, berarti sama hal itu sama saja dengan Ageron menelantarkannya.   “Sahid, apakah baba tidak memberimu makan tadi pagi?” Tanya Aisyah.   “Baba sangat sibuk dokter. Banyak sekali orang-orang yang dating dari tadi.” Jelas balita kecil itu.   Sahid anak yang sangat cerdas. Diumurnya yang masih sangat belia dia bisa memahami apa yang terjadi dan menjelaskan sedetail mungkin kepada orang yang bertanya kepadanya. Mungkin inilah efek anak-anak korban perang. Mereka menjadi dewasa lebih awal dan menjadi sangat mandiri.   “Ehm… baiklah. Kalua begitu makanlah yang banyak. Tapi makan dengan perlahan ya. Jika kau makan terburu-buru nanti perutmu akan bertambah sakit. Dan habiskan s**u ini.” Dokter Aisyah mendekatkan kotak s**u yang tadi dia berikan kepada Sahid.   “Terima kasih dokter. Sekarang perutku sudah tidak sakit lagi.” Sahid pun menunjukkan senyum terbaiknya kepada dokter Aisyah.   Melihat itu dokter Aisyah pun mengingat kegusarannya tadi. Dia benar-benar benci rezim ini. Karena akibat ulah mereka anak kecil seperti Sahid ini harus hidup terpisah dengan orang tuanya. Entah mereka masih hidup atau sudah mati di luaran sana. Sahid pun tidak tahu, setiap dia ditanya, da hanya menggelengkan kepalanya.   “Sahid, kamu tinggal di sini saja ya. Aku harus memeriksa kondisi di luar. Mungkin ada yang butuh bantuanku di luar.”   “Tidak dokter. Sebaiknya aku pun kembali ke campku. Jika Baba tahu aku pergi dan menghilang, Baba pasti akan marah. Aku takut jika Baba marah.”   “Babamu sering marah ya? Tega sekali dia!”   “Baba selalu marah dengan orang-orang yang ada di luar rumah. Tapi dia tidak pernah marah kepadaku.” Jelas Sahid lagi.   “Masyaalla… kau ini benar-benar cerdas Sahid. Kalau sudah besar kau ingin menjadi apa?”   “Aku ingin menjadi dokter sepertimu dan juga laki-laki pemberani seperti Baba.   “Kau ini benar-benar menyayangi Baba-mu yah.”   “SAHID…. SAHIIIID!!!” suara teriakan itu memanggil nama Sahid. Dan hal itu membuat Sahid menelan habis roti yang masih ada di mulutnya dan meminum s**u itu hingga habis. Dia tidak mau apa yang dia suka akan direbut oleh Ageron dan membuangnya dengan alasan makanan itu tidak sehat.   “Dokter aku kembali ke camp ku dulu ya. Sepertinya itu Baba yang memanggil.” Pamit Sahid cepat kepada dokter Aisyah.   “Oke. Tidurlah. Tapi jangan lupa menyikat gigimu.”   “Hah! Di sini kau rupanya.” Ucap Ageron saat dia memasuki ruang istirahat untuk para tenaga medis.   Dia sudah hapal betul jika anak angkatnya ini tidak dia pelihara dengan baik. Ageron menatap kesal ke arah Sahid seraya bertanya dengan nada tinggi kepada Sahid.   “Anda tidak perlu berteriak seperti itu Tuan. Dia sudah bisa mendengar suara kok.” Protes dokter Aisyah saat Ageron meneriakkan nama Sahid. “Sebaiknya Anda bersikap lebih baik dan lebih lembut lagi jika Anda berhadapan dengan anak kecil seusia Sahid. Dia bisa takut dengan Anda jika Anda masih saja seperti ini.” Lanjut dokter Asiyah.   Ageron menatap dokter Aisyah lekat. Dia menetap dokter Aisyah tepat di manik matanya. Ageron berjalan mendekati dokter Aisyah sambal tersenyum sinis.   “Ternyata kau tahu lebih banyak tentang bagaimana berhadapan dengan anak kecil, ya.” Ucapan dingin dan ketus itu membuat dokter Aisyah geram. Dia manatap Ageron nyalang.   “Saya rasa semua orang di dunia ini tahu bagaimana bersikap yang baik kepada anak kecil berusia tiga tahun. Setidaknya ‘kami’ tidak akan pernah membiarkan mereka kelaparan!” jawab dokter Aisyah tegas.   Satu alis mata Ageron naik cukup tinggi. Dia menatap dokter Aisyah lalu menatap Sahid bergantian. Ageron dapat melihat sisa s**u di sudut bibir Sahid, dan dia langsung memejamkan matanya dan merutuki keteledorannya dalam hati. Tapi karena egonya begitu tinggi, alih-alih mengucapkan terima kasih karena dokter Aisyah sudah memberikan makanan dan juga s**u kepada anak angkatnya ini, Ageron justru langsung menggendong Sahid dan keluar dari ruang istirahat tenaga medis ini.   “Ck! Dasar orang satu itu, mengucapkan terima kasih saja berat!” maki dokter Aisyah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD