Chapter 9

1972 Words
    Erida duduk termenung sambil tangannya bertumpu di atas meja tempat biasanya masakan di sajikan sebelum ke pelanggan untuk menopang dagunya.     Ia masih memikirkan perkataan seseorang yang telah memuji masakannya beberapa minggu lalu. Tepatnya bukan karena pujian saja, tetapi ajakan dari si pelanggan yang membuatnya tak tahu harus merasa senang atau tidak.     "Saya yang memasak masakan ini, Nyonya. Apa masakan ini tidak enak?" tanya Erida dengan jantung yang berdegup kencang, karena takut ketika ada yang tiba-tiba menyuruhnya untuk menghadap pelanggan yang memanggilnya.     "Dia Erida. Dia wakil kepala koki di sini. Saya sudah menganggapnya seperti adik saya sendiri. Maafkan dia jika hidangannya membuat Anda merasa tidak puas, Nyonya Lulu," ucap Aditya yang sedari tadi duduk menemani si pelanggan. Pelanggan itu adalah rekan bisnis Aditya.     Dalam beberapa detik Erida terkesima dengan ucapan yang sudah Aditya lontarkan. Bosnya itu membelanya—selalu. Bahkan ketika beberapa bulan setelah ia diangkat menjadi wakil kepala koki, ada salah satu pegawai yang menganggap kalau kenaikan jabatannya sebagai wakil kepala koki tak lain karena ada hubungan khusus dengan sang bos besar, maka bos besar itu tak segan-segan memperingati pegawai itu.     Sejak awal Erida merasa kalau Aditya adalah malaikatnya, penjaganya dan pangeran berkuda putih yang selalu menyelamatkannya. Seperti yang Mila dan pegawai lainnya katakan, di balik sikap dingin dan pemarahnya pria itu, bisa gadis itu rasakan ada sebuah kehangatan.     "Jadi, namamu Erida?" tanya Nyonya Lulu.     "I—iya ... Nyonya," jawab Erida dengan terbata-bata sambil pandangan tertunduk.     "Duduklah di sampingku," pinta Nyonya Lulu sambil menepuk kursi yang berada di sampingnya. Tepatnya di tengah antara Nyonya Lulu dan juga Aditya.     Erida tidak langsung menuruti perintah Nyonya Lulu. Ia melirik ke arah Aditya. Dilihatnya pria itu memberi isyarat untuk duduk. Barulah ia kemudian menurutinya.     "Jadi, berapa lama kau bekerja di sini?" tanya Nyonya Lulu.     "Empat tahun, Nyonya," jawab Erida singkat.     "Berapa usiamu dan kau lulusan apa?" tanya Nyonya Lulu dengan tatapan penuh intimidasi.     "22 tahun, Nyonya dan saya lulusan SMK jurusan tata boga," jawab Erida menunduk.     "Saya sudah menyarankan agar dia kuliah, tapi dia tidak mau. Dia bilang wanita ujung-ujungnya berakhir dengan mengabdi pada suami," ujar Aditya.     "Kau sepertinya istimewa di hadapan Tuan Aditya ini. Ayo, jangan menundukan kepalamu seperti itu. Tatap aku. Apa aku terasa menyeramkan bagimu?" tanya Nyonya Lulu sambil tertawa kecil.     "Maaf," lirih Erida sambil mengangkat kepalanya seperti yang Nyonya Lulu harapkan.     "Sesuai ucapan saya tadi, dia sudah seperti adik saya sendiri," ujar Aditya.     Ada sedikit rasa sakit ketika Aditya mengatakan hal itu. Entahlah, seperti sebuah perasaan yang aneh yang Erida sendiri tidak tahu apa namanya.     "Masakanmu enak. Sungguh enak dan aku mau menikmati sajian darimu setiap hari," ujar Nyonya Lulu sambil menatap Erida.     "Maaf, Nyonya, tapi, Erida tidak boleh keluar dari hotel ini. Saya tidak akan mengizinkan Erida untuk menjadi koki di rumah Anda walau saya tahu Anda pasti mampu memberikan gaji yang mungkin jauh lebih besar daripada saya," sanggah Aditya. Entahlah, kali ini ucapan pria itu membuat Erida merasa perasaannya bergemuruh menahan senang kembali.     "Apa alasan Anda? Apa Anda menjalin hubungan khusus dengan dia?" tanya Nyonya Lulu dengan memicingkan sebelah matanya.     "Erida adalah tanggung jawab saya. Saya adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Saya tidak akan membiarkan Erida bekerja di tempat lain, karena itu berarti saya tidak bisa mengawasinya lagi. Hubungan khusus di antara kami tak lebih dari sekadar adik dan kakak," jawab Aditya. Dari raut wajahnya ia seperti akan naik pitam ketika Nyonya Lulu menganggapnya ada hubungan khusus dengan Erida.     Berbeda dengan yang Erida rasakan, bunga-bunga yang baru saja akan mekar di hatinya, sepertinya kini layu lagi mendengar ucapan Aditya.     Nyonya Lulu terkekeh mendengar ucapan yang Aditya lontarkan. Sementara itu Aditya dan Erida hanya saling melirik tak mengerti.     "Bagus sekali ucapanmu, Aditya. Kau tenang saja, saya tidak akan menjadikan adikmu ini sebagai koki di rumah saya, tapi sebagai nyonya muda untuk putraku, Rifki. Bagaimana, kau setuju?" tanya Nyonya Lulu sambil menatap Aditya penuh harap.     Aditya diam membisu, ia tidak bisa menjawab apa-apa. Sampai kemudian ia memberanikan berbicara, "Semua tergantung pada Erida sendiri. Jadi, bagaimana denganmu, Erida? Apa kau mau menerima ajakan Nyonya Lulu? Yang aku tahu dia adalah orang baik dan aku pernah mendengar bahwa putranya itu juga orang baik, kalau tidak salah dia seorang pengacara," tanya Aditya sambil menatap Erida.     "Saya sungguh tidak pantas menerima ajakan Nyonya," jawab Erida kikuk. "Saya hanya orang miskin yang beruntung, karena diangkat derajatnya oleh Tuan Aditya," tambahnya.     "Pikirkan lagi, Erida. Saya akan memberimu waktu. Saya rasa kau memang pantas bersanding dengan putraku. Aku akan bahagia jika memiliki menantu cantik, sopan dan yang memiliki pemikiran sepertimu tadi," saran Nyonya Lulu. "Di jaman di mana wanita sibuk demi mengejar karir, sedangkan kau berpikir untuk mengabdi pada suamimu. Aku suka itu, walau pada saatnya kau bersanding dengan putraku, kami tidak akan mengekangmu. Terserah kau saja mau bekerja atau tidak," ujarnya penuh penekanan.     "Maaf, saya permisi dulu, Tuan, Nyonya," ujar Erida sambil berdiri lalu membungkuk hormat kepada Nyonya Lulu dan Aditya, lalu kembali ke dapur.     Entah harus merasa beruntung atau tidak yang ia rasakan saat ini. Dia dilamar oleh orang yang pastinya dari keluarga terpandang. Namun ia sadar diri akan statusnya. Dia juga bukanlah wanita yang gila harta. Dia hanya ingin menghabiskan sisa usianya bersama orang yang dia cintai. Dia tidak mencintai putra Nyonya Lulu yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun, sialnya tak lama setelah penawaran dari Nyonya Lulu, Aditya bilang kalau Rifki—putra dari Nyonya Lulu—setuju akan pernikahan ini. Kini yang bisa ia lakukan hanya melamun dan melamun.     "Erida ... Erida ...," teriak seseorang di telinga Erida. Membuat Erida bangun dari lamunannya.     "Ada apa? Mengapa kau berteriak di telingaku?" keluh Erida seraya mengusap-usap telinganya.     "Kau itu sedang melamun apa? Sampai-sampai aku sudah memanggilmu, tapi kau tidak menyahut juga. Jadi, aku berteriak. Maaf, ya," ujar wanita itu sambil mengacungkan kedua jarinya tanda peace.     "Ya, ya, aku maafkan. Jadi Mila, ada apa? Apa ada masalah dengan pelanggan?" tanya Erida.     "Tuan Aditya memanggilmu. Kau disuruh bersiap untuk menemaninya pergi," jawab wanita yang ternyata Mila.     "Pergi?! Ke mana?!" tanya Erida kaget. Tak pernah sekali pun Aditya mengajaknya pergi sejak ia bekerja.     "Aku tidak tahu. Sudah sana pergi atau nanti kau dia pecat," jawab Mila sambil menggiring sabahatnya itu keluar. Ya, Mila dan Erida adalah seorang sahabat. Tak perlu lama menunggu, Erida pun melepas pakaian kerjanya dan keluar untuk menemui Aditya.     Dengan berlari tergesa-gesa, Erida mencoba menghampiri Aditya yang berada di lobi hotel.     "Kau lama sekali," gerutu Aditya.     "Maaf, Tuan," jawab Erida seraya menunduk takut.     "Ayo, kita pergi!" ajak Aditya. Sementara itu Erida hanya mengekor.     ***     Aditya tak mengatakan kepada Erida akan pergi ke mana. Dengan beraninya, Erida memulai bicara untuk bertanya, "Kita akan ke mana, Tuan?"     "Membeli gaun," jawab Aditya.     Erida terdiam. Gaun. Gaun apa? Jangan sampai yang Aditya maksud adalah gaun untuk pernikahanku bersama Rifki. Tidak. Tidak boleh, pikirnya dalam hati.     "Saya, tidak mau menikah dengan Rifki," celetuk Erida.     "Semua terserah padamu, Erida. Hanya saja, aku rasa Rifki akan bisa membahagiakanmu. Aku takkan mencampuri urusanmu," sahut Aditya dengan tatapan fokus ke jalan.     "Tapi yang Tuan lakukan saat ini adalah mencampuri urusan saya," ujar Erida dengan nada kesal.     "Maksudnya?" Aditya mengernyit tak mengerti.     "Tuan seenaknya mengajak saya untuk membeli gaun. Apakah gaun itu untuk pertunangan atau pernikahan saya?" tanya Erida bertambah kesal.     Lihat aku, Aditya. Lihat aku. Aku tidak mencintai Rifki. Aku mencintaimu. Aku tahu, aku tidak pantas untukmu. Tapi kau sudah menjadi pangeran berkuda putihku di saat pertama kali kita bertemu, batin Erida.     Aditya terkekeh geli melihat ekspresi Erida. "Kau terlalu percaya diri, Erida. Saya tidak mengajakmu membeli gaun untukmu."     "Lalu?" tanya Erida yang sudah menampakkan wajah kepalang malu. Namun, satu hal yang menarik, ia baru pertama kali melihat sang pangeran es terkekeh puas seperti ini. Oh ... Erida seperti akan meleleh.     "Kau lihat saja nanti," jawab Aditya yang masih terkekeh.     ***     Aditya dan Erida sampai di suatu mall besar yang berada dalam kawasan apartment. Di sana pasti yang dijual adalah barang-barang bagus.     "Ayo, masuk!" ajak Aditya memasuki sebuah toko pakaian di dalam mall itu. Terdapat pakaian-pakaian mewah dan gaun-gaun cantik terpajang di sana. Tapi, tunggu dulu ... ini bukan toko khusus pakaian dewasa ... ini toko untuk pakaian anak-anak.     "Pilihkan gaun paling cantik di sini. Terserah apa warna dan harganya untuk gadis kecil kisaran lima tahun," titah Aditya.     "Untuk siapa, Tuan?" tanya Erida dengan lancang.     "Untuk putriku," jawab Aditya datar.     Sontak Erida tiba-tiba terbatuk. "Tuan, punya seorang putri?" tanyanya yang masih mengendalikan batuk dan napasnya, karena keterkagetannya.     "Ya. Kau tahu apa alasanku dulu membantu mengeluarkanmu dari neraka itu?" jawab Aditya sekaligus bertanya. Sementara Erida hanya menggeleng. "Itu, karena putriku. Aku tidak mau putriku bernasib sepertimu," lanjutnya.     "Jadi, Tuan sudah menikah?" tanya Erida dengan penuh tanda tanya atas keterkejutannya.     "Begitulah," jawab Aditya singkat sambil matanya mencari-cari gaun yang bagus.     Erida mematung. Jadi, selama ini ia mencintai pria yang sudah menikah dan mempunyai anak, membuatnya merasa seperti wanita kotor yang berusaha mendapatkan cinta terlarang.     "Kau kenapa, Erida? Kaget?" Suara bariton Aditya menyentak Erida.     "Saya hanya baru tahu. Saya yakin orang-orang di condotel juga sama tidak tahunya dengan saya," ujar Erida.     "Benar sekali. Itu karena selama ini mereka tinggal di luar kota," ujar Aditya. "Sudahlah. Ayo, pilihkan gaunnya dan jangan beri tahu hal ini kepada siapa pun, karena itu akan mengganggu privasi keluarga saya," perintahnya.     "Kenapa tidak ibunya saja yang memilihkan gaunnya?" tanya Erida.     "Aku ingin memberi kejutan," jawab Aditya sekenanya. "Sudah jangan banyak bertanya. Urusanku masih banyak."     Erida mengangguk paham. Dia mulai memilih-milih gaun yang cocok untuk putri Aditya. Dalam hatinya dia merasa sangat terluka. Sakit—sakit yang tidak berdarah. Mungkinkah ia memang tidak ditakdirkan untuk Aditya, tapi untuk Rifki?     Setelah satu jam memilih-milih, Erida berhasil menemukan gaun yang pas. Sebenarnya dari tadi sudah banyak yang ia pilih, namun Aditya tolak. Terlalu inilah, terlalu itulah. Ada saja alasannya. Sampai akhirnya ia menemukan gaun panjang berwarna putih gading dan pita merah ati di tengahnya. Gaun itu tampak sederhana, tidak ada renda-renda atau tutu di bawahnya, namun terlihat sangat cantik dan elegan. Cocok untuk putri kecil Aditya yang pastinya akan merasa nyaman berlama-lama memakainya, karena bahannya yang halus dan juga dingin.     Setelah membayar gaunnya. Erida dan Aditya pun memutuskan kembali ke hotel.     "Saya menerima pinangan keluarga Nyonya Lulu, Tuan," celetuk Erida tiba-tiba di tengah perjalanan.     "Kenapa pikiranmu berubah secepat itu?" tanya Aditya sambil mengernyit.     "Setelah saya mengantar Tuan memilih gaun untuk putri Tuan. Saya sadar kalau saya ingin segera memiliki putri cantik seperti Tuan," jawab Erida.     "Kau memang benar, putriku sangat cantik. Dia seperti bidadari. Tapi, aku sarankan setelah kau menikah, kau jangan langsung memiliki anak," ujar Aditya.     "Kenapa, Tuan?" tanya Erida. Bukankah itu yang selalu diharapkan pasangan yang sudah menikah? Segera memiliki momongan. "Oh ya, apa saya boleh melihat wajah putri Tuan?" tambahnya.     Aditya bergeming kemudian ia mencoba melihat foto-foto di handphone-nya. Tidak ada. Tidak ada foto Aira. Bagaimana mungkin seorang ayah tidak memiliki foto anaknya satu pun. Erida pasti akan curiga. Namun, pria itu mengembuskan napas lega, dilihatnya ada satu foto gadis kecil yang sedang tertidur sambil memeluknya di ranjang, sedangkan ia sedang tersenyum ke arah kamera. Entah kapan dirinya mengambil foto itu, tapi foto itu telah menyelamatkannya dari kebingungan gadis yang kini sedang bersamanya.     Erida mengambil handphone yang diserahkan Aditya. "Wah ... sedang tidur saja dia terlihat sangat cantik. Dia memang seperti bidadari. Dia mirip dengan Tuan, tapi rambutnya sedikit keemasan. Pasti mirip ibunya," ujar Erida dengan penuh kekaguman melihat gadis kecil sedang terlelap, memeluk Aditya yang terkenal dingin.     Seketika Aditya meraih handphone-nya kembali. Takut Erida melihat yang macam-macam. "Kau tahu, anak kecil itu kadang menyebalkan. Lebih baik kau menghabiskan waktu berdua dengan pasanganmu," jawab Aditya.     "Apakah putri Tuan menyebalkan?" tanya Erida sambil terkekeh.     "Tidak juga. Dia sangat menggemaskan. Aku hanya tidak suka ketika dia menangis," jawab Aditya datar.     "Jadi itu sebabnya dulu Tuan marah ketika saya menangis. Kalau begitu jangan buat dia menangis, tapi buat dia tersenyum," ujar Erida memberi saran.     "Baiklah, Nyonya Rifki. Dengan gaun ini, pasti dia akan tersenyum," ujar Aditya sambil tertawa dan mengacak-ngacak rambut Erida.     Erida tersenyum di depan Aditya. Namun dalam hati justru ia menangis pilu, hatinya masih sakit, karena ia selamanya takkan mampu meraih pangeran berkuda putihnya. Pangeran berkuda putihnya itu pasti sangat bahagia bersama anak dan istrinya.     Kini Erida hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Aditya dan juga dirinya. Melihat kedekatan Aditya dengan putrinya di foto tadi, membuat Erida sadar ia tidak mungkin menghancurkan keluarga lain yang terlihat begitu bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD