BAB 61 | Kisah Lama yang Terkubur

2013 Words
HARI itu langitnya begitu cerah dan seorang anak perempuan membawa buku gambarnya, menggambar bulan yang sangat disukainya. Sedangkan di dekat jendela loteng, seorang remaja laki-laki tengah mengintip beberapa kunang-kunang dengan p****t yang berwarna kekuningan menyala di depan jendela. Kunang-kunang itu berusaha untuk masuk, namun tidak ada celah di jendela itu sama sekali. Mungkin kunang-kunang itu akan berterimakasih karena jendela itu tertutup suatu saat nanti. Terdengar suara ketukan di pintu rumah mereka. Ketukan pintu yang sangat keras setelah beberapa mobil berhenti di depan rumah. Biasanya, beberapa mobil yang datang hanya para pemburu yang mencari hewan liar di dalam hutan dan menitipkan mobilnya di depan rumah mereka. Namun kali ini, terdengar ketukan kencang yang menandakan bahwa mereka bukan pemburu biasanya. Remaja laki-laki itu melongok ke bawah, menatap kedua orang tuanya yang saling berhadapan dari lubang kecil itu. Si Ibu yang menyadari ada mata yang melihatnya—memberikan senyuman terbaiknya. Memberikan kode dengan tangannya, mengusir sang anak agar tidak menatap ke arah mereka lagi. Sampai akhirnya dua orang berbadan besar akhirnya masuk ke dalam rumah mereka dengan paksa. Remaja laki-laki itu langsung mengalihkan pandangan matanya. "Kakak ada suara rib—" ucapan anak perempuan itu langsung dibungkam begitu saja dengan tangan remaja itu agar tak terdengar sampai ke bawah. Anak perempuan itu hanya bisa diam, berusaha untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Anak perempuan itu menatap Kakaknya yang ketakutan dengan jemari yang gemetar ketika menutup mulutnya. Bahkan napas Kakaknya itu terasa naik-turun dan tidak beraturan. Mereka berdua pun bisa mendengar suara rintihan dan tangisan yang begitu menyayat hati. Mereka berdua seperti tahu siapa pemilik suara itu, namun mereka tidak ingin mengakuinya. Derap sepatu itu terdengar sangat menakutkan. Beberapa orang yang berbadan besar, yang remaja itu lihat tadi sibuk menjatuhkan beberapa barang-barang. Menjadikannya tumpukan dan ditimpakan pada kedua orang tua mereka. Keduanya hanya bisa menahan tangis sambil saling memeluk. Remaja laki-laki itu berusaha untuk melindungi adiknya agar tidak dilukai. Karena mengakui atau tidak; mereka sudah kehilangan orang tua. "Sepertinya mereka mempunyai anak, Tuan. Saya melihatnya dari foto yang tertempel di sini." Ucap salah satu laki-laki berbadan tegap yang baru saja melihat figura foto yang lumayan besar tertempel di dinding rumah itu. Remaja laki-laki itu mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya, memberikan isyarat kepada anak perempuan itu untuk diam. Sedangkan sang anak perempuan berusaha menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangannya. Meredam suara isakan yang sebenarnya ingin sekali keluar. Anak perempuan itu sebenarnya tahu apa yang terjadi di bawah sana dan apa yang terjadi kepada kedua orang tua mereka. Namun anak itu hanya bisa mengikuti kemauan Kakaknya untuk tetap diam. Remaja laki-laki itu berusaha untuk memberanikan dirinya mengintip di lubang yang kecil untuk melihat siapa yang ada di dalam rumahnya. Remaja laki-laki itu bisa melihat kedua orang tuanya yang terkapar dengan darah yang mengalir di bawah reruntuhan barang-barang yang orang-orang itu sengaja tumpuk di sana. Tangannya gemetaran, matanya memanas, dan sesekali dia melirik adiknya yang bercucuran air mata. Hari itu adalah hari kehancuran di dalam hidupnya. Hari di mana anak perempuan itu menjadi satu-satunya kekuatan untuk remaja laki-laki itu. Hari di mana segala tumpuan hidup menjadi tanggungjawabnya. Remaja laki-laki itu bisa melihat dengan jelas wajah orang-orang yang sudah masuk ke dalam rumahnya dan ikut andil dalam pembunuhan orang tuanya. Tangannya mengepal kuat-kuat—dendam kepada semua orang yang terlibat dan berjanji akan membalas dendam suatu saat nanti. Tiba-tiba tercium aroma benda yang terbakar. Remaja laki-laki itu hanya bisa melihat kobaran api yang tidak terkendali di bawah sana. Tanpa pikir panjang, remaja laki-laki itu langsung berusaha untuk mengeluarkan sang adik dari sana lewat jendela loteng yang lumayan tinggi. Mereka pun berusaha menyelamatkan diri dari kobaran api dan orang-orang yang sudah membunuh kedua orang tua mereka. Remaja laki-laki itu menarik sang adik untuk masuk ke dalam hutan yang kurang lebih mereka tahu apa yang ada di dalamnya. Kedua bocah tanggung itu hanya bisa bersembunyi dan diam tanpa suara agar tidak ada orang yang mengetahui keberadaan mereka. Mereka berhenti di dekat pohon buah-buahan yang ditanam orang tua mereka dan menunggu di sana selama beberapa saat sampai mereka mendengar suara deru mobil orang-orang itu tidak terdengar lagi.  Kedua anak itu bersembunyi dengan tubuh yang gemetaran. Lalu mereka bisa melihat cahaya yang sangatlah terang; rumah mereka yang habis termakan api. Keduanya menangis dengan kencang karena satu-satunya kenang-kenangan yang mereka punya sudah lenyap bersama kebakaran rumah mereka. Tidak ada yang tersisa lagi selain kenangan di dalam pikiran dan hati mereka. Namun apakah semuanya akan sempurna, ketika kenangan buruk lebih memberi d******i yang jelas. Orang-orang itu telah membuat dua anak malang terlantar tanpa orang tua, tanpa rumah, dan mereka pun dipaksa untuk hidup dengan cara yang menyedihkan. Mereka seperti dipaksa hidup dengan usaha yang bertumpu pada kaki mereka sendiri. Dua orang anak kecil itu pun tidak bisa menahan luka di hati mereka dan membuat keduanya mendapat trauma yang parah. Jangankan untuk melupakannya—setiap malam dan setiap harinya bayang-bayang tentang masa itu tidak akan pernah hilang dari ingatan mereka. Apalagi perjalanan hidup setelah keluar dari hutan akan lebih kejam dari kehidupan anak yang diasuh dan dibesarkan oleh ibu tiri. Kehidupan mereka yang baru tidak ubahnya sebagai neraka dunia yang sangat menyesakkan. Hidup di jalanan dengan kesakitan dan juga luka. Orang-orang mengatakan bahwa itu semua hanya pembelajaran hidup. Tapi bagi korbannya, semua hanya sekedar penyiksaan tanpa dasar yang diberikan kepada jiwa-jiwa yang tidak bersalah dan rapuh. Orang lain tidak tahu bagaimana kedua anak itu menjalani hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa orang tua keduanya telah meninggal. Mungkin yang lain menganggap bahwa kedua anak itu adalah anak hasil hubungan gelap yang sengaja ditelantarkan orang tuanya. Kadangkala mereka harus menutup telinga dan berakhir menjadi bahan cemoohan. Mereka tidak lagi belajar dan duduk di bangku sekolah karena takut mereka akan dicari oleh orang jahat itu. Mereka memilih mengikuti langkah membawa mereka. Namun semua tetap tidak mudah, sampai mereka berdiri di depan gerbang kesakitan namun membahagiakan; Lingkaran Hitam. ~~~~~~~~ Arkana terbangun dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Hipnoterapi yang dilakukan untuk menghilangkan traumanya selalu tidak berhasil karena sebagian diri Arkana menolaknya. Rasanya tidak terlalu menyakitkan, dia bisa sedikit membebaskan seluruh bayangan dan memori itu merenggut kesadarannya. Namun ketika dirinya akan masuk ke dalam tempat itu, semuanya kembali ke titik yang sama. Bahkan akhirnya dirinya terbangun dengan air mata yang selalu turun dari kedua sudut matanya. Lingkaran Hitam selalu menjadi memori yang diingatnya, namun ingin sekali dilupakannya. Bukan karena Arkana membencinya, tetapi rasanya menyakitkan ketika berada di sana dan mengingat bahwa dirinya sudah menjadi orang yang seperti sekarang, mengecewakan. Arkana selalu memimpikan dirinya adalah orang yang berbeda dari dirinya yang sekarang. Bukan Arkana si Big Boss yang memimpin sebuah kelompok pembunuh bayaran yang menjadi tokoh paling ditakuti sekarang. Bahkan kelompok penjahat lainnya berusaha untuk mencari Jendela Kematian, meminta bergabung. Mereka juga berusaha meminta kelompok Jendela Kematian untuk menjadi partner kerja mereka. Tapi Jendela Kematian bukan kelompok penjahat yang sibuk mencari uang dengan berbagai cara kotor. Mereka benar-benar mempunyai pekerjaan membunuh seseorang. Bukan hanya untuk mengedarkan narkoba atau mencobanya. Jendela Kematian bukan kelompok semacam itu. Setelah melewati hipnoterapi hari ini, Arkana memilih untuk berjalan ke tempat-tempat yang menenangkan seperti taman atau perpustakaan yang minim suara. Laki-laki itu akhirnya berjalan masuk ke sebuah perpustakaan kota yang memang mempunyai koleksi buku-bukunya yang super lengkap. Arkana mengambil sebuah buku kimia terapan dan membacanya di sudut perpustakaan di mana karpet hijau itu dibentangkan. Sehingga para pengunjung bisa membaca dengan posisi duduk di bawah atau tiduran sesuai dengan kenyamanan mereka sendiri. Arkana menyandarkan punggungnya ke tembok, mulai membaca buku sambil sesekali melirik ke arah dua orang yang datang ke perpustakaan juga, orang yang dirinya kenal. Untunglah keduanya tidak melihat dirinya yang tengah duduk di bawah sambil memegang buku kimia yang akhir-akhir ini dicarinya. Laki-laki itu sedang giat mempelajari tentang kimia terapan. Bahkan Isabela menganggap bahwa Arkana ingin melanjutkan pendidikannya lagi dengan mengejar paket C. Arkana tidak sempat meluluskan sekolah karena dulu mereka tidak punya uang. Punya pun, segalanya untuk kelangsungan hidup Isabela. Arkana beranjak dari duduknya untuk mencari tempat yang lebih nyaman karena beberapa remaja rusuh sudah mulai mendekat ke arahnya. Mereka mengerjakan tugas, namun tidak bisa tenang. Arkana benci dengan suara sedikitpun ketika berada di perpustakaan atau tempat yang memang harusnya tenang. BRUGH! Buku keduanya terjatuh secara bersamaan. Arkana menatap Arond yang juga menatapnya kaget. Spontan mereka melihat buku yang mereka jatuhnya dan terbuka pada halaman yang sama. Seakan-akan mereka memang membaca pada halaman yang sama. "Wah, ... mengesankan!" Ucap orang yang baru mendekat ke arah Arkana dan Arond yang masih menatap tidak percaya karena berada di tempat yang sama. "Apakah kalian mempunyai hobi yang sama? Kenapa harus kimia terapan?" Sambung perempuan yang sudah jelas adalah, Kana. Arkana dan Arond dengan buru-buru memungut buku yang tidak sengaja mereka jatuhkan. Jika dipikir-pikir, mereka seperti pasangan yang ada dalam sinetron. Terlalu berlebihan memang, namun itu kenyataannya. "Hm," dehem Arkana karena dirinya masih merasa canggung pada Arond. Begitu pula Arond yang berusaha bersikap senormal mungkin meski perasaannya campur aduk karena memang mereka sangat canggung ketika sama-sama bertemu di apartement Kana. Sedangkan perempuan itu hanya diam, cenderung tidak peduli dengan interaksi kedua laki-laki yang dikenalnya itu. "Bisa kita bicara?" Tanya Kana saat Arkana hendak pergi begitu saja dari hadapan keduanya dengan memegang lengan laki-laki itu. Arkana melepaskan tangan Kana yang menggenggam tangannya. Laki-laki itu hanya memberikan senyuman tipisnya lalu menggeleng pelan. "Aku sudah menjelaskannya, 'kan? Tolong sampai di sini." Tandasnya memutuskan hubungan mereka yang bahkan belum dimulai. Arkana melangkahkan kakinya dengan membuka-buka bukunya. "AKU SUKA SAMA KAMU! AKU MAU KITA PACARAN!" Teriak Kana secara tiba-tiba yang langsung membuat Arond disampingnya, spontan menutup mulut temannya itu.  