DUNIA Arkana rasanya berantakan. Kehidupannya yang normal tiba-tiba tidak baik-baik saja. Seharusnya, dia tidak mengambil tawaran itu. Semua berawal dari pembunuhan Prada dan semuanya menjadi buruk. Ketakutan yang selama ini Arkana sembunyikan akhirnya terjadi satu-persatu. Bohong jika Arkana tidak mempunyai rasa takut. Bohong jika dirinya tenang dalam profesinya. Dan semuanya semakin nyata ketika Isabela mulai diganggu orang tidak dikenal, saat salah satu temannya—Bear—harus kehilangan nyawa di tangan orang yang tidak dirinya kenal.
Arkana merasa jika dirinya telah gagal dua kali; gagal menjadi kakak dan gagal menjadi seorang pemimpin. Nyatanya, kegagalan itulah yang membuatnya begitu terpukul dan tidak bisa menerima kenyataan. Berjam-jam Arkana bersembunyi sendirian di dalam markas setelah membersihkan kekacauan yang dibuat kedua temannya. Dia hanya bisa menangis, meratapi seluruh kejadian yang terjadi kepada Bear tampa bisa membantunya. Arkana seperti tidak ingin lagi dipanggil dengan sebutan Big Boss.
Big Boss terlalu tinggi untuknya yang seperti pengecut karena tidak pernah bisa berbuat lebih. Arkana diam dan tidak tahu harus berbuat apa. Big Boss seharusnya melakukan banyak hal untuk kelompoknya, anggotanya, dan melindungi mereka dari bahaya. Namun apa yang dilakukannya? Dia tidak tahu harus kemana! Sampai akhirnya, dia sendiri yang harus menyaksikan kematian temannya sendiri. Lebih sakitnya lagi, semua orang menontonnya dengan tatapan benci dan puas.
Laki-laki itu keluar dari minimarket sambil membawa beberapa kaleng minuman beralkohol. Matanya pun terasa lelah karena terlalu banyak menangis. Sekarang air matanya rasanya sudah kering, tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya selain helaan napas panjang seraya memukul-mukul dadanya untuk menghalau rasa sesak di dalam dadanya.
Arkana memejamkan matanya sejenak dan barulah menatap beberapa kaleng minuman dengan kadar alkohol rendah yang ada di dalam plastik yang dibawanya. Arkana menertawakan dirinya sendiri. Jangankan alkohol dengan kadar rendah, kadar tinggi saja dia tidak mabuk. Jadi, untuk apa dirinya membeli dan mengonsumsi sesuatu yang tidak membuatnya bisa lupa kepada masalah-masalahnya.
Dia memilih duduk di depan minimarket itu, membuka satu minuman itu. Namun belum sampai bibir kaleng itu mengenai bibirnya, seseorang telah mengambilnya dengan paksa dan meletakkannya di atas meja. Arkana menatap sosok perempuan yang dikenalnya tengah berdiri di depannya sambil melipat tangan di d**a.
"Kenapa kamu minum-minum di tempat ramai seperti ini? Apa kamu mau ditangkap? Beberapa polisi yang ada di depan sana sedang berpatroli. Seharusnya kam— huft," perempuan itu menatap kepergian Arkana tanpa permisi sama sekali.
Laki-laki itu bahkan meminumnya sambil berjalan, tidak peduli kepada ucapan perempuan yang akhirnya mengikutinya dari belakang. Kana, perempuan itu, menarik lengan Arkana pelan.
"LEPAS!" Bentak Arkana yang membuat Kana terkejut. "Jangan mendekat! Aku sedang tidak ingin bermain. Tolong, ... pergilah dariku. Kita tidak saling mengenal, bukan? Jadi jangan sok kenal." Sambungnya dengan pedas.
Kana melepaskan tangan Arkana pelan. Dia sebenarnya tidak ingin mengganggu Arkana, namun Kana tidak tahu mengapa dirinya bertemu dengan Arkana di sini. Dia hanya merasa tidak mempunyai teman sehingga bertemu dengan Arkana adalah alasan yang tepat untuk menyapa laki-laki itu. Sayangnya, Arkana tidak dalam keadaan yang baik.
"Tangan kamu luk— auw,"
Arkana menoleh ke belakang saat melihat Kana terjatuh dengan lutut yang membentur jalanan. Terlihat sikunya juga terluka karena tidak sengaja terkena pagar kecil yang membatasi tempat berjalan kaki. Arkana menghela napas panjang, sebenarnya dia ingin meninggalkan Kana sendirian. Membiarkannya di sana karena sudah sangat-sangat mengganggunya. Namun Arkana tidak tega dengan melihat Kana yang meringis kesakitan karena dirinya.
Akhirnya, Arkana memilih untuk berjongkok; menutup akses tatapan para remaja laki-laki yang diam-diam menatap ke arah rok Kana yang super pendek dan tersingkap ke atas karena jatuh. Lagi, Arkana membuka jaket yang dikenakannya dan menutup rok Kana sebelum membantunya untuk berdiri.
"Maaf," ucap Arkana dengan wajah cueknya. Dia sebenarnya kasihan kepada Kana, namun dia sama sekali tidak menyesal karena perempuan itu memang sangat menyebalkan.
Kana menganggukkan kepalanya pelan, "lutut dan sikuku luka! Apa kamu tidak merasa bersalah sama sekali? Setidaknya meminta maaf dengan tulus!"
"Hm," jawab Arkana seadanya dan menatap ke arah lain. "Aku tidak mau berlama-lama denganmu! Jadi lebih baik kita berpisah di sini. Memang siapa yang salah? Salahmu sendiri. Aku hanya berusaha menjauhkan hama dariku." Sambungnya dengan tidak berperasaan.
Tentu saja Kana langsung memukul lengan Arkana dengan cukup keras karena kesal, "memangnya aku jenis hama? Bahkan aku membantumu agar tidak ditangkap polisi. Lihat, mereka sedang melakukan sidak. Bagaimana perasaan adikmu jika melihat Kakaknya tertangkap sedang mabuk-mabukan."
Arkana membuka mulutnya, dia teringat dengan Isabela yang masih berada di rumah sakit. Laki-laki itu pun hendak berlari namun teriakan Kana menghentikannya.
"ARKANA!"
Dengan terpaksa, Arkana berbalik dan menggandeng lengan Kana yang berjalan dengan tertatih. Untunglah perempuan yang digandengnya itu tidak menangis atau merengek. Dia hanya sesekali mengomeli Arkana karena berjalan terlalu cepat. Kana meminta Arkana untuk memesan taksi online, namun Arkana sama sekali tidak mempedulikannya. Dia tetap mengajak Kana berjalan dan mendapatkan ocehan kekesalan dari perempuan itu.
Sesampainya di rumah sakit, Arkana langsung melepaskan genggaman tangannya dan masuk ke dalam ruangan Isabela. Tanpa basa-basi, Arkana langsung memeluk Isabela. Membuat Isabela yang tadinya ingin marah, tidak jadi. Perempuan itu merasakan pundaknya basah dan Isabela yakin bahwa kakaknya tengah menangis. Isabela mengelus punggung Arkana pelan tanpa bertanya apapun. Isabela hanya mengerti bahwa Arkana sedang dalam keadaan yang buruk.
"Isabela," lirihnya dengan isakan yang berusaha ditahannya. "Maaf karena Kakak tidak bisa menjagamu dengan baik." Sambungnya merasa sangat menyesal.
Penyesalan Arkana sepertinya menumpuk menjadi satu. Antara dirinya yang gagal dengan segala hal yang terjadi kepada kehidupannya akhir-akhir ini.
"Kakak jangan bilang begitu! Aku terluka bukan karena kesalahan, Kak Arkana. Ini semua murni karena ada orang jahat yang mungkin mabuk dan salah sasaran melukaiku. Aku sama sekali tidak menyalahkan Kakak! Jadi, tolong jangan menyalahkan diri Kakak sendiri." Ucap Isabela yang berusaha menenangkan Arkana.
Tidak tahukah Isabela bahwa yang terjadi kepada Arkana bukan hanya soal Isabela yang terluka. Tetapi ada hal lain yang membuatnya terpukul lebih daripada kata kehilangan.
Sedangkan di depan ruangan Isabela, Kana duduk sendirian. Matanya pun fokus kepada seseorang yang datang dengan membawa paper bag warna merah di tangannya.
"Sepertinya kamu sedang senang? Buktinya kamu merayakan sesuatu dengan barang yang kamu bawa? Apa orang sakit membutuhkan sebuket bunga? Apakah ini sebuah perayaan atau sebuah simbol pemakaman?" Sindir Kana sambil tersenyum ke arah orang yang baru datang itu.
Gala, seperti tidak suka ketika melihat sosok Kana yang sudah berada tepat di ruangan Isabela, lagi.
"Bukankah Arkana mengusir dirimu dari sini? Apa kamu ingin diusir yang kedua kalinya?" Tandas Gala dengan tatapan tidak sukanya.
Kana mengangkat kedua bahunya dengan acuh, "kamu tahu ini jaket siapa, bukan? Aku datang kesini dan duduk di sini karena Arkana. Aku tidak mungkin datang sendiri."
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Bukankah aneh jika pertemuan kita disebut sebagai kebetulan? Apakah mungkin kita bertemu tiga kali berturut-turut? Apakah sebuah kebetulan atau sebuah pertanda buruk?"
Kana menepuk bahu Gala pelan dengan senyuman manisnya, "akan selalu ada makna dari pertemuan. Aku berharap bahwa aku adalah mimpi buruk yang pantas untuk ditakuti. Biasanya, ... orang-orang menganggapku seperti itu."
Gala tidak ingin mendengarkan semua ocehan orang yang membuat dirinya kesal. Laki-laki itu memilih untuk masuk ke dalam ruangan Isabela dan mendapati Arkana yang berada di dalam pelukan Isabela. Tentu saja Gala tahu alasan dari kesedihan Arkana itu. Dia paling paham mengapa Arkana bersikap demikian. Tangannya mengepal dengan sangat kuat, hatinya yang terbiasa lemah harus berusaha tega. Gala seperti bukan dirinya, Gala seperti telah kehilangan jati dirinya yang dulu.
"Apa yang terjadi?" Tanya Gala dengan menguatkan dirinya sendiri, berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Arkana dan Isabela.
Isabela mengelus punggung Arkana pelan dan tersenyum ke arah Gala. Perempuan itu memintanya untuk keluar sementara dirinya berusaha untuk menenangkan Arkana. Gala sendiri hanya menganggukkan kepalanya dan meletakkan buket bunga dan paper bag yang dirinya bawa di atas meja, lalu keluar dari ruangan Isabela.
Kana yang melihat Gala keluar dari ruangan Isabela hanya bisa tertawa. Perempuan itu menyilangkan kedua kakinya dan menatap Gala yang kini duduk di depannya.
"Isabela perempuan yang baik." Tandas Kana kemudian.
"Apa urusanmu?"
Kana mengangkat kedua bahunya tidak menjawab pertanyaan Gala. Perempuan itu memilih untuk diam dan memejamkan matanya.
"Kana," panggil seseorang yang baru saja sampai di depan ruangan Isabela dengan panik.
Gala melirik ke arah seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan Kana—orang yang dikenalnya juga. Apakah ini sebuah konspirasi? Apakah Gala sedang dijebak?
"Kamu berusaha menjebakku?" Tanya Gala kepada Kana dengan tatapan kesalnya. "Kamu meminta orang ini datang kesini? Kamu ingin menguji kesabaranku?" Sambung Gala lagi.
"Apa yang terjadi? Kenapa ada dia di sini?" Tanya laki-laki itu dengan tatapan bingung.
KREK! Muncul lah Arkana dari balik pintu dengan wajah yang memerah dan terlihat kaget karena beberapa orang yang dikenalnya berkumpul menjadi satu di depan ruangan sang adik. Arkana menyeka air matanya dengan punggung tangannya sambil menatap kedua laki-laki yang berada di depannya secara bergantian.
"Arond," lirih Arkana kepada laki-laki yang tengah menggenggam tangan Kana itu.
Sontak Kana melepaskan genggaman tangan Arond dari tangannya, "kami berteman sejak kecil. Aku dan Arond hanya berteman kok."
Arond menyenggol lengan Kana dengan tatapan tidak suka. Apalagi orang yang diajak bicara Kana adalah orang yang tidak asing untuknya. Mereka seperti berada dalam satu circle yang aneh.
"Apa yang Kak Arkana lakukan di sini?" Tanya Arond yang kembali menggenggam tangan Kana lagi, meskipun langsung dihempaskan dengan kasar orang Kana.
Arkana hanya menunjuk ke arah ruangan Isabela, "dia sakit! Kamu mau menjenguknya?"
"Hm, ... Isabela sakit? Memangnya saya boleh melihat Isabela sebentar?" Tanya Arond sambil melirik ke arah Gala yang hanya diam saja. Laki-laki itu hanya menatap tajam pada Arond dan membiarkannya melakukan apapun yang dia mau.
"Apakah kalian berdua bisa menemani Isabela sebentar? Aku akan mengajak Gala bicara." Ucap Arkana yang melirik ke arah Gala.
Baik Arond maupun Kana hanya menganggukkan kepalanya. Arkana bahkan tidak bertanya tentang apa yang Arond lakukan di sini, atau bagaimana ceritanya Arond bisa berada di rumah sakit. Yang paling penting sekarang adalah bicara pada Gala terlebih dahulu.
Gala sendiri penasaran dengan apa yang akan Arkana katakan padanya. Namun dia tidak mau mendengarkan semuanya di depan Arond maupun Kana. Sehingga dirinya pun mau tidak mau mengikuti kemana Arkana akan mengajaknya.
Sedangkan Arond masuk ke dalam ruangan rawat Isabela. Perempuan itu sedikit terkejut karena adanya Arond.
"Arond," ucapnya kaget sambil menatap ke arah Kana yang baru muncul di belakang Arond dengan menutup pintu.
"Hai," sapa Kana dengan ceria sambil melambaikan tangannya.
Isabela hanya memberikan senyum canggung ke arah keduanya.
"Apa kabar?" Tanya Arond kepada Isabela dan memilih untuk duduk di kursi yang berada disamping ranjang Isabela. "Maaf karena datang dengan tangan kosong. Aku tidak tahu kalau kamu sakit." Sambungnya lagi.
Isabela tersenyum tipis, "tidak apa, aku sudah lebih baik kok. Kamu tahu aku di sini dari mana?"
"Hm, ... sebenarnya aku—" ucapan Arond terputus begitu saja karena jawaban Kana yang tengah berdiri sambil menatap keluar jendela.
"Arond menyadap ponselku. Dia selalu tahu aku pergi kemana. Jadi, setiap kali aku pergi, dia akan datang untuk menyeretku pulang. Apakah menurutmu, itu tidak mengganggu? Aku bahkan tidak sempat untuk menikmati hidupku karenanya." Sindir Kana kepada Arond yang membuatnya selalu kesal karena diperlakukan seperti anak kecil.
"Kami berteman sejak kecil." Ucap Arond yang menjelaskan kepada Isabela. Meskipun perempuan itu tidak bertanya sama sekali.
Isabela mengalihkan pandangan matanya kepada Kana, "sepertinya kita seumuran. Apa kamu juga kuliah sekarang? Atau sudah bekerja?"
"Aku kuliah. Sama seperti Arond." Jawab Kana yang mendapatkan tatapan maut dari Arond.
Isabela menatap Arond, "kamu kuliah juga? Kenapa tidak bilang padaku?"
"Hm, ... aku memang jarang sekali membahas tentang pendidikan. Aku hanya mahasiswa biasa yang tidak terlalu suka kuliah." Jawab Arond dengan tidak enak.
"Hm, ... bohong! Tidak ada orang yang membenci kuliah tetapi nilainya 4. Arond selalu mendapatkan predikat mahasiswa teladan. Jangan percaya kalau dia mengatakan tentang tidak suka kuliah. Karena semua itu hanya bohong!" Imbuh Kana yang terus mendapatkan tatapan ancaman dari Arond.
Isabela merasa bahwa kedekatan diantara keduanya memang terjalin sangat lama. Terlihat sekali bahwa keduanya sangat akrab dan dekat.
"Kalian tidak berpacaran? Kalian terlihat sangat akrab dan cocok." Tandas Isabela karena melihat chemistry yang terjadi diantara keduanya.
Kana menggeleng pelan, "aku lebih tertarik dengan Kakakmu."
Ucapan to the point Kana yang dinilai ceplas-ceplos hanya membuat Isabela membuka mulutnya tidak percaya.
"Hehe, ... jangan dengarkan dia! Dia memang suka melucu." Ucap Arond dengan tidak enak.
"Tidak! Aku sungguh-sungguh tertarik pada Arkana. Dia laki-laki idaman— em, ... em, ..." ucapan Kana terputus begitu saja karena Arond langsung mengambil ancang-ancang untuk menutup mulut Kana rapat-rapat.
Isabela hanya bisa menatap Arond dan Kana. Betapa menyenangkannya bisa mempunyai sahabat kecil dan teman yang bisa diajak untuk bercanda dan tertawa. Apakah kira-kira dirinya bisa seperti remaja pada umumnya meskipun terlambat?
"Aku juga akan kuliah seperti kalian." Ucap Isabela yang membuat Arond tertegun.
"Kak Arkana?"
"Dia mengijinkannya."
~~~~~~~~~~