SESEORANG mendekatkan wajahnya pada layar identifikasi wajah untuk mengenali siapa yang bisa masuk ke dalam ruangan besi itu. Helikopter berterbangan di atas kepala, seperti sedang melakukan parade. Ruangan gelap dan mempunyai lorong panjang menyambutnya setelah pintu besi itu terbuka dengan lebar. Sepanjang lorong, tidak memiliki penerangan sama sekali. Satupun lampu tidak dipasang di sana. Sehingga orang yang menyusuri lorong itu hanya menunggu ujung.
Perempuan itu berjalan dengan santai, seperti tidak merasa takut sama sekali karena gelapnya ruang itu. Bahkan disepanjang jalannya pun terdengar suara-suara aneh-aneh. Ruangannya sesekali bergoyang seperti ada hempasan yang cukup kuat. Namun perempuan itu tetap berjalan dengan tenang. Pakaian seksinya menjadi ikonik setiap kali perempuan itu datang. Bahkan kaki jenjangnya dengan cukup lihat berjalan melenggak-lenggok berbalutkan sepatu heels tinggi berujung lancip.
Terlihat cahaya yang cukup terang tepat di depannya. Ada dua orang laki-laki berbadan besar menunggu sambil menatap perempuan itu dari atas sampai bawah. Memastikan bahwa orang di depannya adalah orang yang mereka tunggu-tunggu. Mata perempuan itu berbinar ketika pantulan sinar bulan menembus langit cerah di atas kepalanya. Perempuan itu menampakkan senyuman lues nan menggoda yang selalu bisa menaklukkan dan melelehkan hati laki-laki yang melihatnya.
Dua laki-laki itu menganggukkan kepalanya bersamaan dan akhirnya menekan tombol merah yang berada di dekat pintu, seketika pintu besi itu bergeser. Musik kencang terdengar keluar ketika pintu itu benar-benar terbuka. Perempuan itu masuk ke dalam dan pintu kembali tertutup rapat. Beberapa orang yang berada dalam ruangan itu menari sesuai dengan irama yang mengalun. Sebagian lagi tengah asik minum sambil bicara ngawur. Kadangkala mereka akan bertengkar, berakhir dengan salah satu diantaranya patah tulang atau luka-luka.
Tempat ini memang tempat yang begitu aneh dan orang sembarangan tidak bisa masuk kesini. Jangankan masuk ke dalam, menemukannya saja, sepertinya tidak bisa. Tempat ini seperti negeri dongeng yang bahkan tidak terpikir oleh orang lain ada di sana. Tokoh-tokohnya tidak kasat mata, tidak ada dalam daftar apapun dan sangat tersembunyi. Sesekali orang yang penasaran akan mencari dan berusaha untuk menemukan tempat ini. Namun yang mereka dapat hanyalah cerita kosong yang mematahkan kepercayaan mereka.
"Ratu melodrama kita datang!" Ucap seorang laki-laki berbadan kurus dengan setengah wajahnya yang terbakar. "Bagaimana harimu, Tuan Putri? Apakah menyenangkan hidup bebas di luaran sana tanpa hiburan yang gemerlapan?" Sambungnya menyambut perempuan itu.
Perempuan itu menyingkirkan tangan laki-laki itu agar tidak mendekat ke arahnya apalagi menyentuh pundak atau anggota tubuhnya yang lain. Dia tahu bahwa laki-laki di depannya ini sangat menginginkannya. Namun dia sama sekali tidak tertarik. Laki-laki yang disukai adalah laki-laki yang sempurna—baik fisik maupun mentalnya. Dan baginya, orang yang berada di tempat ini adalah kumpulan dari orang-orang sakit jiwa.
"Apakah Ayah ada di ruangannya? Aku harus bertemu dengannya dan membahas sesuatu!" Tandasnya yang hanya ditanggapi laki-laki itu dengan kedua bahunya yang diangkat tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.
Laki-laki itu menyesap minumannya dan mengelus paha perempuan itu dengan lembut, "aku menginginkan kamu, Tuan Putri. Semua perempuan di tempat ini menginginkan aku! Tapi mengapa kamu terus menolakku?"
Perempuan itu tersenyum penuh arti sambil menatap laki-laki itu, "hm, ... jika kamu memanggilku Tuan Putri. Harusnya kamu sudah sadar posisi. Tuan Putri tidak pantas bersanding dengan seorang pelayan. Aku benci dengan orang yang tidak pernah sadar di mana posisinya berada. Mungkin kamu bisa meminta para perempuan di sini untuk melayani dirimu. Itu karena mereka asisten pelayan. Jika aku orangnya? Kamu bahkan sudah tahu bahwa aku adalah Tuan Putrinya."
Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, menahan rasa emosi yang memuncak di kepalanya. Namun dia tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan orang yang saat ini berada di depannya.
Tanpa berpamitan atau mengatakan apapun lagi, perempuan itu berjalan menjauh meninggalkan laki-laki itu untuk mendekat ke sebuah ruangan yang dijaga hampir sepuluh orang berbadan besar. Mereka yang sudah tahu tentang kedatangan perempuan itu, langsung membukakan pintu dengan keamanan tingkat tinggi. Perempuan itu masuk, menatap si empunya ruangan yang tengah menikmati rokoknya.
Laki-laki itu memutar kursinya dan menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Ruang kerjanya yang penuh dengan barang berharga dan beberapa pintu yang akan langsung menghubungkannya dengan ruangan-ruangan penting di tempat ini. Jika beruntung, ada satu ruangan yang berisi harta karun melimpah dan beberapa teknologi mutakhir yang belum pernah ada di negara ini.
"Bagaimana dengan kabarmu hari ini? Apakah kamu mulai menikmati dunia yang bebas? Dunia yang begitu rapat dengan manusia yang penuh dengan dendam dan amarah? Apa menurutmu akan menyenangkan ketika bersama dengan mereka?" Tanya laki-laki itu yang akhirnya meletakkan rokoknya di atas asbak berlapiskan emas.
Perempuan itu tersenyum penuh arti sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam lipatan pakaiannya dan meletakkannya di atas meja.
"Kamu sudah meminumnya?" Tanya laki-laki itu sambil tertawa pelan sambil mengambil botol kecil itu, mengguncangkan isinya yang hanya tinggal satu butir obat saja.
Perempuan itu mengangguk, "aku hampir mati, Ayah. Pisau yang orang itu gunakan beracun! Memang tidak bisa kita biarkan!"
"Hm, ... bagaimana jika kita sedikit menunggu lagi?" Tanya laki-laki yang dipanggil Ayah itu. "Aku sudah tahu di mana keberadaan El sekarang. Hanya saja, pelindungnya benar-benar kuat. Kita hanya akan membuang waktu dengan mengusik urusan mereka. Kita hanya mempunyai tugas untuk melepaskan Arkana dari Jendela Kematian. Membawanya kembali kesini hidup-hidup." Sambungnya dengan mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.
Perempuan itu mengangguk dan menatap ke arah lain. Melihat dua lukisan yang terpasang di dinding itu, menggantikan dua lukisan yang biasa dipajang di sana.
"Aku sudah menyiapkan lukisan itu untukmu. Aku tahu kamu tertarik dengan dua lukisan itu. Sehingga, tidak ada salahnya memperbaharui lukisan di ruanganku dan memberi lukisan yang lama untukmu." Tandas laki-laki itu sambil membetulkan kacamatanya.
Suasana di ruangan itu kembali tenang. Tidak ada yang bicara dan perempuan itu sudah sibuk menatap lukisan yang akan menjadi miliknya. Tentu saja lukisan itu mempunyai harga yang fantastis, sama seperti koleksi lukisan yang sekarang berada di apartement- nya.
"Bagaimana dengan orang tuamu? Apakah mereka masih berada di luar negeri dan terus mengirimkan uang? Apakah mereka tidak tahu bahwa putri mereka satu-satunya mampu menghasilkan uang lebih banyak dari apa yang mereka berikan? Atau bisa jadi jika uang yang kamu dapatkan lebih dari seluruh usaha mereka untuk membangun perusahaan?" Ucap laki-laki itu dengan menatap sang perempuan yang kembali fokus ke arahnya.
Perempuan itu mengangguk pelan sambil tersenyum, "aku tidak peduli pada mereka! Aku hanya peduli pada uang yang aku dapatkan. Lagipula, ... mereka tidak pernah menganggapku sebagai anak mereka. Mereka hanya menganggapku sebagai aset untuk memperkuat bisnis mereka."
"Ya, ... itulah orang tua! Seringkali mengorbankan anaknya. Andaikan anak bisa memilih siapakah orang tuanya. Mungkin tidak hanya anak yang menderita." Tandas laki-laki itu sambil tertawa pelan, seperti ada sesuatu yang lucu.
Mereka mempunyai ikatan satu sama lain. Hanya saja mereka tidak ingin mengatakan ikatan apa yang ada diantara mereka. Yang jelas, laki-laki itu mempunyai kendali penuh atas seluruh aktivitas di tempat ini dan pemilik dari segala hal yang ada di sini. Sedangkan perempuan itu adalah perempuan yang menjadi tangan kanan dan kepercayaan laki-laki itu. Sehingga laki-laki itu tidak segan untuk memberikan barang-barang mewahnya.
"Apa aku harus menyingkirkan Jendela Kematian?" Ucap perempuan itu sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu. "Aku tidak bisa menyeret Arkana kesini jika Jendela Kematian masih ada." Sambung perempuan itu lagi.
Laki-laki itu melepas kacamatanya sambil menghela napas panjang. Dia fokus menatap ke arah perempuan yang mengenakan pakaian terbuka itu. Lalu tangannya mengambil satu botol kecil berisi kapsul, memberikan kepada perempuan itu lagi.
"Itu bukan tugasmu atau tugas kita. Akan ada orang yang menyingkirkan mereka. Tugasmu hanya mengambil Arkana! Itu saja! Poin penting dari segala tugas yang kamu lakukan adalah; menyeret Arkana kesini dengan sukarela dan hidup-hidup." Tandas laki-laki itu. "Kamu bisa keluar sekarang. Dan bawa dua lukisan itu. Jadikan pengganti pajangan di apartement- mu." Sambungnya lagi.
~~~~~~~~~~
Rintik hujan mulai mengguyur kota. Payung-payung warna-warni mulai terbentang disepanjang jalan dengan penerangan jalan. Jalanan pun mulai basah dengan suara klakson yang mengganggu, meminta pengendara yang berhenti sembarangan untuk minggir agar tidak memenuhi jalan. Beberapa orang menyingkir daripada terkena cipratan air yang selalu menggenang di jalan ketika hujan. Beberapa selokan pun meluap karena intensitas air yang cukup banyak. Hewan-hewan yang menyukai hujan pun keluar, menunjukkan diri sambil bersuara dengan riang.
Seorang perempuan dengan dress hitam terbukanya berjalan tanpa alas kaki di bawah guyuran hujan. Para mata laki-laki yang kebetulan ada disekitarnya tidak bisa dialihkan sama sekali. Mereka takjub dengan pemandangan gratis yang disuguhkan perempuan itu. Namun seperti tidak peduli, perempuan itu terus berjalan. Menuju ke sebuah apartement elite yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun belakangan ini.
Tentu saja perempuan itu menjadi fokus utama orang-orang yang ada di sana. Sampai sebuah jaket bertengger di tubuhnya, membungkus tubuhnya dengan rapat. Pelakunya sendiri adalah seorang laki-laki yang baru beberapa hari lalu masuk rumah sakit dengan luka perut yang parah.
"Apa kamu pergi ke pesta atau ke club'?" Tanya laki-laki itu dengan nada mengintrogasi ketika mereka masuk ke dalam lift berdua.
Perempuan itu mendekat, memeluk laki-laki itu mencari kehangatan.
"Hari ini aku lelah! Bisa peluk aku seperti ini?" Pintanya dengan sangat sungguh-sungguh. "Arkana, ... bisakah menginap di apartement- ku malam ini?" Sambungnya.
Laki-laki yang dipanggil Arkana itu hanya bisa mengangguk pasrah dan membalas pelukan perempuan itu. Arkana sendiri bisa melihat luka di lengan perempuan itu yang memang masih terlihat belum kering. Namun sayangnya, perempuan itu sudah tidak menggunakan perbannya.
"Dari mana?" Tanya Arkana sekali lagi, menunggu jawaban perempuan itu yang tidak kunjung terdengar.
Perempuan itu mendongak, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Arkana tidak mau memaksa, lalu memilih mengajak perempuan itu untuk langsung ke apartement, agar lebih enak bicara. Arkana penasaran kemana perempuan yang telah bergelar sebagai kekasihnya itu pergi. Ya, perempuan itu memang sudah mendapatkan kesepakatan darinya; menjadi kekasih seorang Arkana yang menolaknya berulangkali.
"Kana," panggil laki-laki itu kepada perempuan yang dipanggil Kana itu.
Kana langsung melepas pelukannya begitu saja dan duduk di sofa. Tetapi Arkana langsung menariknya begitu saja. Membuat perempuan itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Kamu harus mandi. Kamu bisa sakit kalau membiarkan dirimu duduk dan berdiam diri dengan pakaian basah." Ucap Arkana yang membisikkan kata itu di telinga Kana.
Kana hanya mengangguk, "hari ini sangat melelahkan! Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Apakah aku boleh mengeluh padamu?"
"Hm, ... tentu." Jawab Arkana dengan seadanya.
Kana tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk sekedar membersihkan dirinya seperti apa yang Arkana katakan tadi. Sedangkan Arkana sendiri sibuk membuka-buka kulkas yang ada di dapur, namun dirinya tidak menemukan apapun kecuali keju yang entah sejak kapan berada di sana. Arkana mencoba melihat-lihat makanan yang bisa dipesannya. Laki-laki itu akhirnya memesan beberapa makanan untuk mereka berdua.
Sambil menunggu, Arkana hanya mengeringkan rambutnya dengan handuk yang didapatkannya dari lemari Kana. Terdengar suara air yang berasal dari kamar mandi.
"Jangan lama-lama. Kita harus makan," ucap Arkana mengetuk pintu kamar mandi.
Lalu tidak lama kemudian Kana keluar dengan menggunakan piyama tidurnya dan langsung memeluk Arkana yang duduk di atas sofa sambil memakan kue kering yang paling disukai Kana.
"Ada masalah apa?" Tanya Arkana kembali sambil mengelus rambut Kana yang masih basah. "Kamu tidak seharusnya hujan-hujanan dengan pakaian seperti ini. Kamu membuat aku khawatir. Bagaimana jika ada orang jahat yang melukaimu? Aku tidak bisa membayangkannya." Sambung Arkana lagi.
Kana mulai terisak dengan kedua lengannya yang melingkar di perut Arkana, "seharusnya aku dan kedua orang tuaku makan malam bersama. Tapi sepertinya mereka tidak datang lagi. Selalu saja begitu! Papa, Mama, mereka berjanji untuk makan malam bersamaku ketika pulang ke negara ini. Tapi mereka akhirnya melanggar janji yang mereka buat dan memilih untuk mengikuti perjamuan makan malam yang diadakan kolega mereka. Padahal kami belum bertemu selama hampir tiga tahun. Apakah mereka tidak merindukan aku?"
"Ya, ... andaikan anak bisa memilih siapa orang tuanya." Jawab Arkana yang membuat kerutan di dahi Kana. Dia seperti tidak asing dengan ucapan itu.
"Orang tuamu bagaimana? Mereka juga sama seperti orang tuaku? Aku tidak sendiri?" Tanya Kana, namun perempuan itu kembali menutup mulutnya rapat-rapat. "Iya, ... aku sudah berjanji untuk tidak bertanya apapun tentang masa lalu atau siapa keluargamu. Aku akan diam! Jangan memintaku untuk memutuskanmu. Aku tidak mau kehilangan kamu." Sambungnya sambil memohon.
Arkana hanya tertawa ketika melihat tatapan mata Kana yang seperti takut kepadanya. Memang mereka sudah sepakat untuk tidak ikut campur atau mau tahu bagaimana kehidupan mereka di masa lalu. Karena Arkana sendiri tidak mau menceritakan tentang masa lalunya.
"Orang tuaku dan Isabela, sudah meninggal. Itu saja yang perlu kamu tahu. Aku tidak akan bercerita lebih tentang mengapa mereka meninggal atau kapan mereka meninggal. Aku hanya memberitahu semua tentang diriku dengan keterbatasan." Ucap Arkana memberikan pengertian.
Tentu saja Kana menganggukkan kepalanya, dia tidak ingin kehilangan Arkana. Namun, ... apakah itu bisa?
"Bisa janji untuk tetap bersamaku?" Tanya Kana kepada Arkana.
"Tentu, ... aku tidak akan pernah pergi darimu. Aku mempunyai komitmen yang kuat terhadap suatu hubungan. Aku akan mencintaimu."
Rasanya seluruh tubuh Kana dingin. Dia merasa bahwa ucapan Arkana sungguh-sungguh. Sehingga dirinya tidak berani menatap Arkana lagi.
Bagaimana perasaan Arkana nantinya?
~~~~~~~~