Semua orang yang berada di sana langsung mengalihkan perhatian mereka pada Arkana yang hendak pergi. Namun laki-laki itu akhirnya memundurkan langkahnya karena Kana yang nekat berteriak di depan umum tanpa rasa malu sama sekali. Bahkan kedua laki-laki itu—Arkana dan Arond—penasaran tentang; di mana Kana menyimpan atau malah membuang rasa malunya? "Aku mau bicara," lirih Kana yang memasang wajah tanpa dosanya. Arkana menghela napas panjang, dia hanya ingin tenang sebentar saja dan sudah diganggu oleh perempuan itu. Padahal mereka tidak seharusnya bertemu lagi. Kesepakatannya seperti itu. Arond yang merasa terjepit diantara keduanya memilih untuk pura-pura menelepon dan berjalan mundur agar tidak terseret dalam masalah diantara mereka. "Aku tidak ingin bicara!" Ucap Arkana dengan penuh penekanan dan serius, terlihat dari wajahnya. "Hari ini aku banyak kegiatan." Sambung Arkana kembali. Kana menatap Arkana, "aku mau hubungan kita jelas. Aku suka sama kamu sejak kita pertama bertemu di club'. Aku lebih suka dan semakin suka saat kita tidur bersama. Apa kurang jelas?" "Kalau aku mengatakan iya, apa kamu akan berhenti mengganggu?" Tanya Arkana kepada Kana. Tentu saja perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Jangan bermimpi!" Bisik Arkana yang membuat Kana kesal setengah mati. Perempuan itu menatap Arkana dengan acuh dan melipat kedua tangannya di d**a, "aku tidak suka caramu!" Bukannya mengejar Arkana dan memintanya berulangkali, Kana malah memilih pergi begitu saja—meninggalkan Arkana yang memang berusaha menghindar darinya. Tapi melihat kepergian Kana membuat hati Arkana tidak nyaman. Laki-laki itu menoleh ke belakang; berharap jika Kana akan berada di belakangnya dan mengagetkannya. Arkana pikir, semuanya akan berjalan sama. Namun akhirnya tidak! Arkana yang terlanjur badmood langsung berjalan keluar dari perpustakaan setelah mengembalikan buku. Dia tidak tertarik lagi membaca buku. Namun sebuah kejadian yang sangat cepat membuatnya kembali ke dalam ingatan yang berusaha dia lupakan selama ini. Seseorang memeluknya dengan erat, melindunginya dengan senyuman dan berakhir terjatuh di pelukannya. Arkana menatap nanar ke arah perempuan itu, memeluk tubuh yang tumbang dan merintih kesakitan. Security perpustakaan itu pun berusaha untuk mengejar pelaku, namun sepertinya tidak ada harapan untuk menangkapnya. Mereka lebih fokus kepada seorang perempuan yang lengannya mengeluarkan darah akibat pisau yang dilayangkan oleh orang tidak dikenal yang kabur dengan motornya. "KANA!" Teriak Arond yang baru saja keluar dari perpustakaan dan melihat Kana yang memeluk Arkana dengan erat. Perempuan itu tersenyum ke arah Arkana dan memejamkan matanya perlahan. Arkana masih kaget, tidak bisa memproses suara apapun yang masuk ke dalam telinganya. Sampai akhirnya, laki-laki itu merasakan kepalanya berat, pandangannya kabur, dan akhirnya terkapar bersama dengan perempuan itu. Keduanya terkapar di pinggir jalan, membuat panik beberapa orang di sana. Termasuk Arond yang kepayahan karena harus mengurus dua orang sekaligus. ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD