LANGIT begitu mendung pagi ini, seperti suasana hati seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di depan sebuah bingkai foto besar; ayahnya. Gala berulang kali terisak walaupun berusaha untuk tegar. Dia tetaplah anak yang baru saja ditinggal mati oleh Ayahnya, orang tua satu-satunya. Sedangkan di ujung ruangan, ada dua orang yang masih berdiri di sana—mengenakan pakaian warna hitam sambil menatap Gala prihatin.
Arkana memeluk lengan Isabela, seperti melindungi adiknya yang tengah menangis. Perempuan itu bercerita sedikit kepada Arkana tentang pertemuannya dengan Gala beberapa waktu lalu. Menghabiskan waktu untuk bercerita dan berjalan bersama layaknya orang yang sudah saling mengenal. Isabela begitu antusias menceritakan Gala yang dinilainya satu frekuensi. Namun, berita di pagi ini membuat Isabela terbungkam dan tiba-tiba menangis.
Isabela mengatakan kepada Arkana tentang rasa sedihnya mendengar kematian ayah Gala, Prada. Laki-laki tua itu meninggal kemarin karena sebuah peluru beracun yang entah ditembakkan siapa. Semua itu bukan karena pelurunya, namun karena racunnya yang membunuh seluruh sistem syaraf dalam waktu yang relatif cepat. Beberapa dokter dan ilmuwan pun berusaha untuk mempelajari komposisi racun di peluru tersebut. Sayangnya, belum ada yang bisa memecahkannya.
Semua orang suruhan keluarga besar Prada pun tidak bisa menemukan dalang dari kejadian itu. Mereka kesulitan mendapatkan bukti yang bisa mereka gunakan untuk mencari titik terang. Bahkan mereka heran dengan alat pelindung gedung putih yang menghilang tanpa jejak. Lalu, mereka juga merasa bingung karena alat secanggih itu bisa menghilang tanpa melakukan pemindaan sama sekali.
"Kenapa kau menangis terus?" Tanya Arkana sambil mengelus pundak Isabela khawatir.
Isabela mengelap air matanya dengan sapu tangan dan berusaha untuk tersenyum, "aku hanya merasakan emosi yang dirasakan Kak Gala saja, Kak. Kita pernah melewati fase seburuk itu. Dan aku bisa melihat kesedihan itu."
"Jangan mengingat kesedihan itu lagi, oke?" Ucap Arkana yang mendapatkan anggukan singkat dari Isabela. "Kamu mau menemuinya sebentar?" Sambung Arkana memberikan ijin.
Isabela tentu saja mengangguk. Lalu, perempuan itu berjalan mendekat ke arah Gala setelah Arkana memberi ijin padanya. Isabela menepuk bahu Gala dan mengelusnya. Terlihat Gala yang masih menangis sambil terus menunduk. Namun, entah sejak kapan—mereka berpelukan.
Sebenarnya Arkana keberatan dengan hal itu, pelukan. Namun Arkana tidak mau merusak suasana atau kembali membuat Gala terlihat menyedihkan dengan duduk sendirian tanpa ada satu pun orang yang menghibur atau dekat dengannya. Gala lebih mirip sebagai laki-laki sebatang kara yang tidak punya siapa-siapa sekarang.
Arkana menyeka air matanya yang hampir jatuh dari kelopak matanya. Mencoba untuk tetap tersenyum di depan semua orang.
"Maafkan aku, Gala." Batin Arkana mengingat semuanya kemarin. Dia cukup tahu tentang apa yang telah terjadi, hanya saja ini pekerjaan.
Diluar markas, antara Arkana dengan Big Boss adalah dua pribadi yang berbeda. Meskipun pada kenyataannya, mereka masih hidup dalam satu tubuh yang sama.
Tidak lama kemudian, Isabela mendekat ke arahnya. Setelah itu mereka memutuskan pulang lebih dulu dari yang lainnya. Sepanjang perjalanan pun, Arkana hanya diam sambil menatap keluar jendela bus yang dirinya dan Isabela tumpangi. Arkana masih kepikiran tentang kejadian ini, tetapi semua sudah terlanjur.
Arkana tidak tahu jika Prada adalah Ayah dari temannya sendiri, Gala.
Walaupun bukan dirinya yang menarik pelatuk atau meracik racun untuk dimasukkan ke dalam peluru itu, namun dia lah yang membuat rencana itu. Arkana yang merancang semuanya dengan baik. Dia sudah membuat rencana itu berjalan dan mungkin lebih buruk dari seorang penarik pelatuk pada pistol atau seorang peracik racun.
"Kakak baik-baik saja?" Tanya Isabela yang sadar dengan perubahan raut wajah kakaknya.
Arkana menoleh dan mengangguk, "tidak ada yang perlu untuk kamu khawatirkan. Kakakmu baik-baik saja."
Mungkin, Isabela menganggap kesedihan Arkana karena seorang teman kehilangan orang tuanya. Tetapi yang ada dalam pikiran Arkana sekarang adalah dia telah membunuh orang tua temannya. Lalu, jika dari awal Arkana tahu pun, apakah dia bisa memaafkan Prada? Bukankah Prada juga yang telah membunuh orang tuanya?
Ya, Prada adalah dalang dari pembunuhan orang tua Arkana dan Isabela. Mereka mengambil alat pelindung itu untuk melindungi semua asetnya dari pencuri atau siapapun yang akan membunuh mereka. Tanpa mereka sadar, semua itu merugikan Arkana dan Isabela. Bahkan sekarang, merugikan diri mereka sendiri.
"Kakak tidak mau pergi ke suatu tempat?" Tanya Isabela kembali.
Arkana menggeleng, "kamu ingin datang ke suatu tempat?"
"Tidak! Kakak mungkin perlu waktu sendiri." Ucapnya sambil mengelus pundak Arkana pelan.
Arkana tersenyum, mungkin Isabela benar. Dia butuh waktu sendirian sekarang. Setelah mengantarkan Isabela ke rumah, Arkana bergegas untuk pergi lagi. Laki-laki itu berjalan tanpa arah, tidak tahu kemana kaki melangkah. Yang jelas, dia ingin menenangkan diri dulu. Tanpa adanya satu pun orang yang berada disampingnya.
Sebenarnya Arkana ingin datang ke markas. Namun, jika dipikir-pikir, dia tidak bisa sendirian di sana. Pasti akan ada yang datang. Mungkin saja Happy atau King yang memang seringkali datang kesana juga. Ya, markas seperti rumah kedua untuk mereka semua. Terkadang, ketika ada masalah yang membutuhkan tempat persembunyian—markas adalah tempatnya.
Arkana sampai di depan sebuah kedai kopi yang biasanya tempat Isabela duduk sendirian sambil menggambar di sketchbook miliknya. Walaupun ragu, akhirnya Arkana masuk juga. Memesan salah satu menu kopi dan duduk di tempat yang paling sepi untuk melamun. Lalu tidak lama kemudian, seorang pelayan datang untuk mengantarkan pesanannya. Arkana tersenyum sekilas dan kembali melamun setelah secangkir kopi tersaji di atas mejanya.
Terlihat dari kejauhan, seorang laki-laki berkaos putih masuk ke dalam kedai kopi sendirian. Setelah memesan minuman, laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Arkana.
"Permisi," ucapnya dengan ramah.
Arkana mengerutkan keningnya, merasa tidak mengenal laki-laki di depannya.
"Iya," jawabnya kikuk.
Laki-laki itu tersenyum, "kita pernah bertemu di sini sebelumnya. Saya teman atau mungkin kenalan Isabela."
Arkana mencoba mengingat-ingat siapa orang di depannya ini, dan ya, Arkana mengingatnya. Laki-laki di depannya ini pernah bertemu dengannya beberapa Minggu lalu bersama dengan Isabela. Bahkan Arkana pernah melihat Isabela menggambar wajah laki-laki ini. Sayangnya, pertemuan mereka cukup tidak baik waktu itu.
"Ingat, Kak?" Tanyanya sekali lagi, membuyarkan lamunan Arkana.
"Ah, iya." Jawab Arkana seadanya dengan wajah yang masih bingung.
Apa yang laki-laki itu mau? Mungkin itu yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Mereka bahkan tidak saling mengenal atau dekat, mengapa laki-laki ini berada di depannya dan menyapanya dengan ramah seperti orang yang sangat akrab. Sebenarnya Arkana kurang nyaman karena sudah lama sekali tidak bertemu dengan orang baru dan mulai mengobrol.
"Boleh saya bergabung, Kak? Saya tidak biasa sendirian. Mungkin akan lebih menyenangkan jika minum kopi bersama." Ucap laki-laki itu dengan ramah.
Sebenarnya Arkana tidak mau, tetapi mau bagaimana lagi 'kan? Tidak akan sopan jika memintanya untuk pergi sekarang juga. Mungkin Arkana akan membiarkan laki-laki di depannya ini berbasa-basi seenaknya, setelah itu dia akan pamit dengan alasan pekerjaan atau alasan apapun itu.
"Silakan!" Jawab Arkana akhirnya yang mendapatkan anggukan yang sangat antusias dari laki-laki itu.
"Terima kasih, Kak." Ucapnya lalu menarik kursi yang berada di depan Arkana. "Oh iya, kita belum kenalan satu sama lain. Perkenalkan, saya Arond." Sambung laki-laki itu sambil menyodorkan tangan kanannya ke arah Arkana.
Laki-laki yang mengaku namanya Arond itu tersenyum lebar, seperti menunggu uluran tangannya disambut oleh Arkana.
Lagi-lagi, dengan sangat terpaksa Arkana menyambut uluran tangan kanan Arond itu.
"Saya Arkana," ucap Arkana memperkenalkan dirinya.
Arond mengangguk, "kita sedikit canggung ya, Kak."
"Iya! Saya kurang bisa bicara dengan baik dengan orang baru." Jujur Arkana yang memang benar adanya.
"Awalnya saya mengalami hal yang sama seperti Kakak. Saya orangnya tertutup waktu itu, berusaha untuk tidak berhubungan dengan orang lain. Melakukan semuanya sendiri untuk meminimalisir kedekatan dengan orang lain. Beberapa orang mengatakan saya sebagai manusia anti-sosial. Padahal saya merasa bahwa orang-orang di luaran sana belum tentu menerima saya dengan baik." Cerita Arond panjang lebar.
Arond menyeruput kopinya pelan, setelah itu meletakkan kembali cangkirnya ke atas tatakan piring kecil berukir itu.
"Saya kurang diterima di lingkungan tempat saya tinggal. Saya seringkali dianggap sebagai orang yang tidak punya masa depan atau orang yang miskin; dan masih banyak anggapan buruk tentang saya. Hanya karena saya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, tidak berkerja di kantor, atau mempunyai rumah sebesar rumah mereka." Lanjut Arond seperti menerawang kehidupannya sendiri. "Padahal mereka hanya tahu apa yang mereka lihat saja! Mereka tidak tahu berapa banyak usaha yang sudah saya lakukan selama ini." Ucap Arond dengan wajah sedih.
Awalnya Arkana tidak tertarik sama sekali dengan pembahasan Arond. Namun lama-kelamaan, Arkana bisa merasakan apa yang Arond rasakan. Mereka seperti mempunyai nasib yang sama. Manusia yang terlihat rendah di mata manusia lainnya hanya karena sedikit berbeda.
"Memangnya kamu bekerja di mana?" Tanya Arkana akhirnya.
Arond tersenyum miris, "saya bekerja di bengkel, seorang montir."
"Pekerjaan yang bagus," jawab Arkana serius. "Kau bisa bekerja di siang hari dan tidur di malam hari. Itu juga sebuah anugerah." Sambung Arkana sambil menyeruput kopinya yang hampir dingin.
"Ah, terima kasih." Jawab Arond dengan senyuman kecil. "Oh ya, saya mendengar hal luar biasa dari Isabela tentang Kakak. Saya benar-benar kagum dengan cara Kakak merawat Isabela. Saya juga akan melakukan hal yang sama untuk melindungi adik perempuan saya dengan baik." Sambungnya.
Arkana mengerutkan keningnya bingung, "maksudnya bagaimana? Kamu menganggap aku menghalangi kalian karena kamu seorang montir begitu?"
Arond menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, "maksud saya sebenarnya adalah~ kurang lebihnya begitu."
Arond menunduk karena tidak tahu harus bagaimana lagi bersikap.
"Aku seperti tokoh antagonis, bukan?" Tanya Arkana yang langsung disambut gelengan kepala oleh Arond.
Arkana tersenyum tipis, "aku akan mengajakmu bertemu lusa. Kita bisa bicara tentang hal ini lagi. Jika kamu mau, kita bisa duduk di sini lagi pukul dua siang."
"Serius, Kak? Baik saya akan datang lusa." Jawab Arond senang.
Arkana beranjak dari duduknya, "baiklah! Aku pergi dulu!"
~~~~~~~~~~