Chapter 5

2029 Words
    Langit semakin menghitam. Angin malam perlahan mulai menghentikan pergerakannya. Hening, itulah yang Aditya rasakan sambil meneguk segelas kopi panas, berdiri di depan balkon kamarnya. Sesekali ia menghirup udara yang begitu segar. Dipejamkan matanya, lalu dibukanya kembali sambil menengadahkan kepalanya menatap langit.     Entah mengapa malam ini ia tak melihat bintang yang berkelip maupun bulan yang benderang. Mungkinkah ini salah satu hukuman Tuhan untuknya, sampai-sampai ia tak bisa melihat indahnya pancaran sang bintang dan rembulan?     Apakah semua yang di dunia ini kini tak mau lagi bersahabat dengannya? Apakah kini tak ada harapan bahkan hanya untuk sekadar bernapas? Sungguh, sungguh ini juga sulit bagi Aditya.     Aditya memalingkan pandangannya sejenak ke dalam kamarnya yang dibatasi dinding kaca sehingga ia bisa melihat dengan jelas kamarnya dari balkon tempat ia berdiri. Dilihatnya seorang bayi yang kini terlelap dalam box tempat tidurnya—terasa damai.     "Dia tertidur seolah tak ada beban yang dipikulnya. Apakah ia tidak merindukan ibunya? Apa kini ia mulai terbiasa dengan ketidakhadiran ibunya?" gumam Aditya sambil memalingkan wajahnya dan menatap langit kembali. "Tuhan, ke mana wanita itu? Mengapa ia meninggalkan anaknya? Beri aku petunjuk sedikit saja. Jujur, aku tidak menginginkan anak itu. Aku takut. Takut jika tak bisa menyayangi dan berlaku adil, jika aku kelak mempunyai anak dari wanita yang aku sayangi. Kau tahu, aku belum siap untuk menjadi seorang ayah. Aku juga belum siap untuk menikah. Tapi, mengapa Kau menghukumku seperti ini? Apa alasan-Mu menghadirkannya ke dunia ini? Padahal jelas-jelas Kau tahu aku tak bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Bawa dia pergi bersama-Mu atau ... jika ibunya masih hidup, ubah pikirannya untuk mengambilnya kembali. Kumohon, Tuhan," tambahnya sambil menghabiskan kopinya yang mulai mendingin.     Dengan perasaan yang masih campur aduk, Aditya melangkah masuk dengan gontai. Ditutupnya kembali pintu kaca itu, lalu menghampiri box Aira.     "Hei, kau rindu, tidak dengan ibumu? Katakan padaku, siapa ibumu? Ayolah, datangkan mukjizat Isa kepadamu. Bicaralah!" tanya Aditya sambil menatap Aira yang masih memejamkan matanya. Hei, apa dia sudah gila? Mukjizat dapat berbicara sewaktu bayi hanya dimiliki Nabi Isa a.s., tidak ada yang lain. Otak Aditya sepertinya harus diperiksa. Ia bisa sekonyol itu tiba-tiba.     "Kau tahu, aku membencimu. Tapi sesuai dengan perkataanku, aku akan memberikan ketenangan padamu. Kita buat perjanjian, ok. Kita akan hidup seperti orang yang tak saling kenal. Aku akan tenang dan bahagia dengan kehidupanku, dan begitu juga sebaliknya. Kau harus setuju, Aira, karena jika tidak aku sendiri yang akan melenyapkanmu dari dunia ini. Aku tidak peduli jika aku harus diusir dari keluargaku.     "Kau tahu, tidak? Kau malah harus berterima kasih jika aku berhasil melenyapkanmu, karena kau tidak usah susah payah mendapat siksaan dariku, tapi kau justru akan bahagia bersama Penciptamu," tambahnya sambil mengelus pipi putri kecilnya.     Kini Aditya bersikap seperti orang gila. Gila, karena hidupnya tiba-tiba dijungkir balikkan hanya karena kehadiran anak kecil yang bahkan belum bisa berjalan. Pria itu tahu, hidupnya pasti tidak akan sama lagi setelah hadirnya Aira. Ia menyesal. Ia sendiri yang memperingatkan teman-temannya, tapi ia sendiri yang kini menanggung malu.     Aditya kemudian berjalan, melangkahkan kakinya ke tempat tidur dengan langkah gontai,    merebahkan tubuhnya, lalu dipejamkan mata abu-abu miliknya.     "Tuhan, kumohon biarkan aku kini tidur tenang. Sekali saja, sebelum anak itu akan menganggu tidur-tidurku selanjutnya. Jangan buat ia terbangun di malam hari. Aku mohon," lirih Aditya.     ***     Dengan napas yang masih terengah-engah Aditya membuka matanya yang masih begitu berat. Bukan karena Aira terbangun. Ah ... bayi itu masih tidur dengan lelapnya. Namun, suara ketukan pintu yang menuntutnya untuk bangun.     "Aditya, mau berapa lama lagi kau tidur?! Cepat buka pintunya!" teriak seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu Aditya. Namun panggilan itu masih membuat Aditya mematung di tempat tidur dan matanya sesekali menuntut untuk kembali terpejam.     "Aditya Akyas! Jika dalam hitungan ketiga kau tidak membuka pintunya. Kau harus angkat kaki dari rumah ini dan aku pastikan kau tidak dapat diterima di belahan bumi manapun!" ujar seseorang dengan nada yang lebih tinggi. Tanganya mengetuk tidak sabar. Siapa lagi kalau bukan ayah Aditya.     Mendengar ucapan ayahnya, Aditya langsung beranjak dan berlari terbirit-b***t membuka pintu.     "Ada apa? Mengapa kalian berteriak-teriak? Langit bahkan masih hitam," tanya Aditya dengan suara yang masih berat.     "Jika mendengar soal harta saja kau langsung bangun," gerutu ayah Aditya.     Tak bisa dipungkiri ucapan ayahnya memang benar. Tamatlah nasib Aditya jika tak ada satu negara pun yang mau menerimanya bekerja. Bagaimana ia bisa hidup dan bersenang-senang?     "Kau tahu, ini pukul berapa, Adit?" tanya ibu Aditya.     Aditya menoleh dan melihat benda berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. "Pukul lima, memangnya kenapa?" jawabnya sekaligus bertanya.     "Kau ini sadar tidak, huh? Kau memalukan status campuran Arab-mu," ujar ayah Aditya sambil menjitak kepala Aditya hingga membuatnya meringis.     "Memangnya apa salahku?" tanya Aditya dengan polosnya seolah tak bersalah. "Jika kalian mau mengajakku untuk jogging, kalian saja. Aku lelah dan aku mau istirahat," tambahnya.     "Siapa yang mau mengajakmu jogging? Ayah ingin mengajakmu menghadap sang Pencipta," jawab ayah Aditya sambil menarik tangan putranya ke lantai bawah dengan kasar.     Aditya menatap bingung dan pasrah ketika ayahnya menyeretnya dengan paksa. Entah apa maksud dari perkataan sang ayah, Aditya hanya bisa mengekor.     Ayah Aditya menggiring Aditya ke sebuah ruangan—yang jarang Aditya kunjungi—di mana hanya tamu-tamu atau keluarganya saja yang memasukinya. Tak cukup dengan itu, Aditya kembali ditarik dan didorong ke kamar mandi yang ada di ruangan itu.     "Ayo, wudhu!" perintah ayah Aditya pada putra bungsunya. Namun, putranya itu hanya terpaku. "Kenapa? Kau tidak tahu caranya?" tanyanya ketika menatap Aditya dengan tatapan bingung.     Aditya menggeleng, lalu dikucurkannya air dari keran—membasuh semua anggota tubuh yang harus terkena air wudhu. Walau ia b******k, ia masih ingat akan gerakan wudhu. Meski harus diakui ini adalah hal langka yang dilakukannya selama ini.     "Cepat sholat, bodoh!" umpat ayah Aditya. "Setelah itu, kau baru boleh tidur lagi," tambahnya. Sementara Aditya hanya mengangguk patuh tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.     Aditya kini menyadari apa yang orangtuanya maksud dari menghadap sang Pencipta. Kedua orangtuanya menginginkan Aditya sholat Subuh.     Setelah sholat, Aditya masih duduk di atas sajadah. Ia tidak tahu harus berdoa seperti apa. Ia tak tahu harus menyesali dosanya seperti apa. Ia hanya bisa diam dengan air mata yang meminta untuk dikeluarkan. Hingga pada akhirnya ia menangis dalam sujudnya. Ia sungguh bingung akan nasibnya.     Dari kejauhan ayah dan ibu Aditya melihat bagaimana putra bungsunya itu menangis sambil bersujud.     "Kau lihat, sudah aku katakan kalau Aira akan merubah anak itu. Perlahan, tapi pasti. Aku yakin itu," ujar ayah Aditya pada istrinya.     ***     Aditya mengerjapkan matanya. Ia masih di ruangan yang tak lain adalah mushola yang berada di lantai satu rumahny, melihat dirinya sendiri yang masih memakai sarung dan terbaring di atas sajadah. Tangisnya membuat ia lelah dan mengatuk, sehingga tak sengaja ketiduran.     Aditya merapikan sarung yang dipakainya, lalu menyimpannya di sebuah lemari khusus. Setelah itu, ia kembali menuju kamar untuk membersihkan tubuhnya.     Sudah pukul delapan dan Aira masih terlelap dalam boxnya. Seketika Aditya menghampiri putrinya dan menjulurkan telunjuknya.     "Masih hidup, padahal aku berharap napas itu hilang. Tapi, terima kasih, kau telah membuatku tidur tenang malam ini. Lakukan lagi setiap hari, Sweetheart!" ujar Aditya seraya tersenyum kecil. Kemudian ia menyeret kedua kakinya memasuki kamar mandi.     Setelah lima belas menit kemudian, Aditya keluar dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan kemejanya. Membuat pria itu semakin terlihat tampan nan menawan dan juga gagah penuh kharisma. Pantas saja banyak wanita yang memuja dan tergila-gila pada sang casanova. Dilihatnya Aira kini sudah membuka mata sambil mengucek-ngucek matanya.     Melihat Aira yang bangun, Aditya sontak bingung. Ia menutup telinganya, menahan tangisan dan teriakan yang akan segera dikeluarkan putrinya. Namun Aditya salah, gadis kecilnya sama sekali tidak menangis ketika bangun tidur. Ia hanya mengucek-ngucek matanya. Bahkan kali ini malaikat kecil itu menampakkan senyum manis dan bahasa planetnya seolah sedang menyapa ayahnya di pagi hari.     Untuk beberapa detik Aditya terlarut. Senyum yang terbit dari bibir mungil nan merah itu seolah-olah telah menyihirnya. Namun, kemudian kesadarannya kembali.     Ingat Aditya, jangan tertipu dengan senyum iblisnya. Ia sedang menertawakan nasib burukmu. Ia hanya akan menghancurkanmu. Mungkin ia belajar dari ibunya. Senyum ibunya pasti yang telah membawamu jatuh ke dalam jurang neraka, pikir Aditya. Pria itu lalu memilih meninggalkan Aira sendiri.     Aditya kemudian melangkah pergi ke bawah untuk sarapan sebelum ia berangkat ke kantor.     "Kamu mau ke mana?" tanya ibu Aditya.     "Aku akan ke kantor. Sudah seminggu aku membolos," jawab Aditya sambil membuat roti isi untuknya.     "Kau tidak usah ke kantor. Hari ini kau akan belajar," ujar ibu Aditya.     "Belajar apa? Aku sudah tahu caranya berbisnis dan memajukan hotel kita, Bu. Ibu bisa melihat sendiri bagaimana pundi-pundi uang terus bertambah ke rekening kita," balas Aditya sambil mengunyah roti isinya.     "Tentu saja belajar mengurus Aira." Aditya seketika tersedak tatkala mendengar penuturan sang ibu.     "Maksud Ibu?" tanya Aditya sambil meneguk air mineral, mencoba menetralisir tenggorokannya yang terasa tidak nyaman.     "Kau tidak tahu cara mengurus bayi. Jadi, sampai kau belum menemukan ibu Aira atau pengasuh yang tepat. Kau sendiri yang akan mengurusnya. Kau harus tahu bagaimana cara memandikan, menyuapi, menggantikan popok, memakaikan baju dan masih banyak lagi," jawab ibu Aditya.     "Tapi, sudah ada—" Aditya hendak menyanggah, namun terpotong.     "Apa kau lupa? Bu Farida hanya akan mengurus Aira sampai kaupulang kerja. Bukan begitu, Bik?" ujar ibu Aditya sambil menatap Bu Farida, yang tak lain adalah pelayan yang mengabdi di rumah Aditya. Sementara itu, wanita paruh baya yang sudah mengabadi berpuluh tahun pada keluarga Akyas itu hanya menangguk dan tersenyum. Ibu Aditya sudah menjelaskan kalau saat ini Aditya sudah punya anak.     "Baiklah, kapan kita mulai?" tanya Aditya seraya mendengus pasrah.     "Setelah Aira bangun," jawab ibu Aditya.     "Dia sudah bangun dari tadi," ujar Aditya spontan dengan nada sangat pelan. Namun masih terdengar jelas.     "Apa?! Mengapa kau tidak mengatakannya? Mengapa kau meninggalkannya sendiri?" tanya ibu Aditya dengan mata yang terbelalak.     "Dia sangat anteng dengan dunianya," jawab Aditya singkat. Sementara itu, ibu Aditya dengan secepat kilat meninggalkan Aditya untuk bertemu dengan cucunya itu.     ***     "Aku tidak mau memandikannya, Bu. Dia anak perempuan. Lagi pula ia tidak mungkin mandi malam-malam, ‘kan?" tolak Aditya ketika ibunya mengajak Aditya memandikan Aira.     "Dia putrimu. Lagi pula anak perempuan harus lebih dekat dengan ayahnya, karena ayah adalah cinta pertamanya. Tentu dia juga bisa mandi malam, kalau popoknya membasahi tempat tidurnya," ujar ibu Aditya yang sudah memasukkan Aira ke dalam bathtub.     Mau tidak mau Aditya mulai memegang tubuh Aira. Sebelah tangannya yang bebas mencoba memberi sabun ke tubuh bayi kecil itu.     "Kau tidak segan-segan menyentuh ibunya, tapi kau tidak mau menyentuh anakmu sendiri. Lucu!" celetuk ibu Aditya ketika memandang wajah putranya itu memegang Aira dengan wajahnya dipalingkan—tak mau melihat tubuh kecil Aira. "Coba saja kau dulu juga tidak mau menyentuh ibunya," tambahnya.     "Berhentilah mengoceh, Bu. Lihat! Aku sudah melihat Aira," ujar Aditya kesal. Perkataan sang ibu tadi sungguh menohoknya tanpa ampun. Sementara ibunya hanya tersenyum melihat kelakuan putranya itu.     Bunyi gemericik air dari cipratan-cipratan yang Aira lakukan tak sengaja menciprati wajah dan pakaian Aditya hingga basah. Dalam hitungan detik seketika wajah pria itu memanas. Namun, dilihatnya putrinya malah tertawa lepas.     Lihatlah, Aditya. Setan kecil itu sangat puas mengerjaimu, keluh Aditya dalam hati.     "Dia sangat lucu dan aktif sama sepertimu," ujar ibu Aditya melihat kelakuan cucunya yang menggemaskan, tapi tidak bagi Aditya. Bagi Aditya, putrinya itu tak lain adalah setan kecil yang sudah menghukum dan menertawainya.     Selepas mandi, Aditya pun memakaikan pakaian untuk Aira. Ini lebih mudah, karena gadis kecilnya tidak bergerak ke sana kemari. Untung saja ia pernah merawat keponakannya. Jadi, untuk urusan memasangkan baju tidak begitu sulit.     Aditya memandang Aira dengan pakaian berwarna merah muda lengkap dengan bandana yang menghias kepalanya. Wajahnya yang putih bertambah putih setelah diberi bedak. Aroma parfum pun menguar di tubuh kecilnya. Pria itu memandang puas akan hasil karyanya yang dibantu sang ibu saat dilihatnya Aira semakin cantik.     Setelah rapi, Aira langsung dibawa ke taman belakang rumah ayahnya. Digendongnya Aira oleh Aditya dengan kaku, namun hati-hati untuk berjemur. Bu Farida pun datang dengan membawa sebotol s**u untuk putri majikannya.     Aira kecil kini terlelap dalam gendongan ayahnya setelah minum s**u dalam posisi berdiri sesuai arahan sang nenek.     "Tepuk-tepuk punggungnya. Dia baru minum s**u," ujar ibu Aditya. Aditya pun hanya menurut.     "Kenapa dia tidur, ya, Bu? Padahal dia baru saja bangun," tanya Aditya dengan segala rasa penasarannya.     "Bayi memang begitu," jawab ibu Aditya. "Oh, iya, Dit, Ibu akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan ibu Aira. Ibu ingin sekali ia yang mengurus Aira. Kau setuju, ‘kan?" tanyanya.     "Aku sudah mencarinya, Bu. Mungkin dia sudah mati ditelan bumi. Sudahlah, aku tidak mau membahas wanita tidak bertanggung jawab itu lagi," sahut Aditya mendengus kesal. Batinnya bergejolak, enggan mendengar wanita jalang yang telah menghancurkannya seketika.     "Kau sendiri yang membuatnya tidak bertanggung jawab. Ibu yakin dia tidak seburuk yang kau kira. Buktinya dia mau mempertahankan Aira sampai sebesar ini," ujar ibu Aditya.     Aditya terdiam, lidahnya terasa kelu saat ingin membantah perkataan ibunya. Mengapa kau mempertahankannya lalu membuangnya? Mengapa kau tidak menggugurkannya saja? tanyanya dalam hati.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD