MARKAS kembali terbuka—semua aktifitas non pekerjaan di Jendela Kematian mereka kesampingkan terlebih dahulu. Setelah menyapu beberapa masalah yang ada, sang pemimpin Jendela Kematian pun mengeluarkan perintah bahwa hari ini adalah hari pertama setelah Bear tiada untuk membuka pekerjaan mereka kembali. Mereka sudah lama vakum dan menangguhkan semua aktivitas keuangan mereka karena teror pembunuhan untuk kelompok mereka.
Sebenarnya Big Boss sudah sanga lelah dan capek dengan segala hal yang berhubungan dengan orang tidak dikenal yang berusaha untuk membuat kisruh kegiatan Jendela Kematian. Laki-laki itu memberikan keputusan bukan tanpa alasan yang jelas. Mereka tidak bisa terus diam dan diliputi bayang-bayang rasa takut untuk melangkah maju. Apalagi tidak baik jika terus-menerus berlarut-larut dalam kesedihan karena kematian Bear yang memang mengundang kemarahan mereka semua.
Posisi mereka hanya tergantung pada diri mereka sendiri, maju atau tetap diam di tempat. Maka dari itu markas dibuka selebar-lebarnya. Diskusi pun menjadi jalan utama bagi kelompok elite seperti mereka untuk berpikir ulang. Meskipun Big Boss memberi arahan tentang kelanjutan kelompok mereka. Namun harus ada pendapat yang menyeimbangkan dari ucapan Big Boss tersebut. Mereka memulai pembahasan serius dan berusaha memecahkan masalah yang ada, seperti biasanya.
Mereka berempat duduk bersama di sebuah meja. Ada rasa kosong yang membuat mereka hanya diam dan menatap ke arah tempat itu selama beberapa saat. Wajar jika mereka masih belum terbiasa. Wajar jika mereka merasa kehilangan. Satu ruang kosong rasanya memang menyedihkan. Seseorang biasanya duduk di sana, terkadang menatap teman-temannya dan tiba-tiba mulai tertawa. Jika mengingat senyuman orang itu, mereka merasa rindu sekaligus kesal.
Mereka masih mengingat Bear. Walaupun Bear bergabung paling terakhir, namun laki-laki itu tetap bagian dari kelompok mereka yang sangat penting. Bear memberikan banyak alternatif untuk kelompok mereka. Membuat pekerjaan untuk mereka lebih ringan dan tentunya jalan yang mereka tempuh tidak sesulit ketika hanya menggunakan senjata saja. Karena sesuatu yang tidak terlihat akan lebih mematikan dan membingungkan.
Selain itu, Bear mengajarkan untuk melakukan pengobatan luka sendiri. Jadi jika sampai ada yang terluka—maka satu sama lain bisa membantu. Awalnya hanya Big Boss saja yang berani menangani luka dan semua yang berhubungan dengan semacam itu. Namun Bear menekankan jika suatu saat nanti Big Boss yang terluka dan tidak ada dirinya, maka semua itu bisa membahayakan salah satu diantara mereka. Untunglah Bear pernah menekankan itu, sehingga mereka mau tidak mau berusaha untuk belajar.
"Huft, ... semakin aku diam, semakin aku memikirkan tentang Bear. Apa kita bisa memulai pembahasannya? Aku benar-benar merasakan ruangan kita begitu kosong, berbeda, masih sesak rasanya. Meskipun kenyataan bahwa Dafollo meninggal sudah ada di depan mata." Ucap King sambil menatap ketiga temannya yang lain.
Big Boss mengelus pundak King dan tersenyum. Berusaha menguatkan temannya itu. Mereka sama-sama kehilangan karena ini pertama kalinya mereka kehilangan rekan mereka. Padahal, mereka berusaha saling menjaga seperti saudara yang memang bekerja bersama.
"Apa kita akan kembali menggunakan metode kita yang lama?" Tanya Happy yang kembali memecah keheningan diantara mereka.
Big Boss mengangguk pelan, "kita tidak punya pilihan lain, bukan? Tetapi masih ada lumayan banyak penemuan Bear yang bisa kita manfaatkan. Tapi tentunya terbatas karena kita selalu menyerahkan semuanya kepada Bear sendiri. Seharusnya dulu kita melakukan semuanya bersama-sama. Sehingga ketika kejadian seperti ini, kita tidak pincang. Meskipun kita berusaha menjaga agar kelompok kita tetap utuh."
Mereka mengangguk pelan dan kembali diam. Pembahasan kali ini memang cukup berat. Apalagi sudah lama tidak menggunakan metode yang sudah lama ditinggalkan. Sekarang mereka harus muncul ke permukaan dan memperjelas jika kelompok mereka memang ada. Mereka memperlihatkan diri dan berusaha untuk tetap menjaga rahasia satu sama lain. Setidaknya itulah yang bisa mereka lakukan.
"Kita harus kembali, bukan? Jadi, ... kita semua harus tegar! Aku tidak menghalangi kesedihan kalian dan berusaha untuk memaksa. Tetapi Bear tidak menginginkan ini! Bear pasti berharap kita tetap berjalan maju. Meskipun aku menyalahkan diriku sendiri, meskipun kalian tidak pernah menyalahkan aku, tetapi secara tidak langsung, aku yang membawa Bear masuk dalam masalah. Aku yang seharusnya bertanggungjawab!" Kali ini yang bicara adalah Beauty.
Big Boss kembali menengahi, "kita berdiskusi hari ini! Bukan untuk menyalahkan siapapun atau terus menyalahkan diri sendiri. Jangan membuang waktu kita untuk meratapi apa yang terjadi. Kita seringkali melihat orang mati dan mungkin Bear pun sudah tahu apa akhirnya. Kita semua pun tahu bagaimana ending untuk kita juga. Kita juga berusaha bertahan hidup dan jangan sampai mati."
"Banyak orang-orang yang sudah mengirimkan kita pesan. Tapi aku ragu apakah kinerja kita masih sama seperti dulu atau tidak! Tentu saja mereka berharap pembunuhan di publik tidak terjadi dengan pistol karena akan terlalu kentara. Para client berusaha menutupi jejak keterlibatan mereka. Jika kita menggunakan senjata mak—" penjelasan Happy terpotong begitu saja oleh kode tangan dari Big Boss.
Laki-laki itu menghela napas kasar dan menatap Happy kembali, "kita yang akan menentukan client! Kita yang akan membereskan masalah mereka. Mau menggunakan metode apapun, kita bisa memastikan jika semua akan berjalan mulus seperti biasa. Tentu saja kita bekerja dengan serius dan hati-hati agar nama dan reputasi mereka terjaga. Memang selakami ini kita bekerja seenaknya? Meksipun tidak menggunakan metode seperti yang Bear lakukan. Apakah kita akan diam saja? Atau lebih baik kita bubar saja?"
Kali ini mereka terdiam, tidak bisa menjawab Big Boss yang tiba-tiba terlihat sangat kesal. Padahal Happy hanya menjelaskan tentang pesan dari calon client mereka. Namun tampaknya Big Boss sensitif dan membuat suasana menjadi sedikit panas. Untunglah mereka bertiga bisa menenangkan diri, sehingga mereka tidak beradu argumen.
"Aku tidak memaksa kalian untuk tetap berada di sini. Jika kalian tidak mau mengambil resiko, kenapa kita ada di sini? Mengapa kita masih membahas ini. Aku tahu bahwa keberadaan Bear sangat penting. Tetapi mau bagaimana lagi? Bear sudah tidak ada! Bear tidak akan membantu kita lagi. Ah, ... terserah kalian saja!" Tandas Big Boss yang beranjak dari duduknya, pergi dari perkumpulan mereka dan masuk ke dalam ruangannya sendiri.
Mereka bertiga tidak ada yang berusaha mengejar. Tentu saja Big Boss membutuhkan waktu sendiri untuk berpikir. Karena tidak semua yang dikatakan Big Boss salah. Jika mereka memang tidak ingin mengambil resiko, lalu apa yang dilakukan mereka sekarang? Mengapa harus berdiskusi sedangkan mereka tidak mau terluka sama sekali?
"Mari menenangkan diri sebelum kembali membahas ini." Ucap King akhirnya dan berjalan menjauh dari kedua temannya, Happy dan Beauty yang masih bertahan di sana.
Happy mengelus pundak Beauty dan beranjak dari duduknya juga. Tetapi Beauty menahannya.
"Apakah ada kemungkinan kita berhasil jika menggunakan metode yang lama? Aku percaya dengan diri sendiri. Tapi aku tidak yakin tentang penilaian kalian terhadap keyakinan yang aku yakini." Ucap Beauty yang membuat Happy kembali duduk disamping perempuan itu.
Happy menghela napas panjang dan tersenyum, "kamu hebat menembak, Beauty! Kenapa harus bertanya soal keyakinan kami? Kamu tahu, sebelum ada Bear di kelompok kita, kamu lah yang mengambil bagian terpenting dalam misi. Karena Bear ada, bukan berarti kami meragukan kemampuan dan keyakinanmu. Big Boss marah bukan karena kita tidak becus lagi bekerja. Tapi dia ketakutan tentang; bagaimana kalau ada yang terluka lagi diantara kita. Kita tidak ada yang saling meragukan. Kita semua hanya menempatkan ketakutan kita di atas keberanian yang kita bangun."
Beauty mengangguk, beban pikiran yang dia tanggung memang sangat luar biasa berat. Dia selalu bicara dengan semua temannya, meminta pendapat kepada mereka semua—berusaha meminta ketenangan dan akhirnya selalu berhasil. Baik Big Boss, Happy, maupun King, mereka memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Sehingga Beauty tidak pernah merasa berbeda. Walaupun terkadang perempuan selalu dianggap lemah. Tetapi mereka semua, selalu menganggapnya sebagai keberuntungan.
"Sekarang, ... kita saling berpikir dan menenangkan diri. Aku yakin bahwa Big Boss akan pulih sendiri. Aku tahu dia orang yang paling terluka ketika salah satu anggotanya celaka. Orang yang selalu menyalahkan dirinya saat kejadian buruk terjadi. Big Boss tidak ingin kita sampai menderita, terluka, apalagi sampai meninggal. Itu poin penting yang membuat Big Boss merasa sangat tertekan dan seperti mempunyai beban yang berat. Dia bertanggung-jawab untuk hidup anggotanya yang lain." Tandas Happy kembali.
Untunglah! Ketika ada yang mulai bertindak seperti api, maka salah satu diantara mereka langsung bertindak sebagai air. Menenangkan satu sama lain dan siap untuk kembali lagi ke titik semula.
~~~~~~~~~~
Klek! Seseorang masuk ke dalam ruangan Big Boss, seorang laki-laki dengan membawa beberapa kaleng minuman beralkohol yang dirinya sembunyikan dari balik jaketnya. Laki-laki itu meletakkan kaleng minuman itu di atas meja dengan membuka salah satu kalengnya dan meminumnya tanpa ijin dari sang pemilik ruangan.
"Sialnya, aku mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi. Mau minum sebanyak apapun, rasanya hanya kembung saja. Apakah itu wajar?" Tanya laki-laki itu sambil menatap keluar jendela, di mana tatapan Big Boss fokus kesana.
Big Boss tidak mengalihkan fokus matanya kepada laki-laki yang ada di ruangannya itu, "pergilah! Aku tidak ingin diganggu. Aku sedang malas berdebat denganmu juga. Sekarang keluarlah, King. Kita bahas masalah itu nanti. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku bisa menjadikan dirimu sebagai bahan untuk sekedar menyalurkan emosi. Pergilah selagi aku masih baik."
"Apakah itu sebuah ancaman?" Tanya King yang tidak mendengarkan Big Boss sama sekali.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Big Boss. Dia memilih untuk tetap duduk di tempatnya sambil menatap keluar jendela. Dia tidak tertarik untuk mengikuti King yang sedang siang meminum minuman di ruangannya. Walaupun King tampak menikmati, sepertinya ketertarikan itu tidak ada.
Walaupun berada di dalam ruangan yang sama, keduanya tidak saling bicara. Bagi King, melihat Big Boss baik-baik saja sudah lebih dari cukup. Laki-laki itu menarik salah satu kursi di ruangan Big Boss dan menduduki kursi itu, tepat disamping laki-laki itu. Big Boss tidak terganggu sama sekali dan memilih untuk memejamkan matanya.
"Bagaimana dengan lukamu? Apa rasanya masih sakit?" Tanya King membuka pembicaraan.
Big Boss hanya menjawabnya dengan deheman saja karena lukanya masih sering sakit. Apalagi dia tidak pernah bisa diam dan memilih melakukan segala macam aktivitas di rumahnya atau di luar rumahnya.
"Sudah mengganti perbannya?" Tanya King yang mendapat anggukan dari laki-laki itu.
"Apakah sebelum mengganti perban, sudah mensterilkan lukamu terlebih dahulu?"
Lagi-lagi Big Boss menganggukkan kepalanya.
"Apakah—"
Kali ini King langsung menutup mulutnya rapat-rapat karena Big Boss sudah mengangkat tangannya, siap untuk memukulnya.
"Apa hubunganmu dan Beauty berjalan baik?" Tanya Big Boss tiba-tiba.
King yang tadinya asik meminum minumannya tiba-tiba menghela napas panjang dan meletakkan kaleng minumannya di atas meja.
"Buruk!" Jawab King seadanya sambil melirik ke arah Big Boss yang sama sekali tidak menatapnya. "Beauty bahkan tidak melirikku sama sekali. Dia ingin fokus kepada pekerjaannya. Tapi apakah itu mungkin? Maksudku, apakah Beauty tidak mempunyai kekasih di luaran sana?" Sambung King dengan nada penasaran.
Big Boss mengangkat kedua bahunya acuh. Dia sebenarnya tidak tertarik membahas hubungan diantara King dan Beauty. Dia pikir King tak akan membahasnya dan segera pergi dari ruangannya. Ternyata tebakannya salah. King malah membahasnya, menjadikan hal itu biasa. Padahal semua orang yang berada di Jendela Kematian sudah tahu bagaimana perasaan King yang begitu dalam kepada perempuan itu. Hanya saja, King membalutnya dengan tingkah pecicilannya.
King menusuk-nusuk lengan Big Boss dengan jari telunjuknya, meminta perhatian.
"Bagaimana menurutmu? Apakah Beauty mau denganku?" Tanya King yang terlihat sangat antusias ketika bertanya tentang Beauty dan tanpa beban sama sekali.
Big Boss menoyor kepala King, "aku sudah bilang untuk menyukai orang sungguhan. Bukan tokoh! Beauty itu hanya kamu kenal sebagai tokoh yang ada di Jendela Kematian. Bukan orang yang kamu kenal di dunia nyata. Jadi berhenti menyukainya dan carilah perempuan lain yang nyata."
"Itu masalahnya!" Tandas King dan menghela napas panjang. "Tidak ada perempuan yang tahu bahwa aku kaya. Mereka akan langsung menolakku mentah-mentah ketika mereka tahu bahwa aku bekerja di tempat yang biasa saja. Ah, kenapa perempuan-perempuan itu selalu memberikan standar yang tinggi!" Sambung King yang menjadi keluhan panjang.
Big Boss sendiri hanya tertawa. Dia bisa sedikit melupakan beban yang ada di dalam dirinya ketika bicara dengan King. Apalagi membahas tentang hal remeh yang memang menguras pikiran. Percintaan dan segala hal tentang romantisme memang kadangkala menggelikan. Apalagi King dikenal sebagai salah satu raja bucin yang sesungguhnya.
"Nah, tersenyum lah! Itu lebih baik daripada wajah menyebalkan yang tadi. Kamu tidak cocok terlihat kesal atau marah. Seperti itulah terus dan kamu akan segera mendapat jodoh!" Canda King yang mengomentari Big Boss. "Ah, atau jangan-jangan kamu sudah menikah? Ternyata kamu juga sudah punya anak—" sambung King yang mendapatkan pukulan gratis dari Big Boss.
"Diamlah! Keluar saja sana! Semakin lama, bicaramu semakin ngawur saja!" Usir Big Boss yang ditanggapi King dengan tertawa.
~~~~~~~~~