Chapter 8

2103 Words
    Waktu tak terasa berjalan begitu cepat. Empat tahun berlalu dan kini Aira—bayi mungil itu—sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik. Iris abunya begitu mirip dengan sang ayah, tetapi entah dari mana gadis kecil itu mendapat rambut coklat keemasan. Apakah warisan dari sang ibu?     "Jangan berlari, Sayang! Ayo berhenti. Ibu sudah lelah!" seru Nina sambil berlari mengejar Aira dengan napas tersengal-sengal.     "Ayo tangkap aku, Ibu! Ayo, tangkap aku!" teriak Aira sambil berlari dan terus berlari tanpa mengindahkan perintah wanita yang ia panggil ibu.     "Ayolah, berhenti atau Ibu bilang pada ayahmu untuk tidak datang," ancam Nina.     Seketika langkah Aira pun terhenti seolah ada rem pakem di tubuhnya. Gadis kecil bermata abu-abu itu menoleh ke belakang, lalu berlari menghampiri Nina.     "Jangan, Ibu. Jangan buat Ayah tidak jadi datang. Aku sangat merindukannya," pinta Aira sambil memeluk erat tubuh Nina, mendongakkan kepalanya dan menampakkan mata berkaca-kaca dengan wajah memelas.     "Baiklah dengan satu syarat," ujar Nina sambil memincingkan matanya.     "Apa itu, Bu?" tanya Aira.     "Coba kita lihat sekarang sudah pukul berapa," ujar Nina sambil menuntun gadis kecilnya masuk ke dalam rumah.     Aira mengangguk dan menuruti perintah wanita itu. Tangan kecilnya memegang erat jari telunjuk Nina, sedangkan kaki kecilnya melangkah maju sambil sesekali meloncat-loncat dan bersenandung ria menuju rumahnya.     "Sudah pukul dua. Benar ‘kan, Bu?" ungkap Aira ketika melihat jam dinding di rumahnya.     "Benar sekali. Jadi, sekarang kita waktunya ...." Nina sengaja menggantung ucapannya.     "Tidur!" sorak Aira. "Tapi, aku tidak mengantuk," tambahnya dengan wajah sendunya.     "Baiklah kalau kau tidak mau tidur. Tapi jangan salahkan Ibu jika nanti kau tidak bisa bertemu dengan ayahmu," ujar Nina sambil tersenyum dan menjawil hidung mungil gadis kecil itu.     Tanpa disuruh, Aira, gadis kecil yang kini berusia empat setengah tahun itu berlari ke lantai dua. Ke mana lagi kalau bukan pergi ke kamarnya. Nina pun hanya tersenyum melihat tingkah menggemaskan gadis kecilnya, lalu mengikutinya ke kamar.     "Tidak bisa tidur?" tanya Nina setelah membuka pintu kamar. Pandangannya jatuh pada Aira yang sedang berbaring di ranjang dengan posisi miring dan tangan sebagai bantalnya.     "Iya. Kenapa sulit sekali? Aku mau tidur. Aku mau bertemu Ayah. Tapi, aku tidak bisa tidur," sahut Aira sendu.     "Ayo, biar Ibu bacakan dongeng untukmu," ujar Nina sambil meraih salah satu buku dongeng yang terdapat di lemari buku Aira, lalu berjalan ke ranjang dan membuat kepala gadis kecil itu tepat di atas lengannya—memosisikan tubuh gadis kecilnya senyaman mungkin. Setelah itu, ia itu mulai bercerita sambil mengelus-ngelus rambut dan dahi Aira.     "Hiks ... hiks ...." Gadis kecil terisak pelan tepat setelah wanita itu selesai membacakan dongeng untuknya. "Tetap tidak bisa tidur. Bagaimana ini, Bu? Aku mau bertemu Ayah. Aku mau bertemu Ayah!" jeritnya, membuat Nina tak tega dan mengelap kristal bening yang jatuh di pipi Aira.     "Tentu saja, kau pasti bertemu dengan Ayah. Sini, Ibu peluk." Nina merentangkan kedua tangan, membuat gadis kecil itu segera berhambur ke pelukannya. Sesekali ia mengusap lembut punggung gadis kecil itu agar tenang.     Aira pun lama kelamaan tertidur dengan suara sesegukan. Mungkin karena terlalu lelah akibat menangis. Sementara Nina masih mengelus-elus rambut dan sesekali memberi sentuhan-sentuhan kecil di dahi gadis kecil itu.     "Maaf, malam ini kau harus begadang, malaikat kecilku," ujar Nina sambil mencium pipi Aira dan ikut terlelap di sampingnya.     ***     Kini tepat pukul sebelas malam, Nina yang sedang bersandar sambil mengusap kepala Aira yang tidur sontak menghentikan usapannya kala terdengar deru mobil memasuki area rumah. Bunyi mobil dikunci pun terdengar jelas, menandakan si pemilik mobil telah turun dari mobil. Seketika wanita itu pun panik.     "Bangun, Aira. Bangun. Ayah sudah datang," terang Nina sambil menggoncang-ngoncangkan tubuh mungil Aira.     "Ngantuk, Bu," gumam Aira yang masih menutup matanya. Setelah sholat Isya, gadis kecil itu langsung tidur sesuai perintah wanita itu.     "Bangun, Sayang. Ayah ... Ayah datang!" Nina setengah berteriak.     "Ayah?" Aira seketika membulatkan matanya dan sebuah senyuman terbit di bibirnya yang semerah apel.     Nina mengangguk. "Ayo, cuci mukamu dan cepat turun ke bawah, ok," perintahnya sambil tersenyum.     Membiarkan Aira cuci muka sendiri, Nina bergegas menuju lantai bawah. Setelah itu, dibukanya pintu, menghampiri seseorang yang sudah memencet bel dari tadi sambil meneriaki namanya.     "Nin—" Ucapan Aditya terhenti, lantas berdecak kesal. "Kenapa lama sekali?!" tanyanya dengan wajah merah padam. Sebenarnya, ia mempunyai kunci rumah hanya saja kunci lainnya tergantung di pintu, sehingga ia tidak bisa membuka rumahnya.     "Maaf," cicit Nina tertunduk pasrah.     Memutar bola mata muak, Aditya berjalan melewati Nina, duduk dan merebahkan tubuhnya di kursi ruang tamu. Setelah itu, ia menarik dasi dan membuka kancing atas kemejanya. Perjalanan malam ini sungguh membuatnya kesal. Kemacetan di mana-mana, belum lagi kemacetan parah akibat sebuah truk terguling di jalan tol setelah menabrak pembatas jalan.     "Ayah ... Ayah ...!" teriak Aira sambil berlari menuruni tangga dengan penuh antusias. Namun, teriakan itu harus terganti dengan bunyi keras yang dihasilkan ketika gadis kecil itu terguling dari tangga yang dipijaknya.     "Aira!" Nina terkesiap, ia langsung menaruh teh yang hendak disajikan untuk Aditya di meja, kemudian secepat kilat ia berlari ke arah jatuhnya Aira.     Tubuh mungil Aira terguling-guling dari tangga. Mungkin karena ia begitu bersemangat berlari untuk menemui ayahnya hingga ia tidak mengeringkan kakinya yang baru saja keluar dari kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya dengan benar.     Tak hanya Nina yang kaget, begitu pun Aditya. Secepat kilat ia bangkit ketika melihat Aira yang kini sudah tergeletak di lantai. Namun, bukannya menghampiri, ia malah bergeming, kakinya terpaku membuat ia hanya berdiri bagai patung sambil menatap nanar putrinya.     "Adit, dia pingsan. Ayo, kita bawa ke rumah sakit," ujar Nina sambil menggendong Aira ke dalam pangkuannya, lalu menghampiri Aditya. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ucapannya. "Adit! Kepala Aira terluka. Ayo, kita bawa ke rumah sakit," sentaknya.     "Hah? Apa?" Aditya mengerjap bagai orang dungu.     "Aira, lihatlah!" jawab Nina sambil mendekatkan tubuh Aira ke depan Aditya. "Ayo, cepat!" ajaknya gemas.     Aditya mengangguk, kemudian bergegas membawa putrinya ke rumah sakit. Naas, di saat kondisi genting seperti ini, perjalanan mereka justru terhambat karena macet.     "Bangun, Sayang. Bangun," lirih Nina sambil menepuk-nepuk pipi Aira penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak, darah mengucur dari dahi gadis kecil itu."Kau sih, seharusnya memilih rumah itu pilih dengan benar lokasinya," gerutunya tanpa sadar ketika melihat jalanan yang begitu macet.     "Diamlah! Kemacetan ini bukan keinginanku," sergah Aditya tak kalah geram.     "Turunkan aku di sini. Aku akan pergi dengan ojek saja. Berikan aku uang. Aku lupa tidak membawa apa pun," pinta Nina ketika melihat di depannya terdapat ojek yang sedang terparkir di gang jalanan.     Tanpa banyak bicara, Aditya memarkirkan mobilnya ke tepi jalan. Ia langsung memberikan Nina beberapa lembar kertas berwarna merah nominal seratus ribuan. Wanita itu pun segera meraih lembaran kertas yang diberikan Aditya.     "Kita bertemu di rumah sakit, ok!" ujar Nina sambil membuka pintu dan berlari ke arah tukang ojek.     Aditya hanya memandangi Aira dan wanita itu dengan tatapan tidak suka. "Dari kecil anak itu selalu saja menyusahkanku," gumamnya sambil memukul setir.     ***     Sejam kemudian Aditya berhasil sampai di rumah sakit. Bandung memang kota yang cukup tinggi angka kemacetannya, apalagi saat weekend seperti saat ini.     "Bagaimana kondisinya?" tanya Aditya setelah dokter selesai memeriksa Aira.     "Syukurlah, putri Bapak tidak apa-apa. Benturannya tidak menyebabkan kerusakan di otaknya untung istri Anda datang tepat waktu," jawab dokter yang menangani Aira.     Ish ... padahal aku berharap dia mati. Seharusnya tadi aku membiarkan Aira terjebak dalam kemacetan dan dia mati, karena telat ditangani, gerutu Aditya dalam hati.     "Syukurlah. Kalau begitu, apakah saya boleh melihatnya?" tanya Nina.     "Tentu saja, Nyonya," jawab dokter.     Wanita itu pun segera masuk ke dalam kamar rawat Aira. Kristal bening yang sedari tadi menggenang perlahan menerobos keluar dari pelupuk matanya tatkala pandangannya jatuh pada gadis kecil yang sedang tak sadarkan diri dengan selang infus di tangannya dan kepalanya yang sudah dililit perban.     "Maafkan Ibu, Sayang," gumam Nina seraya mengecup punggung tangan kecil Aira.     "Aku akan membayar biaya rumah sakitnya dulu. Ingat, setelah ini kau harus menggantinya dan juga ongkos ojek tadi," ujar Aditya, membuat Nina melongo tak percaya.     "Menggantinya?" Nina hanya bisa tersenyum miring. "Dia putrimu dan dia jatuh karenamu," geramnya.     "Aku sudah memberimu uang dan dia terjatuh, karena kesalahannya sendiri," sanggah Aditya.     "Tapi, kau belum memberiku uang," elak Nina.     Aditya diam sejenak seraya berpikir, benar saja yang diucapkan wanita itu. "Baiklah, akan aku potong dari uang bulananmu," ujarnya sambil keluar dari kamar rawat Aira.     ***     Fajar menyingsing, menampakkan cahaya kemerahan yang baru saja terbangun. Melewati celah-celah jendela dan berbagi sinar hangatnya untuk kamar rawat gadis kecil yang terbaring lemah.     "Ayah ... Ayah ...," gumam Aira dengan lirih dengan mata yang masih tertutup.     "Kau sudah sadar, Sayang?" tanya Nina sambil mengelus dahi Aira dengan sangat hati-hati.     Aira mengerjapkan matanya perlahan, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tidak ada ayahnya di sini.     "Ayah ... Ayah ... aku mau bertemu dengan Ayah. Ke mana Ayah, Bu? Apa dia sudah pergi?" tanya Aira sambil terus menangis dan meronta-ronta. "Aww ... kepala Aira sakit," pekiknya sambil memegang kepalanya.     "Tenang, Sayang. Jangan banyak bergerak dulu. Ibu ada di sini." Bukannya menjawab pertanyaan gadis kecilnya, Nina malah harus menenangkan Aira.     "Aku mau Ayah, Bu. Aku baru bertemu sebentar. Aku mau bertemu dengan Ayah. Ayah belum membacakan dongeng untukku," rengek Aira disertai tangis yang semakin meledak menjadi-jadi sambil menarik tangan wanita itu.     "Sabar, ya, Sayang. Ayah tadi minta maaf, karena tidak bisa menemani Aira. Aira ‘kan tahu Ayah sangat sibuk dengan pekerjaannya. Aira ingat, Ayah mencari uang untuk bisa membahagiakan kita," ujar Nina mencoba menenangkan.     "Aira tidak mau uang. Kita sudah mempunyai banyak uang. Aira tidak mau Ayah bekerja!!!" teriak Aira.     "Uang kita belum cukup, Sayang. Aira harus mengerti, ya. Nanti Aira akan bertemu dengan Ayah lagi." Nina masih mencoba memberi Aira pengertian. "Sudah, sekarang Aira harus tenang. Aira harus sembuh. Nanti kalau Ayah tahu Aira seperti ini, Ayah akan marah dan tidak mau bertemu dengan Aira," tambahnya sambil menggendong tubuh Aira yang masih lemah. Gadis kecil itu kini sesegukan dalam pelukan gendongan ibunya.     "Kenapa Ayah lebih memilih pekerjaannya daripada menemani Aira? Padahal Aira sedang sakit. Apa Ayah tidak sayang pada Aira?" tanya Aira penuh dengan kekecewaan.     "Tidak, Sayang. Sudah Ibu bilang kalau Ayah melakukan itu demi kebahagiaan kita. Ayah sangat menyayangimu. Kau tahu, dia sangat panik ketika kau terjatuh," jawab Nina dengan sedikit berbohong.     "Semua orang bilang Ayah menyayangiku, tapi mengapa ia tidak mau bertemu denganku?" tanya Aira sambil sesegukan.     "Nanti Aira pasti bertemu lagi dengan Ayah. Aira sabar, ya," sahut Nina. Tangannya terulur lembut mengelus rambut panjang Aira.     Hati wanita itu terasa sakit, bagaikan tertusuk sebilah tombak panas tepat di jantungnya. Ia sungguh miris meratapi malaikat kecilnya yang menangis. Ini hari Minggu, tentu saja Aditya tidak bekerja. Namun egonya tetap ada. Ia bahkan tidak mau menunggu sampai Aira sadar. Aditya langsung pergi setelah ia membayar biaya rumah sakit.     Sampai kapan kau akan memperlakukan putrimu seperti ini, Dit? Tak tahukah kau sejak kemarin siang ia sudah bersusah payah tidur siang dan tidur lebih awal agar ketika kau datang, ia bisa bangun dan mendengar dongeng darimu, keluh Nina dalam hati. Tak terasa, empat tahun sudah ia menemani malaikat kecil Aditya. Lantas, mengapa ia bisa dipanggil ibu oleh Aira? Semua bermula karena skandal yang dibuat Aditya si pangeran iblis. Hening. Baik Aditya maupun Nina tak ada yang saling berbicara. Saat ini keduanya sedang berada di atas balkon. Nina yang sedari menunduk mengalihkan pandangan ke arah langit bertabur bintang, lantas mendesah lelah. "Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan, sebaiknya aku pergi." Nina membalikkan badan dan mulai menyeret kaki meninggalkan Aditya yang sedari membisu dengan kedua tangan memegang pagar balkon. "Ayo kita menikah!" Ucapan Aditya membuat langkah Nina terhenti.Tubuh wanita berselimut niqab itu menegang, apalagi saat Aditya kini sudah ada di depannya. Di saat Aditya mengulurkan tangan kanannya, ia bergeming dengan sepasang manik indahnya beradu dengan sepasang manik abu-abu pria itu. "Kau tenang saja. No s*x no love, deal? Semua demi status Aira." Ia mengulurkan tangan, tetapi nanar hanya dibalas lirikan Nina. s**t! harga diri dan egonya merasa tersentil. Kalau saja bukan karena Aira, anak yang tercipta karena kecerobohan satu malamnya, ia tidak mau merendahkan diri di depan baby sitter putrinya. "Hanya dalam mimpimu, Tuan." Penolakan Nina membuat Aditya terbelalak tak percaya. Mengingat bagaimana selama ini para kaum hawa memujanya, ia sangat percaya diri wanita itu akan menerimanya. Wanita itu bahkan berlalu begitu saja dari hadapannya. Sebulan berlalu setelah malam itu, Nina pikir kegilaan Aditya telah berhenti, tetapi ia salah besar. Saat pria itu kembali untuk menemui Aira dan mengirim uang bulanan seperti biasanya, pria itu malah membuat ia nyaris serangan jantung saat menatap dua buah buku kecil berwarna merah dan hijau yang di tengahnya ada gambar burung Garuda. "Aku tidak menerima penolakan, istriku." Aditya menyeringai licik, membuat bulu kuduk Nina merinding Segala umpatan berbaris rapi di kepala Nina. Aditya, uang, dan kekuasaannya tak bisa ia remehkan. Hidupnya kini tak sama lagi, apalagi setelah drama yang pria itu buat di depan seluruh keluarga pria itu. "Maafkan kami, karena menyembunyikan pernikahan kami selama ini. Aku hanya terlalu takut kalian tidak bisa menerima istriku yang hanya seorang yatim piatu miskin. Aku ... terlampau mencintai dan tak ingin berpisah dengannya." Itulah yang Aditya ucapkan di depan keluarganya yang terlihat begitu syok, apalagi saat melihat Aira. Ingin rasanya Nina membantah, tetapi semua itu demi Aira, anak yang sangat ia sayangi. Pria iblis itu memanfaatkan kelemahannya dengan mengancam akan membuang Aira kalau ia tidak menyetujui skandal yang pria itu buat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD