Chapter 7

2587 Words
    Tak terasa satu bulan sudah Aira meninggalkan Aditya. Keesokan harinya setelah Nina hadir, pangeran es itu langsung membawa putrinya dan wanita itu ke rumahnya yang berada di Bandung. Sebenarnya ia ingin memilih Bali agar Aira benar-benar jauh darinya, tapi orangtuanyalah yang menyuruhnya begitu. Bali terlalu jauh, sedangkan Bandung jaraknya masih dapat dikatakan dekat walau sebenarnya jika macet sama saja waktunya dari Jakarta ke Bali dengan pesawat.     Di Bandung sendiri, Aditya memilih Lembang untuk rumahnya, sebenarnya rumah itu terlihat seperti villa, namun masih dengan nuansa kontemporer tropis berbalut kayu. Rumah dengan ukuran 500 meter persegi dengan luas halaman 2 hektar dikelilingi dengan taman indah serta pohon-pohon palm dan pinus dan juga terdapat kolam renang yang begitu besar itu sungguh terlihat sangat indah. Kelak jika Aira sudah bisa berlari, ia pasti akan kelelahan memutari komplek rumahnya itu. Tak hanya itu, rumah itu dibentengi tembok besar sepanjang area tanahnya dan gerbang tinggi yang juga terbuat dari kayu membuat siapa pun orang yang lewat tidak bisa melihat isi di dalamnya.     Rumah di Bandung itu sengaja Aditya desain sendiri dan hanya itu rumah yang ia dapat beli dengan menggunakan uangnya hasil dari pendapatan rumah sakit dan investasi di beberapa perusahaan, berbeda dengan rumah-rumahnya yang lain yang berasal dari bekerja di condotel ayahnya. Pria itu pernah berkata pada wanita itu kalau kelak ia ingin menghabiskan masa tuanya di rumah itu.     "Kau tahu, Aira. Kau seperti seorang putri dengan limpahan harta yang begitu banyak," ujar Nina ketika memandangi gaji yang telah diberikan Aditya. Lima belas juta rupiah pertamanya. Tak hanya itu, seperti saat mereka sudah sampai ke Bandung, lelaki itu langsung memberinya uang untuk biaya kebutuhannya dan Aira selama tinggal di sana yang nominal perbulannya lebih besar sedikit dari gaji yang ia dapat dan majikannya itu bilang sisa uang kebutuhannya untuknya sebagai bonus. "Kalau semua majikan membayar pegawainya seperti ayahmu, pasti tidak akan ada yang mau menjadi TKW ke luar negeri. Gajiku ini sudah mengalahkan seorang dokter," kekehnya.     Sesuai dengan janjinya, Aditya memang mengunjungi Aira sebulan sekali sekalian memberi Nina gaji. Wanita itu sendirilah yang meminta Aditya untuk memberikannya uang tunai, walau sebenarnya majikannya itu sudah menyarankan untuk ditransfer saja. Bukan karena ia tidak bisa soal bank atau ia terlalu menggilai gajinya, tetapi ia lakukan agar lelaki itu berkunjung dan menemui Aira. Dia ayahnya, sedangkan dirinya hanya pengasuh. Pria itu tidak boleh lepas tanggung jawab dari putrinya. Namun begitu, lelaki itu ternyata mengunjungi putrinya hanya di Sabtu malam dan pulang di Minggu pagi setelah Subuh di mana Aira kecil sudah tidur di saat ayahnya datang. Tapi wanita itu menghargai pria itu, lagi pula Aditya sempat menemui dan mengecup dahi Aira.     "Dengan uang yang ayahmu beri, kita bisa membeli barang mewah, bahkan makan di restoran paling mewah, tapi aku tidak akan melakukan hal itu. Aku akan memanjakanmu sewajarnya dan kita akan hidup sederhana. Tidak susah, tapi juga tidak berlebihan. Secukupnya saja, ok. Aku tidak akan membuatmu menjadi putri manja yang sombong. Aku akan membuatmu menjadi wanita sederhana, mandiri dan tentunya sholehah. Keluargamu juga pasti menginginkan hal itu, bukan. Mereka tidak ingin kau tumbuh menjadi putri yang manja dan hanya bisa menghabiskan uang saja. Jadi, sisa uang kebutuhan yang ayahmu beri, aku akan tabung untuk keperluanmu nanti," ujar Nina sambil membelai rambut Aira, menciumnya dengan penuh kasih sayang.     "Tapi sayang, apa ayahmu hanya berpikir kalau kasih sayang itu dapat dibeli dengan uang? Tentu tidak. Kau tenang saja, nanti akan aku buat ayahmu perhatian padamu walau sepertinya itu akan sangat sulit, tapi aku janji." Nina tersenyum seraya mengendong Aira dan memutarnya, membuat gadis kecil itu tertawa riang.     ***     Di sisi lain seharusnya Aditya bahagia. Kehidupannya sudah kembali normal seperti biasa. Namun, terasa ada yang kosong di hatinya.     "Hai, Rom! Bagaimana jika kita bersenang-senang malam ini?" tanya Aditya pada Romi di telepon.     "Akhirnya, kau mengajak kami ke luar. Ke mana saja kau sebulan ini? Menghilang begitu saja bagai ditelan bumi," jawab Romi dengan nada mengejek.     "Aku banyak kerjaan. Jadi, di tempat biasa, ok. Beri tahu juga yang lainnya," balas Aditya.     "Ok. Ok. Tapi, malam ini kau yang teraktir, bagaimana?" tanya Romi.     "Ok. Terserah kalian saja," jawab Aditya sambil memutus sambungannya.     Aditya menghela napas. Akhirnya ia bisa berkumpul dan bersenang-senang kembali dengan sahabat-sahabatnya. Mungkin dengan itu perasaan kosong di hatinya dapat terobati.     Malam pun tiba. Di kelab biasa Aditya dan teman-temannya sudah berkumpul, bahkan teman-temannya sudah datang dari awal, memilih minuman dan tentunya wanita yang menemani mereka, sementara Aditya datang paling belakangan.     "Jadi, kalian sudah bersenang-senang tanpa diriku," goda Aditya sambil memberi tos ala mereka.     "Kau sangat lama, jadi kami duluan," ujar Mike.     "Ke mana saja kau? Berani-beraninya kau tidak menghadiri pesta pernikahanku," tanya James sambil merajuk.     "Ya, ke mana saja kau selama ini? Aku tidak percaya kau bahkan membatalkan balapan itu." Mike ikut menimpali.     "Aku sibuk. Kalian sendiri tahulah," jawab Aditya terkekeh.     Aditya kemudian duduk dan tanpa menunggu lama, tiba-tiba beberapa orang wanita datang menghampirinya dan mulai membelai tangan dan pipinya.     "Jangan sentuh aku, jalang!" perintah Aditya sambil menepis tangan wanita-wanita itu dengan sangat keras. "Kau boleh melayani teman-temanku, tapi tidak dengan diriku," tegasnya.     "Oh, Tuhan, Dit. Kau tak perlu mempertahankan egomu. Kau pasti merindukan sentuhan-sentuhan itu, ‘kan?" goda Mike dengan seringai nakalnya.     "Tidak. Kalian tentu tahu seleraku bagaimana," sanggah Aditya tersenyum.     "Aku tahu. Tapi, kau tidak pernah menolak wanita-wanita itu menyentuhmu di saat menemani kau minum. Apa kau sudah berubah?" tanya James heran.     "Apa aku terlihat berubah? Kalau aku berubah mengapa aku mengajak kalian ke sini? Aku hanya tidak berselera dengan wanita itu. Jadi, pilihkan aku wanita paling cantik, muda dan juga baru di sini," jawab Aditya sambil merebut, lalu meneguk gelas milik James. Seketika James pun memberi isyarat pada pegawai kelab untuk memberikan wanita yang sahabatnya itu mau.     Tak lama kemudian dua gadis cantik yang kira-kira usianya masih belasan tahun datang menghampiri Aditya. Yang satu datang dengan penuh senyuman dan mulai menggoda pria itu, namun gadis lainnya terlihat kikuk dan ketakutan saat mendekati pria es itu. Namun, langkah selanjutnya gadis kikuk itu tetap menjalankan tugasnya. Duduk di samping Aditya dan memberinya segelas minuman.     Sentuhan-sentuhan mulai didapat Aditya. Sesekali ia melirik sabahat-sahabatnya, sedangkan Mike sudah beranjak dari tempat duduknya dengan wanita yang menemaninya. Pria itu tahu ke mana sahabatnya akan membawa wanita itu.     "Berhenti!" teriak Aditya terhadap kedua gadis yang ada di sampingnya.     "A—ada apa, Tuan?" tanya wanita yang tersenyum tadi. "Apa Tuan mengharapkan lebih seperti teman Tuan?" tambahnya.     Aditya meneguk minumannya. Belum juga sepuluh menit gadis-gadis itu di sampingnya ia tidak merasakan kenikmatan apa pun. Entah mengapa bayangan Aira terlintas di pikirannya.     "Mungkin kini sudah saatnya kau taubat. Ingatlah, anakmu perempuan. Kau tidak ingin kelak ia mendapat karma karena perbuatanmu itu, ‘kan?"     "Tentu saja kau harus menyesal. Apalagi anakmu perempuan. Semoga Tuhan tidak menaruh karma padanya,"     "Aargh!!!" Aditya mengerang seraya meremas rambutnya. Ucapan ayah dan sahabatnya itu tiba-tiba datang saling bersahutan tanpa jeda. Terus saja kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.     "A—ada apa, Tuan?" tanya gadis yang tertunduk tadi dengan nada yang terbata-bata.     "Kalian berdua jalang kecil sialan. Pergi dari hadapanku!" titah Aditya dengan nada tinggi. Kedua gadis itu pun beranjak dari tempat duduknya, mencoba meninggalkan Aditya. Namun, baru saja mereka beberapa langkah pria itu menghentikannya. "Tunggu!"     "Ada apa, Tuan?" tanya gadis yang tersenyum tadi terlihat senang, seperti berharap Aditya berubah pikiran.     "Siapa namamu?" tanya Aditya sambil menunjuk gadis yang tertunduk tadi.     Dengan terbata-bata gadis itu pun menjawab, "Sa—saya ... Erida, Tu—tuan."     "Kalau begitu, sekarang kau ikut denganku," titah Aditya sambil menarik paksa tangan gadis itu.     Langkah Erida terhenti. Ia menggenggam tangan Aditya yang mencengkramnya, mencoba melepaskannya. Sorot matanya sudah terlihat berkaca-kaca.     "Jangan, Tuan," pinta Erida lirih.     "Tidak ada yang bisa menentang semua keinginanku," balas Aditya yang dengan menyentak paksa menarik Erida.     "Jangan dia, Tuan. Biarkan saya saja. Dia masih baru di sini. Dia belum berpengalaman. Dia tidak bisa memuaskan Anda, tapi saya bisa," ujar gadis yang tersenyum tadi.     "Apa saya terlihat seperti orang yang ingin dipuaskan? Saya bisa memuaskan diri saya sendiri," ujar Aditya sambil menunjuk wajah gadis itu, sehingga terdapat ketakutan di raut wajah gadis itu.     "Apa seleramu berubah, Aditya?" ejek Romi terkekeh.     "Diam kau, Rom," ujar Aditya sambil menunjuk ke arah Romi, sehingga sahabatnya itu pun membisu.     Mendengar keributan yang ada, seketika orang-orang di kelab memandangi wajah Aditya.     "Ada apa ini?" tanya salah satu penjaga kelab.     "Katakan pada Betty kalau aku menginginkan gadis ini. Aku akan mentransfer biayanya dan biaya minuman yang aku dan teman-temanku habiskan malam ini," jawab Aditya dengan lantang. Sementara penjaga itu hanya mengangguk. Aditya sangat kaya dan ia langganan kelab itu, jadi mana mungkin ia kabur dan tidak mau bayar.     "Jangan, Tuan," pinta Erida. Kristal bening yang tak bisa berubah menjadi mutiara pun turun membasahi pipinya.     Aditya tidak menghiraukan rengekan Erida. Ia terus menarik paksa gadis itu ke luar kelab.     "Masuk!" perintah Aditya sambil menghempaskan Erida hingga tubuhnya mengenai mobilnya. Gadis itu pun memegang pintu belakang mobil pria itu dengan tubuh bergetar penuh ketakutan. "Siapa yang menyuruhmu duduk di belakang?! Aku bukan supirmu," bentak Aditya. Gadis itu pun akhirnya duduk di kursi depan.     Di sepanjang jalan Erida hanya menangis sambil memilin gaun yang dikenakannya.     Matilah kau, Erida, batin Erida berucap pilu.     "Jangan menangis. Aku tidak suka orang yang cengeng sepertimu," ujar Aditya dengan wajah dinginnya yang siapa saja pasti akan ketakutan ketika melihatnya. "Katakan berapa usiamu dan mengapa kau bisa berada di sana?"     "Usia saya delapan belas tahun. Orangtua saya sudah meninggal sejak saya kecil dan paman saya menjual saya kepada pemilik kelab tadi untuk menutupi hutang-hutangnya akibat perjudian," jawab Erida tertunduk lemas.     "Apa kau baru saja mengarang cerita sedih di depanku?" tanya Aditya.     "Ti—tidak, Tuan," jawab Erida terbata-bata. "Saya jujur mengatakannya. Kalau Tuan tidak percaya, Tuan bisa bertanya pada pemilik kelab."     "Apa keahlianmu? Apa kau masih sekolah atau sudah lulus? Apa kau bisa memasak, menjahit, atau bahasa asing?" tanya Aditya.     "Saya sudah lulus, Tuan. Kebetulan saya bisa memasak, karena saya jurusan tata boga," jawab Erida.     "Oh," ujar Aditya singkat.     Setelah itu tak ada lagi pembicaraan di antara mereka berdua. Aditya fokus menyetir, sedangkan Erida terus tertunduk sambil meremas gaunnya menahan tangis.     Apa-apaan pria ini. Ia bertanya seolah kau mau melamar pekerjaan, Erida. Ah ... dia itu orang kaya, pasti ia menginginkan gadis bukan sembarangan dan tentunya tak berpenyakitan. Setelah ini, sudah dipastikan kau masuk ke dalam lubang nerakanya, Erida, pikir Erida.     Beberapa saat kemudian dirinya dan Aditya pun berhenti di sebuah hotel. Gadis itu sedikit mendongak melihat hotel yang besar sekali. Pasti orang yang ada di dalamnya adalah orang-orang berdompet tebal. Namun, baginya hotel itu akan jadi saksi bisu di mana ia kehilangan harta paling berharganya.     Ini nasibmu, Erida. Sejak kecil Tuhan memang kejam padamu. Dia telah merebut kedua orangtuamu dan kini Dia akan merebut hartamu paling berharga, pikir Erida sekali lagi.     "Siapa nama pamanmu?" tanya Aditya ketika ia berhasil memarkirkan mobilnya.     "Mereka menyebutnya Black si Kalajengking," jawab Erida ragu-ragu.     "Panggilan yang aneh," cicit Aditya sambil tertawa kecil. Ia lalu melepaskan seatbelt-nya. "Busungkan dadamu saat berjalan dan tersenyumlah. Ini hotel mewah. Jangan buat aku malu di hotel ini. Satu lagi, hapus air matamu," perintahnya.     "Baik, Tuan," balas Erida. Ia melepaskan seatbelt-nya. Menarik napasnya dalam-dalam dan menghapus air matanya.     Aditya pun turun dari mobil disusul dengan Erida. Mereka kemudian melangkah memasuki hotel, sementara gadis itu mengekorinya dari belakang sesuai perintahnya.     Tatapan Erida seketika terpusat pada kekaguman hotel mewah itu. Dilihatnya para penjaga dan pegawai hotel yang membungkuk hormat ke arah Aditya, sedangkan ia hanya tersenyum. Namun, dapat dilihat ada tatapan aneh mengarahnya dari pegawai-pegawai hotel itu.     Lihatlah, Erida, mereka semua sudah pasti mencapmu sebagai wanita tidak baik, sebelum kau menyerahkan kehormatanmu, batin Erida. Namun ia merasa bingung ketika Aditya hanya melewati resepsionis. Mungkin lelaki itu sudah memesan kamar sebelumnya, pikirnya.     Erida hanya mengekor ke mana langkah kaki Aditya pergi. Ia tidak pergi ke lantai atas seperti yang dilakukan pengunjung lainnya, melainkan ke sebuah ruangan besar berpintu besi.     Aditya memasuki ruangan itu. "Ke mana kepala koki di sini?" Seketika orang-orang pun menunduk hormat padanya.     "Saya, Tuan," jawab seseorang seraya menghampiri Aditya.     "Ajari gadis ini memasak. Ia akan menjadi salah satu koki di sini dan berikan dia kamar, serta pinjamkan dia pakaian ganti," titah Aditya sang bos besar. Di condotelnya tentu saja tersedia kamar khusus pegawai yang isinya muat empat orang.     "Baik, Tuan," ujar kepala koki sambil meninggalkan Erida.     Erida mematung. Seorang koki katanya? Pikirannya terus bertanya-tanya. Pandangannya kemudian berputar mengelilingi seisi ruangan. Ya, itu pasti dapur untuk memasak di hotel ini. Dapur yang sangat luas.     Pikiran Erida pun tersadar, seketika ia membalikkan badan dan berlari menemui Aditya.     "Tunggu, Tuan!" panggil Erida dengan napas tersengal-sengal. Langkah Aditya pun terhenti. Pria itu membalikan badannya mengarah ke sumber suara di     mana seseorang memanggilnya. "Ada apa?" tanyanya.     "Kenapa Tuan membawa saya kemari?" Alih-alih menjawab, Erida malah balik bertanya. "Pasti Madam Betty akan marah kepada saya," lirihnya dengan pandangan menunduk.     "Madam Betty tidak akan marah. Kenapa? Kau tidak suka aku pekerjakan di sini?" tanya Aditya.     "Su—suka, Tuan. Te—terima kasih. Tapi, bagaimana caranya saya bisa membalas kebaikan Tuan?" jawab Erida sekaligus bertanya.     "Kerja saja yang benar dan jangan lupa berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan saya dan keluarga saya," jawab Aditya.     Erida menjatuhkan dirinya, bersujud di bawah kaki Aditya. "Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Saya janji tidak akan mengecewakan Anda. Semoga Tuhan senantiasa melindungi keluarga Anda," doanya.     "Bukankah sudah aku katakan tadi untuk tidak membuatku malu di hotel ini? Berdirilah, kau membuatku malu," perintah Aditya sambil melirik sekitar ruangan yang sudah ada tatapan-tatapan aneh dari para pengunjung.     Erida pun bangkit. "Sekali lagi terima kasih, Tuan," ucapnya.     "Kembalilah," titah Aditya lirih. Erida pun menarik kedua sudut bibirnya ke atas, sedangkan pangeran es itu membalikkan tubuhnya, pergi meninggalkan hotel di mana seorang gadis masih berdiri dengan tatapan tak percaya.     ***     Erida berlari ke tempat yang ia datangi bersama Aditya tadi. Ia kemudian melangkah masuk dengan pandangan menunduk ke bawah. Ada rasa takut di hatinya.     "Hai, perkenalkan nama saya Mila," sapa seorang wanita menghampiri Erida. "Kau tidur saja di kamarku. Nanti kau boleh meminjam bajuku," tambahnya.     Erida mendongak dengan canggung. "Terima kasih. Saya Erida," balasnya sambil memperkenalkan diri.     "Bagaimana bisa Tuan Aditya membawamu kemari?" tanya seorang pria menghampirinya. Pria itu adalah si kepala koki. "Saya Firman," tambahnya sambil mengulurkan tangannya.     "Erida," balas Erida sambil berjabat tangan dengan Firman, kemudian berpikir sejenak. "Tuan Aditya?" tanyanya bingung. Jadi pria yang membawanya tadi bernama Aditya. Ah ... Erida lupa, tadi di kelab pria yang bersama lelaki itu juga memanggil nama Aditya.     "Iya. Pria tadi itu ialah Tuan Aditya. Dia bos di sini, sekaligus anak dari pemilik hotel, condominium dan juga resort di arena ini. Kau tidak tahu?" tanya Firman. Sementara Erida hanya tersenyum sambil menggeleng.     "Kau tahu, pria itu memang bos yang jutek, dingin, menyebalkan dan juga pemarah. Namun, kau tenang saja dia itu sebenarnya orang yang baik. Aku dengar dia juga memiliki rumah sakit dan gratis bagi yang tidak mampu bayar. Lalu mengapa kau bisa bertemu dengan Tuan Aditya?" tanya Mila dengan segala rasa penasarannya.     "Dia menyelamatkan saya dari paman saya yang ingin menjual saya ke—" Ucapan Erida yang terbata-bata terhenti saat Mila memeluknya.     Mila sudah tahu apa yang akan Erida ucapkan selanjutnya tatkala melihat pakaian Erida yang sangat sexy. "Cukup," ujarnya.     Erida pun membalas pelukan Mila dan menangis dipelukannya. Pegawai lainnya hanya menepuk bahunya tanda turut perihatin. Ia sungguh merasa bahagia bertemu dengan orang-orang baik sekarang dan ia ingin meminta maaf, karena pikiran negatifnya pada Aditya.     ***     Aditya melangkah masuk ke kamarnya. Ia kemudian menghampiri box Aira. Box itu memang sengaja ditinggalkan, karena Aditya memutuskan untuk membeli box dan kebutuhan baru untuk Aira di Bandung.     "Kau sedang apa snow white? Apa kau sudah tidur atau sedang merepotkan Nina?" gumam Aditya sambil tertawa kecil, lalu dipegangnya mainan plastik yang biasa Aira genggam dan gigit.     Entah mengapa tanpa disadari Aditya suka sekali memberi panggilan untuk Aira. Dimulai kata sayang, baby, sweetheart, snow white, putriku dan setan kecil adalah panggilan favoritnya.     Aditya tersentak dari pikirannya yang entah mengapa tiba-tiba memikirkan Aira. Ia kemudian mengeluarkan handphone-nya.     "Cari tahu di mana Black si Kalajengking dan masukan ke dalam penjara," perintahnya kemudian menutup handphone-nya kembali.     Setelah itu, Aditya langsung menghubungi Betty untuk menebus Erida dan minuman yang ia dan teman-temannya habiskan. Betty pun setuju atas tebusannya. Walau sebelumnya wanita itu sempat menolak, karena takut Aditya menghancurkan kelabnya. Tak hanya itu, Aditya pun menyuruhnya untuk tidak mempekerjakan gadis di bawah umur.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD